c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

CATATAN VALID

08 April 2025

13:30 WIB

Kartini, Politik Etis, Dan Sahabat Yahudi

Kartini dikenal dengan pemikiran kritis tentang peran perempuan lewat surat-surat yang ditulisnya. Dari mana semua pandangan kritis tersebut? Apa hubungannya dengan Yahudi?

Penulis: Novelia

Editor: Rikando Somba

<p>Kartini, Politik Etis, Dan Sahabat Yahudi</p>
<p>Kartini, Politik Etis, Dan Sahabat Yahudi</p>

Kartini Djojoadhiningrat, seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Collectie Wereldmuseum (v/h Tropenmuseum), part of the National Museum of World Cultures

Bagi masyarakat kita, bulan April selalu mengingatkan pada satu sosok penggerak emansipasi perempuan Indonesia. Adalah Raden Ajeng Kartini, seorang pribumi lahir pada bulan ini yang dikenang atas gagasan-gagasan tentang kebebasan kaum hawa. Beragam gagasannya dituangkan dalam surat-surat yang dikirimkan ke sejumlah sahabatnya di Belanda.

Namun, selayaknya sebuah gagasan, pemikiran kritis Kartini tentang perempuan juga terinspirasi oleh berbagai kebiasaan dan budaya, peristiwa, hingga tokoh tertentu. Salah satu momen yang jadi titik awal ‘kebangkitan’ Kartini adalah ‘pertemuan’ dirinya dengan Estella Hartshalt-Zeehandelaar ketika dirinya beranjak dewasa.

Kartini dan Stella, Duo Feminis Vegetarian
Perjumpaan pertama Kartini dan Stella, sapaan Estella Hartshalt-Zeehandelaar, terbilang cukup anomali. 

Kala itu, tahun 1899, Kartini telah tumbuh menjadi perempuan dewasa muda yang menyimpan beragam pertanyaan tentang berbagai adab dan budaya di lingkungannya, terutama yang melibatkan status sebagai perempuan. Misalnya, alasan mengapa ia harus dipingit dalam keluarga dan merasa terkurung dalam ‘kotak’ sejak menginjak usia 12 tahun, melepaskan pendidikan yang tengah ditempuhnya di Europeesche Lagere School

Atau, bagaimana ibunya yang hanya rakyat jelata selalu memandang sang ayah yang berstatus priyayi layaknya seorang tuan. Bahkan kepada anak-anaknya sendiri yang otomatis menyandang gelar keturunan priyayi, sang ibu masih berlaku terlampau melayani, seperti memanggil dengan sapaan ‘Ndoro’.

Kartini yang penasaran terus mengisi waktunya dengan belajar, salah satunya dengan membaca berbagai media massa. 

Majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie adalah satu dari sekian banyak paket majalah yang ditekuninya. Pada majalah itu ia memasang iklan dan mengundang sahabat pena untuk berkirim surat. Kartini memberikan informasi bahwa dirinya merupakan anak perempuan dari Bupati Jepara dan tengah mencari seseorang yang peduli dengan masalah sosial dan perkembangan di Eropa sebagai rekan berkirim surat.

Sinyal untuk berkawan itu ditangkap oleh Stella, yang pada usianya yang masih seperempat abad kala itu, telah menjabat sebagai Sekretaris di Komite Perlindungan Ibu dan Reformasi Seksual Belanda. Singkat cerita, Kartini dan perempuan yang berasal dari keluarga Yahudi tersebut mulai saling berkirim surat. 

Kepada Stella yang lima tahun lebih tua darinya, Kartini menceritakan kegelisahannya terkait keterbatasan peran perempuan di Indonesia, dan sebagai respons, sang sahabat pena mendukung penuh Kartini untuk berjuang lepas dari belenggu tersebut.

Kedekatan antara Kartini dan Stella terbangun dari sejumlah kesamaan yang ditemukan lewat cerita masing-masing, seperti bagaimana keduanya sama-sama seorang vegetarian. Atau perbedaan kepercayaan keduanya yang memantik diskusi keagamaan di antara mereka. 

Meski Kartini yang memeluk Islam berbeda dengan dirinya yang keturunan Yahudi, Stella meyakini bahwa kebajikan bukanlah barang monopoli kaum agama. Menurut dirinya, kebajikan selalu dapat diwujudkan karena perasaan tanggung jawab kepada sesama yang secara natural sudah ada dalam diri dan nurani setiap manusia, terlepas dari apapun keyakinan spiritualnya.

Wacana semacam itulah yang kian mendekatkan dua perempuan muda ini. Melalui obrolan tertulis hingga akhir hayat Kartini, dirinya dan Stella saling bercerita dan mengemukakan gagasan masing-masing, yang memperdalam dan menguatkan karakter sosialis dan humanis mereka.

Politik Etis dan Pasutri Abendanon
Bersamaan dengan periode kedekatan Kartini dengan Stella, pemerintah kolonial di Indonesia juga tengah menjalankan praktik Politik Etis sejak 1901. Secara sederhana, Politik Etis merupakan bentuk tanggung jawab moral Belanda terhadap berbagai penindasan yang telah mereka lakukan pada masyarakat pribumi.

Sebagai negara jajahan, sejarah mencatat bahwa Indonesia telah menjadi ‘tawanan’ Belanda selama ratusan tahun. Pada masa itu, berbagai kekerasan, fisik maupun politis, kerap terjadi, menjadikan masyarakat pribumi kita korban berbagai program berat yang digalakkan pemerintah kolonial. Sebut saja praktik tanam paksa yang memberikan cuan besar bagi Belanda, namun di sisi lain, menumbalkan tak terhitung nyawa orang Indonesia akibat kelelahan dan kemiskinan karena pembayaran tak layak.

Praktik tak manusiawi dari penjajahan tersebut mendapat kritik dari sejumlah tokoh di Belanda. Tercetuslah ide untuk melaksanakan Politik Etis atau Politik Balas Budi. 

Praktik ini konon ditujukan sebagai ungkapan terima kasih oleh pemerintah kolonial atas ‘jasa’ yang telah dilakukan masyarakat pribumi untuk Belanda. Salah satu perwujudannya dilakukan dengan memberikan pendidikan layak bagi pribumi.

Status sebagai priyayi menjadikan Kartini target pendekatan dari sosok-sosok pelaksana Politik Etis. Salah satunya adalah Jacques Henrij Abendanon. Lelaki yang menjabat Direktur Departemen Pendidikan, Ibadah, dan Kerajinan Hindia Belanda ini merupakan warga negara Belanda keturunan Yahudi. 

Bersama istrinya, Rosa Abendanon Mandri, Jacques menjalin kedekatan dan menjadi rekan lainnya bagi Kartini untuk bertukar pikiran. Sama seperti Stella, Rosa pun menjadi rekan korespondensi Kartini.

Tak hanya berkirim surat, pasangan Abendanon juga kerap memberikan sejumlah buku untuk memacu semangat belajar Kartini. Sebut saja Karaktervorming der Vrouw (Pembentukan Karakter Perempuan) karya Helena Mercier, De Vrouw en het Socialisme (Perempuan Dalam Sosialisme) karangan sosialis Jerman dan pendiri Partai Sosial Demokrat, August Bebel, Hylda van Suylenderb yang ditulis oleh feminis Belanda, Cecile de Jong van Beek en Donk, hingga Berthold  Meryan dari Cornelie Huygens.

Kepada Rosa Abendanon pula, Kartini menceritakan keinginannya untuk melanjutkan pendidikan ke Belanda. Beruntungnya, ia sukses menerima beasiswa terkait pada 1902. Akan tetapi, dengan pertimbangan ayahnya tengah sakit keras dan Kartini direncanakan untuk segera menikah, Rosa menyarankan perempuan muda itu untuk mengurungkan niatnya berangkat dan melanjutkan studi di Betawi atau Batavia saja.

Tak diduga, dua tahun setelahnya, Kartini justru berpulang karena komplikasi kehamilan beberapa hari setelah melahirkan anak pertamanya. 

Berdasar rasa bersalah karena telah menghentikan mimpi belajar Kartini, Rosa menghubungi Stella dan sahabat pena Kartini lainnya. Surat-surat bernada kritis yang pernah mereka saling kirimkan dirangkum dalam buku berjudul Door Duisternis tot Licht atau Habis Gelap Terbitlah Terang yang diterbitkan oleh Kartini Fonds pada 1911, tujuh tahun setelah ia wafat.

Frasa "Habis Gelap Terbitlah Terang" sendiri diambil dari potongan syair Jawa yang pernah dikutip Kartini dalam salah satu surat yang dikirimnya, “Habislah malam datanglah terang, habis topan datanglah reda, habis perang datanglah menang, habis duka datanglah suka.”

Buku inilah yang akhirnya membuat nama Kartini tercatat sebagai salah satu sosok pahlawan nasional. 

Pemikiran dan keinginan putri priyayi tersebut dalam mendobrak tradisi yang mengungkung perempuan Indonesia terus menjadi inspirasi dan diperingati setiap 21 April, bertepatan dengan tanggal kelahirannya.



Referensi:

  1. Soeroto, S. (1977). Kartini: sebuah biografi. Jakarta: Balai Pustaka.
  2. Toer, P. A. (1962). Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta: Hasta Mitra.

KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar