c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

CATATAN VALID

26 Juni 2025

14:30 WIB

Jejak Panjang Sistem Pendaftaran, Dari Tes Tulis Hingga Zonasi Sekolah

Sistem masuk sekolah di Indonesia terus berubah, mulai dari tes tulis, UN, hingga zonasi sekolah. Kebijakan berganti seiring pergantian menteri, tantangan mutu pendidikan belum teratasi.

Penulis: Devi Rahmawati

Editor: Rikando Somba

<p>Jejak Panjang Sistem Pendaftaran, Dari Tes Tulis Hingga Zonasi Sekolah</p>
<p>Jejak Panjang Sistem Pendaftaran, Dari Tes Tulis Hingga Zonasi Sekolah</p>

Calon siswa SMK mengikuti seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di SMK Negeri 1 Ciamis, Kabup aten Ciamis, Jawa Barat, Selasa (6/6/2023). Antara Foto/Adeng Bustomi

Masuk sekolah, terutama ke sekolah negeri favorit, selalu menjadi momen krusial bagi banyak keluarga di Indonesia. Namun, tak banyak yang menyadari bahwa sistem pendaftaran sekolah telah mengalami berbagai perubahan besar dalam dua dekade terakhir.

Mulai dari seleksi berbasis tes akademik hingga sistem zonasi, setiap kebijakan memiliki latar belakang, kelebihan, dan tantangan tersendiri. Berikut ini gambaran singkat mengenai evolusi sistem penerimaan siswa di Indonesia.

1. Tes Masuk: Seleksi Akademik sebagai Tolok Ukur
Hingga awal 2000-an, masuk ke SMP dan SMA negeri, khususnya yang favorit menggunakan sistem ujian tertulis. Sekolah menyelenggarakan tes yang menguji kemampuan siswa dalam mata pelajaran seperti Matematika, IPA, dan Bahasa Indonesia.

Sistem ini dianggap adil karena objektif menggunakan tolak ukur nilai ujian. Namun, praktiknya tidak sesederhana itu. 

Siswa dari keluarga mampu bisa mengakses bimbingan belajar dan les privat, sementara siswa dari keluarga kurang mampu harus berjuang dengan sumber daya terbatas. Ketimpangan ini semakin melebar, menciptakan pasar pendidikan informal yang sangat kompetitif. Sekolah-sekolah unggulan pun makin eksklusif, dan sistem ini dikritik karena hanya mengandalkan satu indikator, yaitu hasil ujian.

2. Nilai Ujian Nasional (NUN/NEM): Standar Nasional, Tekanan Tinggi
Sebagai upaya mengurangi ketimpangan dari sistem tes masuk sekolah, pemerintah memperkenalkan seleksi berdasarkan nilai Ujian Nasional (UN) sejak dekade 90-an hingga 2016. Seleksi jadi lebih praktis karena tidak perlu ujian tambahan di sekolah; nilai UN menjadi acuan utama penerimaan.

Sistem seleksi berbasis nilai Ujian Nasional (UN) memang dinilai lebih transparan karena menggunakan standar nasional yang seragam. Tidak ada lagi tes mandiri di masing-masing sekolah, sehingga proses penerimaan menjadi lebih mudah diawasi dan dianggap adil secara administratif. 

Namun, di balik keseragaman ini, muncul tekanan yang besar bagi siswa. Nilai UN menjadi tolok ukur utama yang menentukan masa depan, mendorong budaya belajar yang berorientasi pada angka semata, bukan pada pemahaman konsep atau pengembangan kemampuan berpikir kritis.

Akibat tekanan tersebut, proses belajar pun bergeser dari pengalaman yang seharusnya bermakna menjadi sekadar strategi mengejar nilai. Siswa dituntut menguasai teknik menjawab soal, bukan memahami konteks atau logika di baliknya. Dalam situasi ini, praktik curang pun bermunculan, mulai dari kebocoran soal, bantuan dari pengawas saat ujian, hingga kolusi antara pihak sekolah dan penyelenggara. Tindakan ini bertujuan untuk mengamankan nilai tinggi, bahkan jika harus mengorbankan integritas.

Ironisnya, meskipun sistem ini dirancang untuk meminimalisasi ketimpangan, realitasnya masih menunjukkan pola stratifikasi pendidikan yang kuat. Sekolah-sekolah favorit tetap dipenuhi siswa dengan nilai UN tertinggi, sementara sekolah lain menjadi pilihan alternatif. Artinya, sistem ini belum mampu meruntuhkan persepsi kasta dalam pendidikan. Ketimpangan kualitas antarsekolah tetap terjadi. Ujungnya, harapan akan akses pendidikan yang merata masih jauh dari kenyataan.

3. Zonasi: Pemerataan Akses yang Masih Menantang
Penerapan sistem zonasi secara luas dimulai pada tahun 2018, merujuk pada Permendikbud No. 17 Tahun 2017. Inti dari kebijakan ini adalah menjadikan jarak tempat tinggal sebagai faktor utama dalam seleksi masuk sekolah negeri. Tujuannya mulia, yakni untuk menghapus label sekolah unggulan, sekaligus menciptakan akses pendidikan yang lebih adil bagi semua kalangan, tanpa membedakan latar belakang sosial ekonomi.

Kebijakan ini sempat dipuji sebagai langkah progresif. Sekolah-sekolah yang dulu kurang diminati mulai terisi, dan sekolah favorit tidak lagi didominasi siswa dengan nilai akademik tertinggi. Sayangnya, dalam pelaksanaannya menghadirkan tantangan baru. Manipulasi alamat, ketimpangan jumlah sekolah negeri di kawasan padat, hingga kekecewaan orang tua siswa berprestasi yang gagal masuk sekolah impian karena faktor jarak menjadi isu yang mencuat.

Untuk menjawab persoalan tersebut, Kementerian Pendidikan melakukan penyesuaian dengan membagi jalur PPDB ke dalam beberapa kategori, di antaranya zonasi (50%), afirmasi (15%), perpindahan orang tua (5%), dan prestasi (30%). Meski lebih fleksibel, sistem ini masih menuai kritik, terutama karena kualitas sekolah negeri belum merata. Tanpa perbaikan menyeluruh pada infrastruktur dan mutu pendidikan, pemerataan yang diharapkan masih jauh dari kata tercapai.

Sistem Mana yang Paling Adil?
Sebenarnya, tidak ada sistem seleksi yang benar-benar sempurna. Tes akademik dan UN mungkin adil dari sisi kompetisi, tapi berpotensi memperbesar kesenjangan karena tidak semua siswa memiliki akses persiapan yang setara. Sementara itu, zonasi menawarkan pemerataan akses, namun menghadapi tantangan dalam pelaksanaan dan kualitas.

Satu hal yang pasti, sistem pendaftaran sekolah mencerminkan wajah pendidikan dan keadilan sosial di Indonesia. Selama akses, kualitas pendidikan, dan transparansi belum merata, perdebatan mengenai sistem masuk sekolah akan terus menjadi isu hangat setiap tahunnya.

 

Referensi:

  1. Antaranews.com. (2024). DPR: Penghapusan PPDB Zonasi harus pertimbangkan beragam aspirasi. Antara News. Diakses melalui https://www.antaranews.com/berita/4484405/dpr-penghapusan-ppdb-zonasi-harus-pertimbangkan-beragam-aspirasi
  2. Madiana, I., Alqadri, B., Sumardi, L., & Mustari, M. (2022). Penerapan kebijakan sistem zonasi serta dampaknya terhadap kesetaraan hak memperoleh pendidikan. Jurnal Ilmiah Profesi Pendidikan, 7(2c), 735-740.
  3.  RRI. (2025). Penerimaan Peserta Didik Baru masih gunakan sistem zonasi. RRI. Diakses melalui https://rri.co.id/daerah/1417079/penerimaan-peserta-didik-baru-masih-gunakan-sistem-zonasi
  4. RRI. (2025). Sistem zonasi pendidikan menguntungkan siswa dan orang tua. RRI. Diakses melalui https://rri.co.id/daerah/1562961/sistem-zonasi-pendidikan-menguntungkan-siswa-dan-orang-tua
  5. Saharuddin, E., & Khakim, M. S. (2020). Implementasi kebijakan sistem zonasi PPDB SMA di DIY. Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi Publik, 10(2), 203–214. https://doi.org/10.26858/jiap.v10i2.13644
  6. Sari, E., & Noor, A. F. (2022). Kebijakan Pembelajaran Yang Merdeka: Dukungan Dan Kritik. Educativo: Jurnal Pendidikan, 1(1), 45-53.

KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar