c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

CATATAN VALID

13 Agustus 2025

14:00 WIB

Green Building: Inovasi Arsitektur Demi Masa Depan Berkelanjutan

Mulai muncul gedung-gedung yang dibangun dengan konsep green building di kota-kota besar di Indonesia. Tak hanya di perkantoran Jakarta, konsep ini juga dianut rumah sakit, mal, hingga sekolah.

Penulis: Oktarina Paramitha Sandy

Editor: Rikando Somba

<p><em>Green Building</em>: Inovasi Arsitektur Demi Masa Depan Berkelanjutan</p>
<p><em>Green Building</em>: Inovasi Arsitektur Demi Masa Depan Berkelanjutan</p>

Ilustrasi sebuah gedung dengan dinding yang dipenuhi tanaman hijau yang merambat di Malaysia. Shutterstock/artem evdokimov.

Sobat Valid, tahukah kamu kalau di berbagai kota besar di Indonesia kini mulai bermunculan gedung-gedung yang dibangun dengan konsep green building? Penerapan konsep ini tidak hanya terbatas pada gedung perkantoran di pusat bisnis Jakarta saja, tetapi juga telah merambah sektor lain seperti rumah sakit, hotel-hotel, hingga sejumlah bangunan sekolah dan pusat perbelanjaan.

Gedung-gedung berpredikat green building ini tidak sembarang. Setiap elemen desainnya dirancang secara cermat untuk mengurangi jejak karbon, mengoptimalkan efisiensi penggunaan energi, serta memaksimalkan pengelolaan air. Bahkan, sebagian bangunan tersebut telah memperoleh sertifikasi Greenship dari Green Building Council Indonesia (GBCI), yang menjadi indikator bahwa bangunan tersebut memenuhi kriteria keberlanjutan berdasarkan penilaian yang terstandar dan komprehensif.

Perkembangan tren bangunan hijau ini, bukanlah sebuah kebetulan, melainkan respons terhadap tantangan lingkungan yang kian mendesak. Indonesia saat ini menghadapi permasalahan kualitas udara yang serius, terutama di kawasan perkotaan. Beberapa wilayah bahkan secara rutin mencatat indeks kualitas udara yang berada pada kategori tidak sehat, memaksa jutaan penduduk untuk hidup dalam kondisi yang berisiko bagi kesehatan.

Dikutip dari Statista pada tahun 2023, sekitar 46% konsumsi listrik di Indonesia berasal dari sektor industri, termasuk industri baja dan petrokimia. Fakta ini menunjukkan bahwa sektor industri dan bangunan merupakan penyumbang signifikan terhadap konsumsi energi nasional, yang pada gilirannya berkontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca. Hal ini lah yang pada akhirnya mendorong berbagai pihak di Indonesia, untuk merancang bangunan yang lebih ramah lingkungan.

Selain itu, laju urbanisasi di Indonesia berlangsung sangat cepat dan masif. Dikutip dari GBPN, setiap tahunnya Indonesia menambah sekitar 50 juta meter persegi perumahan baru. PBB bahkan memproyeksikan bahwa pada tahun 2050, sebanyak 70% penduduk Indonesia akan tinggal di kawasan perkotaan. Tanpa strategi pembangunan yang berorientasi pada keberlanjutan, pertumbuhan ini berpotensi memperparah tekanan terhadap lingkungan, baik dari sisi konsumsi energi, ketersediaan air bersih, maupun pengelolaan limbah.

Dalam konteks inilah, konsep green building hadir sebagai solusi yang bersifat strategis sekaligus mendesak. Bukan sekadar tren arsitektur modern, green building merupakan pendekatan pembangunan yang mempertimbangkan aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial secara terpadu. 

Kalau kamu penasaran konsep bangunan ramah lingkungan ini, artikel ini akan mengulas secara mendalam pengertian green building, urgensi penerapannya di Indonesia, langkah-langkah implementasi yang dapat dilakukan, hingga prospek masa depannya sebagai bagian dari transformasi menuju arsitektur berkelanjutan di Indonesia.

Apa Itu Green Building?
Green building atau bangunan hijau adalah konsep pembangunan yang memadukan desain arsitektur dengan prinsip keberlanjutan lingkungan. 

Intinya, setiap tahap, mulai dari perencanaan, konstruksi, hingga pengoperasian, diarahkan untuk meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan. Tujuannya, untuk menciptakan ruang yang sehat dan nyaman bagi penghuninya. Pendekatan ini tidak hanya berbicara soal penghematan energi, tetapi juga bagaimana sebuah bangunan mampu bertahan dalam jangka panjang tanpa membebani sumber daya bumi.

Konsep ini menekankan pemanfaatan energi, air, dan material secara efisien, sambil tetap mempertahankan kualitas lingkungan dalam dan luar bangunan. Misalnya, penggunaan material ramah lingkungan seperti kayu bersertifikat, bambu, atau batu alam lokal yang memiliki jejak karbon rendah. Dikutip dari Asian Journal of Environment-Behaviour Studies (2021), pemilihan material lokal mampu mengurangi emisi transportasi hingga 30% dibandingkan material impor.

Dalam konsep bangunan ramah lingkungan, efisiensi energi menjadi salah satu pilar utama. Penerapan panel surya, sistem pencahayaan LED hemat daya, dan desain bangunan yang memaksimalkan cahaya alami membantu menekan konsumsi listrik. Integrasi energi terbarukan ini semakin relevan mengingat, menurut data Kementerian ESDM (2023), sektor bangunan menyumbang sekitar 30% dari total konsumsi energi di Indonesia. Bahkan, pengelolaan air juga menjadi perhatian penting. 

Sistem pemanenan air hujan, teknologi daur ulang air limbah untuk irigasi, dan perlengkapan hemat air dapat mengurangi tekanan pada pasokan air bersih. Hal ini sejalan dengan penelitian Journal of Green Building (2020) yang menemukan bahwa penerapan sistem pengelolaan air terpadu dapat menurunkan konsumsi air bersih bangunan hingga 40%.

Selain itu, aspek kesehatan penghuni tak kalah penting. Ventilasi alami yang dirancang dengan baik memastikan sirkulasi udara segar, sementara penggunaan cat dan bahan finishing rendah VOC (Volatile Organic Compounds) membantu menjaga kualitas udara di dalam ruangan. Menurut World Health Organization (2022), kualitas udara dalam ruangan yang buruk dapat memicu berbagai penyakit pernapasan, sehingga desain bangunan harus memperhatikan aspek ini sejak awal.

Di Indonesia sendiri, standar penerapan green building diformalkan melalui sertifikasi Greenship yang dikelola oleh Green Building Council Indonesia (GBCI). Dikutip dari situs resmi GBCI, sebuah wadah kolaborasi para profesional jasa konstruksi, pelaku industri properti, pemerintah, institusi pendidikan dan penelitian, asosiasi profesi, serta masyarakat peduli lingkungan. Organisasi ini memastikan bahwa setiap pedoman dan sertifikasi yang dijalankan selaras dengan standar internasional.

Berdasarkan sertifikasi tersebut, kinerja sebuah bangunan tidak hanya dilihat dari segi desain atau estetikanya, tetapi dinilai secara menyeluruh berdasarkan enam kategori utama yang dirancang untuk mencakup seluruh aspek keberlanjutan. Berikut ini enam  hal yang harus diperhatikan dalam penerapan green building:

1. Tepat Guna Lahan (Appropriate Site Development)
Penilaian ini melihat bagaimana lokasi dan tapak bangunan dimanfaatkan secara bijak tanpa merusak ekosistem sekitarnya. Bangunan yang memenuhi kategori ini biasanya dirancang dengan mempertimbangkan akses transportasi umum, ketersediaan ruang terbuka hijau, dan minimnya gangguan terhadap habitat alami. Bahkan, pembangunan di lahan bekas atau brownfield sering mendapatkan nilai lebih karena membantu memanfaatkan kembali area yang sebelumnya tidak produktif.

2. Efisiensi Energi dan Refrigeran (Energy Efficiency and Refrigerant)
Kategori ini mengukur seberapa hemat energi yang digunakan bangunan, sekaligus memperhatikan jenis refrigeran yang dipakai agar tidak merusak lapisan ozon. Teknologi seperti panel surya, pencahayaan LED hemat energi, smart building system, dan motion sensor untuk lampu sering menjadi bagian dari strategi efisiensi ini. Selain itu, sistem pendingin ruangan yang ramah lingkungan dan memiliki global warming potential rendah juga menjadi penilaian penting.

3. Konservasi Air (Water Conservation)
Air merupakan sumber daya yang semakin terbatas, sehingga pengelolaan yang efisien menjadi krusial. Dalam kategori ini, bangunan dinilai dari kemampuan mengurangi penggunaan air bersih dan mengelola air limbah dengan baik. Contohnya, penggunaan keran bertekanan rendah, water recycling system, penampungan air hujan, hingga drip irrigation untuk taman.

4. Sumber dan Siklus Material (Material Resources and Cycle)
Aspek ini menilai pemilihan material bangunan berdasarkan keberlanjutan sumbernya dan bagaimana material tersebut dikelola selama masa pakai bangunan. Pemanfaatan material lokal, bahan daur ulang, serta material yang tahan lama dan mudah diperbaiki menjadi poin penting. Prinsip reduce, reuse, recycle diterapkan untuk meminimalkan limbah konstruksi.

6. Kualitas Udara dan Kenyamanan Ruang (Indoor Air Health and Comfort)
Bangunan yang sehat bukan hanya hemat energi, tetapi juga memberikan kenyamanan bagi penghuninya. Kategori ini mengukur kualitas udara di dalam ruangan, pencahayaan alami, tingkat kebisingan, hingga suhu yang stabil. Desain ventilasi silang, penggunaan cat rendah VOC (Volatile Organic Compounds), serta jendela besar yang memaksimalkan cahaya matahari alami adalah beberapa penerapan yang umum ditemui.

7.  Manajemen Lingkungan Bangunan (Building Environment Management)
Kategori terakhir ini menilai bagaimana pengelolaan lingkungan selama bangunan beroperasi. Pengelolaan limbah domestik, sistem pemeliharaan yang hemat sumber daya, hingga program edukasi lingkungan bagi penghuni dan pengunjung termasuk dalam penilaian. Tujuannya adalah memastikan keberlanjutan tidak berhenti di tahap konstruksi, melainkan terus dijalankan sepanjang umur bangunan.

Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa tidak mudah buat menerapkan green building dan persyaratannya cukup ketat. Tapi, mengapa Indonesia perlu menerapkan green building?

Saat ini, Indonesia tengah menghadapi tekanan lingkungan yang semakin berat, terutama di tengah laju urbanisasi yang berlangsung tanpa jeda. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Bali, pertumbuhan populasi urban berlangsung sangat cepat, memaksa infrastruktur bekerja di luar kapasitasnya dan meninggalkan jejak ekologis yang signifikan. Dampaknya terlihat jelas,  mulai dari kemacetan lalu lintas yang parah, kepadatan bangunan, hingga kualitas udara yang memburuk.

Di Jakarta, misalnya, tingkat polusi udara sudah mencapai level yang mengkhawatirkan. Data kualitas udara menunjukkan konsentrasi partikel halus PM2.5 kerap melampaui ambang batas aman WHO, yang berarti risiko penyakit pernapasan meningkat drastis bagi jutaan penduduknya.

Sementara, sektor konstruksi dan bangunan pun menyumbang porsi besar terhadap emisi karbon perkotaan. Meski data spesifik untuk Indonesia belum sepenuhnya terdokumentasi, tren global menunjukkan bahwa sektor ini bertanggung jawab atas 30–40% total emisi karbon di kawasan urban. Dikutip dari World Green Building Council, tanpa penerapan prinsip bangunan hijau, emisi ini diproyeksikan akan terus naik seiring pertumbuhan pembangunan infrastruktur di negara berkembang, termasuk Indonesia.

Oleh karena itu, penerapan green building di Indonesia ukan sekadar tren, tetapi solusi yang menawarkan manfaat nyata dari sisi lingkungan, ekonomi, dan sosial. Dari aspek lingkungan, bangunan hijau mampu memangkas emisi karbon hingga 30–50% dibandingkan bangunan konvensional, berkat penggunaan teknologi hemat energi, penerapan sumber energi terbarukan, serta pengelolaan limbah yang lebih efisien. Penghematan air juga bisa mencapai 20–30% melalui pemanfaatan sistem daur ulang air hujan dan teknologi sanitasi berdaya guna tinggi.

Dari sisi ekonomi, biaya pembangunan awal green building umumnya 5–10% lebih tinggi dari gedung biasa. Tetapi, investasi ini terbayar dalam jangka menengah. 

Dikutip dari penelitian yang dipublikasikan oleh International Finance Corporation (IFC), penghematan operasional bangunan hijau bisa mencapai 20–40% dari total biaya tahunan, dengan ROI yang dapat tercapai dalam 5–7 tahun. Efisiensi ini datang dari berkurangnya tagihan listrik berkat penggunaan energi terbarukan seperti panel surya, penghematan biaya air, serta minimnya biaya perawatan karena sistem bangunan yang dirancang untuk bertahan lama.

Manfaatnya pun terasa langsung pada kehidupan sehari-hari penghuninya. Kualitas udara dalam ruang yang lebih sehat mengurangi risiko alergi dan gangguan pernapasan, sementara pencahayaan alami yang optimal dan peredaman suara yang baik meningkatkan kenyamanan serta produktivitas. Tidak heran, mengingat masyarakat Indonesia menghabiskan 80–90% waktunya di dalam bangunan, kualitas lingkungan dalam ruang menjadi faktor vital.

Masa Depan Green Building di Indonesia
Indonesia memiliki peluang besar untuk memperluas adopsi green building. Pertumbuhan pasar konstruksi ramah lingkungan telah menunjukkan tren positif, dikutip dari GlobalData (2021) nilai pasar green building tumbuh menjadi  US$ 18,5 miliar pada tahun 2021, dengan laju pertumbuhan tahunan rata-rata (CAGR) sebesar 6,3% antara 2017–2021.

Angka ini menandakan bahwa minat pasar terhadap konsep bangunan berkelanjutan semakin besar, meskipun jika dibandingkan dengan Singapura atau Malaysia, jumlah gedung bersertifikasi hijau di Indonesia masih jauh lebih sedikit.

Peningkatan ini menjadi semakin relevan ketika melihat proyeksi kebutuhan energi nasional. 

Dikutip dari laporan CCFLA (2024), sektor bangunan diperkirakan akan menyumbang hingga 40% dari total konsumsi energi Indonesia pada 2030, sementara luas total bangunan nasional diprediksi hampir dua kali lipat. Khususnya di pusat-pusat pertumbuhan seperti Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Artinya, jika pembangunan masa depan tidak diarahkan menuju standar hijau, beban energi dan emisi karbon akan meningkat secara signifikan.

Kesadaran ini sudah mulai diterjemahkan ke dalam kebijakan publik. Pemerintah telah mengeluarkan PP No. 16/2021 yang mewajibkan penerapan standar bangunan hijau bagi gedung-gedung tertentu, terutama yang memiliki skala besar atau berfungsi publik. Selain itu, Kementerian PUPR bersama Global Building Performance Network (GBPN) pada 2024 meluncurkan National Roadmap for Green Building Implementation. Ini merupakan peta jalan strategis yang mengatur target, indikator, dan mekanisme pemantauan penerapan bangunan hijau secara nasional. Roadmap ini tidak hanya memuat aspek teknis konstruksi, tetapi juga memprioritaskan efisiensi energi, pengelolaan sumber daya air, dan pemanfaatan material ramah lingkungan.

Dari sisi pembiayaan, pemerintah bersama Kementerian Keuangan melalui Badan Kebijakan Fiskal, GBPN, dan Monash University Indonesia sedang mengembangkan skema insentif seperti kredit lunak, keringanan pajak, percepatan perizinan, hingga skema kredit karbon untuk mendorong investasi di sektor ini. Langkah-langkah ini diharapkan dapat mengatasi salah satu hambatan utama, yaitu keterbatasan akses terhadap pembiayaan hijau.

Tak hanya sampai di situ saja, komitmen pemerintah juga tercermin dari pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang dirancang sebagai kota hijau, cerdas, dan bebas karbon. Konsep ini meliputi pemanfaatan energi terbarukan, transportasi rendah emisi, serta sistem pengelolaan air yang terintegrasi. IKN sendiri akan menjadi laboratorium hidup (living lab) untuk teknologi dan praktik bangunan berkelanjutan di Indonesia.

Namun, jalan menuju adopsi masif green building masih panjang. Dikutip dari Ciries Climate Finance, tantangan terbesar adalah minimnya regulasi untuk sektor residensial yang justru menyumbang sekitar 83% konsumsi energi bangunan di Indonesia. Tanpa aturan yang jelas, penerapan standar hijau di perumahan masih tergantung pada inisiatif pengembang atau kesadaran masyarakat.

Dengan demikian, masa depan green building di Indonesia berada di persimpangan yang menentukan. Potensinya sangat besar, dukungan regulasi mulai terbentuk, pembiayaan hijau sedang dirancang, dan permintaan pasar meningkat. Jika seluruh pihak, baik pemerintah, industri, dan masyarakat, dapat bergerak serempak, bukan tidak mungkin dalam satu dekade ke depan, bangunan hijau akan menjadi norma baru, bukan sekadar pilihan.

*Penulis merupakan kontributor di Validnews.id     

 

Referensi:

  1. What is the value of green building features? An empirical analysis of green building development in Jakarta, Indonesia (2024) 
  2. Peraturan Menteri PUPR No. 21 Tahun 2021 tentang Penilaian Kinerja Bangunan Gedung Hijau
  3. Indonesia’s real estate value potential: the role of green innovation and effective management control systems (2024) 
  4. Green Supply Chain Performance Based on Green Building Assessment – Studi kasus Pasar Seni Sukawati, Bali (2021).
  5. Market Value of Green Building in Indonesia (2021).
  6. Top Five Green Building Markets in 2021.
  7. Green Bonds Show Promise for Financing Energy-Efficient Buildings in Southeast Asia (2021).

KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar