12 November 2025
15:00 WIB
Dampak Penggunaan AI Terhadap Ekonomi Hijau Indonesia
Di balik derasnya gelombang transformasi digital ini, muncul satu pertanyaan penting. Seperti apa dampak penggunaan AI dan pengaruhnya terhadap ekonomi hijau?
Penulis: Oktarina Paramitha Sandy
Editor: Rikando Somba
Para pebisnis yang diberhentikan mengemasi barang-barang mereka dan meninggalkan kantor, sebuah robot sedang duduk di meja dan bekerja: dampak AI pada pekerjaan. Shutterstock/Stock-Asso.
Dalam beberapa tahun terakhir, kecerdasan buatan (AI) telah berkembang pesat dan mulai menjadi bagian dari hampir semua aspek kehidupan manusia. Dari dunia bisnis yang memanfaatkan algoritma untuk membaca tren pasar, sektor kesehatan yang memakai analisis prediktif untuk mendeteksi penyakit lebih dini, sampai industri hiburan di segala lini, kini dikuasai oleh sistem ini. Bahkan, kita sendiri pasti juga ikut merasakannya, entah lewat layanan digital yang makin personal, atau cara kerja industri yang semakin efisien.
Namun, di balik derasnya gelombang transformasi digital ini, muncul satu pertanyaan penting. Apakah perkembangan AI benar-benar sejalan dengan upaya mewujudkan ekonomi hijau yang berkelanjutan, atau justru menciptakan tantangan baru bagi lingkungan?
Seperti yang Sobat Valid tahu, saat ini Indonesia sedang dalam masa transisi menuju ekonomi hijau. Sebuah sistem ekonomi yang berorientasi pada efisiensi sumber daya, rendah karbon, dan berkeadilan sosial. Pemerintah sudah menegaskan komitmennya melalui target Net Zero Emission tahun 2060, dan berbagai program seperti Low Carbon Development Initiative (LCDI) telah menjadi peta jalan utama untuk mencapai arah tersebut.
Dalam konteks inilah, AI mulai memainkan peran strategis. Teknologi ini tidak hanya membantu pemerintah dan industri memahami pola konsumsi energi dan perubahan iklim, tapi juga membuka peluang untuk mengoptimalkan sistem produksi agar lebih hemat sumber daya. Sebagai contoh, AI bisa digunakan untuk memprediksi kebutuhan energi sebuah kota secara real-time, atau sistem otomatis yang mengatur penggunaan listrik agar tidak terbuang sia-sia.
Dalam bidang lingkungan, AI juga bisa memantau deforestasi, kualitas udara, dan perubahan suhu permukaan bumi dengan presisi yang sebelumnya mustahil dicapai. Semua itu menjadi bukti bahwa AI berpotensi besar menjadi katalis dalam transisi menuju ekonomi hijau Indonesia.
Meski begitu, tidak semua sisi AI berwarna hijau. Pengoperasian sistem AI membutuhkan pusat data (data center) yang sangat besar dan haus energi. Untuk melatih satu model kecerdasan buatan saja, dibutuhkan daya listrik setara dengan konsumsi energi rumah tangga selama bertahun-tahun. Jika sumber energinya masih berasal dari bahan bakar fosil, maka dampak karbon yang dihasilkan bisa sangat besar, ini tentu bertolak belakang dengan semangat ekonomi hijau.
Bahkan, berdasarkan penelitian berjudul Artificial Intelligence for Sustainability: A Systematic Review and Critical Analysis of AI Applications, Challenges, and Future Directions (2025), AI memang memiliki potensi besar dalam membantu mencapai tujuan keberlanjutan global, terutama dalam bidang efisiensi energi, pemantauan lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam. Namun, para peneliti juga menyoroti tantangan serius seperti konsumsi energi tinggi, ketergantungan pada infrastruktur digital, serta kebutuhan regulasi yang lebih tegas untuk memastikan AI benar-benar berkontribusi terhadap keberlanjutan.
Dengan kata lain, AI bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, ia mampu mempercepat langkah Indonesia menuju masa depan hijau. Tapi di sisi lain, tanpa kebijakan energi yang cermat dan penggunaan teknologi yang bertanggung jawab, inovasi ini justru bisa memperbesar jejak karbon yang coba kita kurangi.
Apa Itu Transisi Ekonomi Hijau dan Mengapa Penting bagi Indonesia?
Untuk kamu yang tertarik dengan isu pembangunan berkelanjutan, istilah ekonomi hijau mungkin sudah sering terdengar. Namun, penting untuk dipahami bahwa ekonomi hijau bukan sekadar tren global atau jargon politik yang sedang naik daun. Ini adalah perubahan mendasar dari sistem ekonomi lama, yang bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam dan bahan bakar fosil—menuju sistem yang lebih efisien, rendah emisi, dan berkeadilan sosial.
Inti dari ekonomi hijau adalah menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan perlindungan lingkungan. Jadi, kemajuan tidak lagi diukur dari seberapa cepat sebuah negara tumbuh, tetapi seberapa berkelanjutan pertumbuhannya. Buat Indonesia, konsep ini punya arti strategis. Negara dengan kekayaan alam luar biasa ini punya hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia, cadangan energi terbarukan yang melimpah, serta garis pantai panjang yang menyimpan potensi ekonomi biru yang belum sepenuhnya dimanfaatkan. Namun sayangnya, sebagian besar aktivitas ekonomi kita masih bergantung pada energi fosil, terutama batu bara.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan target untuk mencapai Net Zero Emission pada tahun 2060, sebuah komitmen yang mengisyaratkan bahwa perubahan menuju ekonomi hijau bukan sekadar retorika.
Transisi seperti ini melibatkan seluruh sektor, mulai dari energi, transportasi, industri, hingga pertanian dan pengelolaan sumber daya alam. Manfaatnya tidak hanya soal lingkungan: menurut penelitian terkini, investasi di sektor hijau bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dengan kualitas yang lebih baik, menciptakan lapangan kerja baru, serta meningkatkan daya saing nasional.
Dikutip dari penelitian berjudul Advancing Sustainability Through Artificial Intelligence: Implications for Firm Value in Indonesia (2025), yang mengkaji pengaruh adopsi AI terhadap kinerja ESG (Environment, Social, Governance) dan nilai perusahaan di Indonesia. Ditemukan bahwa adopsi AI secara signifikan meningkatkan kinerja keberlanjutan (ESG) dan nilai perusahaan. Ini menunjukkan bahwa teknologi seperti AI pun memiliki peran dalam mendukung ekonomi hijau, yang tentunya berhubungan erat dengan transformasi sistem ekonomi kita.
Di samping itu, ekonomi hijau juga berarti peluang. Kamu bisa membayangkan industri energi terbarukan yang membutuhkan pekerja teknis, logistik daur ulang yang memerlukan keahlian baru, hingga startup yang menghadirkan solusi hijau berbasis teknologi. Semua itu bisa menjadi sektor yang menyerap tenaga kerja dengan kompetensi dan prospek jangka panjang. Konsep ekonomi sirkular, di mana limbah satu industri bisa dijadikan bahan baku untuk industri lain, juga semakin relevan. Dengan demikian, transisi ekonomi hijau bukanlah hambatan bagi pertumbuhan, malah bisa jadi motor penggerak ekonomi masa depan Indonesia.
Peran AI dalam Mendukung Transisi Ekonomi Hijau
Perkembangan teknologi kecerdasan buatan beberapa tahun terakhir memang luar biasa cepat. Tapi yang menarik, teknologi ini nggak cuma membawa perubahan di dunia digital atau bisnis, melainkan juga berpotensi besar mendorong transformasi menuju ekonomi yang lebih hijau dan berkelanjutan.
Dalam konteks Indonesia yang sedang mengejar target Net Zero Emission tahun 2060, peran kecerdasan buatan bisa dibilang krusial. Mulai dari efisiensi energi, pengelolaan sumber daya alam, sampai pengurangan emisi karbon.
Bayangkan kalau sistem energi terbarukan seperti panel surya atau turbin angin bisa “berpikir” dan menyesuaikan diri dengan kondisi cuaca serta pola permintaan energi secara otomatis. Itulah yang sedang terjadi sekarang. Teknologi berbasis kecerdasan buatan mampu memantau intensitas sinar matahari, kecepatan angin, serta kondisi lingkungan secara real-time untuk menentukan waktu optimal dalam pengumpulan dan distribusi energi. Dengan begitu, produksi energi jadi lebih efisien, biaya operasional bisa ditekan, dan hasilnya pun lebih stabil.
Berdasarkan penelitian berjudul Comprehensive Review of Artificial Intelligence Applications in Renewable Energy Systems: Current Implementations and Emerging Trends (2025), teknologi kecerdasan buatan terbukti mampu meningkatkan efisiensi sistem energi terbarukan hingga 25–30 persen. Terutama dalam hal memprediksi permintaan dan menyesuaikan pasokan energi secara real-time.
Penelitian ini juga mengungkap bahwa integrasi AI dalam pengelolaan energi memungkinkan sistem melakukan pemeliharaan prediktif berbasis data, sehingga umur aset energi seperti panel surya dan turbin angin bisa diperpanjang secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan teknologi cerdas tidak hanya membantu menghemat biaya operasional, tetapi juga memperkuat keandalan infrastruktur energi bersih yang menjadi tulang punggung ekonomi hijau di masa depan.
Perlu diketahui, kontribusi AI ini tidak hanya berhenti di sektor energi saja. Di bidang pertanian, teknologi ini juga mulai jadi game changer. Melalui integrasi sensor, citra satelit, dan data iklim, sistem bisa memantau kondisi lahan secara langsung dan memberi rekomendasi spesifik. Mulai dari waktu terbaik untuk menanam, volume air yang ideal, hingga jenis pupuk yang paling sesuai. Dengan pendekatan ini, penggunaan air bisa berkurang hingga 30 persen, sementara produktivitas tetap terjaga bahkan meningkat.
Di sektor transportasi, ini juga terlihat. Kota-kota besar di dunia kini mulai menggunakan sistem manajemen lalu lintas berbasis kecerdasan buatan untuk mengurai kemacetan dan mengatur waktu lampu lalu lintas secara dinamis. Imbasnya, emisi dari kendaraan bisa ditekan secara signifikan. Di sisi lain, kendaraan listrik juga makin canggih dengan dukungan algoritma pintar yang bisa mengatur rute paling efisien dan waktu pengisian daya paling optimal.
Selain itu, industri besar di Indonesia pun mulai memanfaatkan teknologi ini untuk memantau jejak karbon mereka. Sensor dan analisis data real-time memungkinkan perusahaan mengetahui seberapa besar emisi yang dihasilkan dari setiap lini operasional, lalu mencari cara untuk menguranginya secara sistematis. Ini bukan cuma berdampak positif untuk lingkungan, tapi juga membuat perusahaan lebih efisien, transparan, dan siap bersaing di pasar global yang semakin ketat terhadap isu keberlanjutan.
Yang menarik, perkembangan ini juga melahirkan banyak lapangan kerja baru. Muncul kebutuhan besar akan tenaga profesional seperti analis data lingkungan, AI engineer di bidang energi bersih, serta konsultan keberlanjutan yang paham integrasi teknologi hijau. Jadi, kamu bisa lihat sendiri bahwa kecerdasan buatan bukan sekadar tentang mesin atau algoritma, tapi juga tentang kolaborasi antara manusia, teknologi, dan alam.
Bisa dikatakan, kecerdasan buatan berperan penting dalam mempercepat transisi ekonomi hijau di Indonesia. Mulai dari meningkatkan efisiensi energi, mengurangi pemborosan sumber daya, membuka peluang ekonomi baru, hingga mendorong terciptanya sistem industri yang lebih ramah lingkungan. Namun, semua potensi itu hanya bisa tercapai kalau kita mengelola teknologi ini dengan bijak, bukan hanya sekadar menggunakannya, tapi juga memastikan bahwa manfaatnya benar-benar sampai pada keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan manusia.
Tantangan dan Risiko Penggunaan AI dalam Transisi Ekonomi Hijau
Meskipun teknologi kecerdasan buatan menunjukkan banyak potensi untuk mendukung ekonomi hijau, kamu juga perlu menyadari bahwa teknologi ini memiliki sisi gelap yang nyata dan memerlukan penanganan serius. Contohnya, kebutuhan daya listrik yang sangat besar menjadi salah satu tantangan utama.
Pusat data (data center) yang menjadi “otak” dari sistem AI beroperasi 24 jam setiap hari, dengan ribuan server yang terus bekerja serta sistem pendingin yang tak henti-hentinya menjaga suhu agar perangkat tidak overheat. Jika listrik yang digunakan masih berasal dari sumber fosil, maka alih-alih mengurangi jejak karbon, kita justru bisa menambah beban lingkungan.
Dikutip dari penelitian The Role of AI in Improving Environmental Sustainability: A Focus on Energy Management (2023), ditemukan bahwa dalam 18 proyek di berbagai sektor, teknologi AI memang berhasil meningkatkan efisiensi energi dan mengurangi emisi—namun tingkat pengurangan emisinya sangat bervariasi, dan dalam beberapa kasus belum mencapai 5 %. Penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun AI mampu memberi kontribusi positif, penerapannya belum secara universal menjamin pengurangan karbon secara signifikan jika kondisi lainnya tidak mendukung.
Khusus di Indonesia, tantangan makin kompleks. Infrastruktur listrik kita masih sangat bergantung pada batu bara dan bahan bakar fosil lainnya. Karena itu, meskipun AI digunakan untuk optimasi dan efisiensi, kalau pasokan listriknya tetap “abu-abu”, maka dampak positifnya akan sangat terbatas.
Ditambah lagi, kesenjangan digital menjadi hambatan tersendiri: wilayah perkotaan besar mungkin sudah mulai merasakan manfaat AI dalam pengelolaan energi atau sistem transportasi pintar, tapi banyak daerah terpencil yang belum punya akses internet memadai atau infrastruktur teknologi yang mendukung. Akibatnya, transisi teknologi ini bisa saja hanya dinikmati sebagian masyarakat, sementara yang belum siap justru tertinggal.
Selain itu, ada risiko sosial-ekonomi yang tidak bisa diabaikan. Otomasi yang dibawa oleh kecerdasan buatan bisa menggantikan pekerjaan konvensional. Misalnya di sektor manufaktur, logistik, atau administrasi. Jika tidak disertai program reskilling atau upskilling yang tepat, kamu bisa menghadapi situasi di mana perubahan teknologi justru memunculkan ketimpangan baru. Bukan hanya perbedaan antara ‘yang teknologi’ dan ‘yang tidak’, tapi juga antara wilayah yang siap dan yang tertinggal.
Terakhir, regulasi dan etika penggunaan AI masih merupakan wilayah abu-abu. Siapa yang bertanggung jawab ketika sistem AI mengambil keputusan yang merugikan lingkungan? Bagaimana data lingkungan dan sosial yang dikumpulkan oleh sistem AI dijaga agar tidak disalahgunakan? Apakah ada kerangka kebijakan yang menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam implementasi AI hijau? Semua pertanyaan ini belum memiliki jawaban tegas, dan kamu harus menyadari bahwa teknologi tanpa pengaturan yang baik bisa jadi pedang bermata dua.
Masa Depan AI dan Transisi Ekonomi Hijau di Indonesia
Meskipun tantangannya tidak sedikit, masa depan pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) dalam mendorong transisi ekonomi hijau di Indonesia sebenarnya cukup menjanjikan. Dalam beberapa tahun ke depan, kamu bakal lihat perkembangan AI yang makin efisien dari sisi energi dan makin terintegrasi dalam berbagai sektor, mulai dari industri hingga layanan publik.
Salah satu inovasi yang patut kamu perhatikan adalah teknologi edge computing. Teknologi ini memungkinkan pemrosesan data dilakukan lebih dekat ke sumbernya, tanpa harus mengirim semua data ke pusat server besar yang boros energi. Selain hemat bandwidth, pendekatan ini juga membantu menekan konsumsi listrik secara signifikan.
Kerja sama lintas sektor juga makin gencar dilakukan. Pemerintah, perusahaan teknologi besar, hingga startup lokal mulai berlomba mengembangkan solusi berbasis AI yang sejalan dengan prinsip keberlanjutan. Beberapa perusahaan global bahkan udah berkomitmen membangun green data center di Indonesia yang sepenuhnya menggunakan energi terbarukan. Google, misalnya, sudah mengumumkan rencana untuk mengoperasikan pusat data dengan 100% energi bersih, langkah penting menuju transformasi digital yang ramah lingkungan.
Dikutip dari penelitian berjudul The Effect of AI-Based Technology Implementation, Green Energy Sustainability, and Product Innovation on Economic Growth of the Manufacturing Industry in Indonesia (2024), penerapan AI berbasis energi hijau terbukti berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di sektor manufaktur Indonesia. Riset ini menegaskan bahwa integrasi antara teknologi pintar dan energi bersih bukan hanya soal efisiensi, tapi juga tentang menciptakan daya saing ekonomi yang lebih kuat dan berkelanjutan
Sektor pendidikan juga mulai bergerak cepat. Beberapa universitas di Indonesia udah meluncurkan program studi dan pelatihan khusus yang menggabungkan teknologi AI dengan prinsip keberlanjutan lingkungan. Langkah ini penting banget supaya generasi muda Indonesia, siap menghadapi tantangan baru dalam ekonomi hijau dan mampu memanfaatkan teknologi dengan bijak.
Tak hanya itu saja, kesadaran masyarakat terhadap isu lingkungan juga meningkat pesat. Generasi muda sekarang bukan cuma jadi konsumen pasif, tapi aktif mencari produk dan layanan yang ramah lingkungan. Tren ini otomatis mendorong perusahaan untuk berinovasi lebih cepat dan lebih hijau.
Ke depannya, kamu mungkin bakal lihat sistem AI yang nggak cuma reaktif, tapi juga proaktif. Misalnya, sistem yang bisa memprediksi potensi kekeringan berbulan-bulan sebelumnya, atau algoritma yang bisa merancang bahan bangunan baru yang lebih ramah lingkungan dibanding yang ada sekarang. Tapi tetap harus diingat, AI hanyalah alat bantu, bukan solusi ajaib yang bisa menyelesaikan semua masalah sendirian.
Supaya teknologi ini benar-benar membawa manfaat, Indonesia butuh kebijakan yang jelas, investasi yang cukup, dan komitmen kuat dari semua pihak untuk hidup lebih berkelanjutan. Transisi menuju ekonomi hijau bukanlah perjalanan singkat. Ini adalah proses panjang yang butuh kolaborasi antara manusia dan teknologi, antara inovasi dan kebijakan, serta antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan.
* Penulis adalah kontributor di Validnews.id
Referensi: