21 Juli 2025
14:30 WIB
Beragam Senja, Fenomena Di Langit Hingga Perubahan Sosial
Senja tak sekadar indah. Ia menyimpan makna ilmiah, spiritual, hingga perubahan sosial.
Penulis: Besyandi Mufti
Editor: Rikando Somba
Warga menyaksikan suasana senja ibu kota di Skywalk Senayan Park, Jakarta, Jumat (31/12/2021). Antara Foto/Sigid Kurniawan
Dalam kehidupan sehari-hari, senja sering kita nikmati sebagai pemandangan indah di langit barat menjelang malam. Senja juga menjadi kata yang belakangan kian tren di masyarakat. Bahkan ada yang menyematkan kata 'senja' merujuk pada kelompok tertentu.
Namun, tahukah Anda bahwa senja ternyata memiliki tiga kategori berbeda berdasarkan posisi matahari terhadap cakrawala?
Ya, ketiganya adalah civil twilight, nautical twilight, dan astronomical twilight. Pembagian ini tidak hanya penting bagi para astronom, pelaut, atau masyarakat umum, tetapi juga menyimpan filosofi yang bisa kita tarik ke ranah sosial, seperti dalam fenomena "senjakala agraria" di pedesaan Jawa Barat.
Tiga Bentuk Senja
Civil twilight atau senja sipil terjadi ketika pusat matahari berada enam derajat di bawah cakrawala. Pada saat ini, langit masih cukup terang untuk melihat benda-benda sekitar tanpa lampu tambahan. Bintang terang dan planet mulai terlihat, dan banyak aktivitas luar ruangan masih bisa dilakukan. Ini adalah masa transisi yang masih memberi harapan terang, meskipun matahari sudah tidak terlihat lagi.
Sementara itu, nautical twilight dimulai ketika matahari mencapai kedalaman dua belas derajat di bawah cakrawala. Pada fase ini, garis cakrawala laut masih terlihat oleh para pelaut, memungkinkan mereka membaca arah dengan bantuan bintang-bintang. Namun, detail di daratan mulai menghilang. Kondisi ini menggambarkan masa peralihan yang lebih dalam, ketika kecerahan alam mulai menghilang.
Tahap paling akhir adalah astronomical twilight, yakni saat matahari berada 18 derajat di bawah cakrawala. Pada saat ini, langit tampak benar-benar gelap bagi pengamat awam. Hanya objek-objek langit yang cukup terang, seperti bintang dan planet, yang masih bisa terlihat.
Dalam kondisi ini, cahaya matahari sudah tak lagi berpengaruh pada langit, memberikan waktu terbaik bagi astronom untuk mengamati benda langit. Fase ini melambangkan lenyapnya terang—baik secara literal maupun simbolis.
Senja dan Relasi Sosial
Konsep senja secara astronomi ini ternyata relevan ketika kita menyoroti persoalan sosial seperti "senjakala agraria" atau "senjakala media cetak", istilah yang digunakan untuk menggambarkan kemunduran sektor pertanian di pedesaan, khususnya di Jawa Barat, atau merujuk kondisi menurunnya oplah dan peredaran koran juga majalah.
Yang pertama, dalam penelitian oleh Tridakusuma dan kawan-kawan (2019), yang dilakukan selama enam bulan pada tahun 2018, terungkap bahwa alih fungsi lahan dari pertanian ke industri dan jasa menyebabkan menyusutnya lahan pertanian dan semakin tersingkirnya peran petani.
Secara historis, proses ini bermula sejak era kolonial saat korporasi mulai menguasai lahan secara besar-besaran, menyebabkan petani tergusur dari tanah mereka sendiri. Ketimpangan dalam penguasaan akses terhadap lahan, dominasi kapital, serta relasi kekuasaan yang tidak adil membuat posisi petani semakin terpinggirkan. Layaknya cahaya senja yang perlahan memudar, eksistensi petani pun mengalami erosi seiring perubahan struktur agraria.
Pendekatan ekonomi-politik yang dikemukakan oleh Bernstein (2010) memandang perubahan agraria sebagai dinamika relasi sosial, properti, produksi, dan kekuasaan yang berkembang seiring kapitalisme. Sementara Stoll (2017) menyebut proses ini sebagai “seni perampasan” yang memosisikan masyarakat desa sebagai korban utama. Swanson (2018) bahkan menyebutkan bahwa "senjakala agraria" telah dimulai sejak akhir abad ke-19 dan terus diwariskan hingga era reformasi.
Kondisi agraria ini, jika dikaitkan dengan metafora senja, menunjukkan bahwa masyarakat desa—khususnya petani—sedang berada di fase “astronomical twilight” dalam sejarah mereka. Saat terang sudah hilang, dan hanya cahaya samar yang tersisa. Perjuangan mempertahankan eksistensi di tengah gelombang kapitalisasi lahan menjadi semakin berat, terutama di sekitar bekas HGU (Hak Guna Usaha) perkebunan peninggalan kolonial.
Sedang yang kedua, "senjakala media cetak" merujuk polemik para ahli media menyoal ditutupnya koran-koran besar di penghujung 2015 yang hingga kini masih berlangsung. Perubahan lanskap dan tren global media yang beranjak ke media siber, serta kelesuan industri media disebut-sebut menjadi ihwalnya.
Senja dan Waktu Beribadah
Di sisi lain, konsep astronomical twilight juga digunakan dalam penentuan waktu salat, khususnya Isya. Dalam konteks ini, masyarakat menggunakan tiga pendekatan: bayangan matahari, piringan matahari, dan bias cahaya matahari.
Penelitian tentang akurasi astronomical twilight bertujuan untuk memastikan ketepatan waktu salat berdasarkan kondisi langit yang sebenarnya, bukan hanya berdasarkan jadwal tertulis.
Akhirnya, baik dalam konteks astronomi maupun agraria, senja menyiratkan transisi—dari terang menuju gelap. Ia bukan hanya fenomena langit, tapi juga cerminan perubahan sosial, ekonomi, dan spiritual. Dalam senja, kita menemukan keindahan, namun juga kerentanan. Dalam senjakala agraria, kita melihat perlunya refleksi dan tindakan untuk menjaga agar cahaya harapan bagi petani tak benar-benar padam.
Referensi: