22 Oktober 2025
15:00 WIB
Bagaimana Kebijakan Emisi Karbon Mendorong Ekonomi Hijau?
Kebijakan emisi karbon di Indonesia lahir sebagai bagian dari strategi nasional untuk menyeimbangkan dua hal: pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan.
Penulis: Oktarina Paramitha Sandy
Editor: Rikando Somba
Ilustrasi Garis waktu netralitas karbon menggambarkan target karbon, netralitas, dan pengurangan dari 2024 hingga 2050 untuk mendukung keberlanjutan global dan inisiatif hijau Latch. Shutterstock/Summit Art Creations.
Perubahan iklim sudah bukan sekadar isu lingkungan, tetapi meruapakan ancaman nyata yang memengaruhi hidup kita sehari-hari. Suhu bumi yang terus naik membuat musim jadi makin sulit diprediksi, gagal panen makin sering terjadi, dan risiko bencana alam meningkat tajam. Di berbagai kota besar, kualitas udara menurun akibat emisi kendaraan dan industri yang tak terkendali.
Dampaknya bukan cuma terasa pada lingkungan, tapi juga pada ekonomi, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat luas.
Indonesia, dengan segala kekayaan alamnya, sedang menghadapi masalah serius terkait isu lingkungan. Di satu sisi, negara ini bergantung pada sumber daya alam untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Tapi di sisi lain, pola pembangunan yang masih bergantung pada energi fosil justru menjadi penyumbang besar emisi karbon.
Menurut data Global Carbon Atlas (2023), Indonesia termasuk dalam 10 besar negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia, dengan kontribusi sekitar 1,7% terhadap total emisi global. Angka ini sebagian besar berasal dari pembakaran bahan bakar fosil di sektor energi dan transportasi, serta deforestasi dan perubahan penggunaan lahan di wilayah tropis.
Kondisi ini menuntut perubahan besar dalam cara kita melihat pembangunan. Pemerintah nggak bisa lagi hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek tanpa memikirkan dampak lingkungan jangka panjang. Karena itu, kebijakan emisi karbon di Indonesia lahir sebagai bagian dari strategi nasional untuk menyeimbangkan dua hal yang sering kali berseberangan: pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan.
Kebijakan ini menjadi langkah strategis menuju transisi ekonomi hijau, di mana pembangunan dilakukan dengan prinsip keberlanjutan. Targetnya jelas, untuk mencapai Net Zero Emission pada tahun 2060.
Tapi perjalanan menuju ke sana bukan hal mudah. Diperlukan sinergi antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat agar kebijakan ini benar-benar bisa berjalan dan memberi dampak nyata.
Dikutip dari penelitian bertajuk Indonesia Carbon Market White Paper (2023), pengembangan pasar karbon di Indonesia dinilai sebagai salah satu langkah paling konkret untuk mempercepat peralihan menuju ekonomi rendah karbon. Laporan ini menegaskan bahwa mekanisme perdagangan karbon (carbon market) bukan sekadar instrumen lingkungan, tapi juga strategi ekonomi yang mampu mendorong perubahan perilaku industri secara sistemik.
Melalui sistem ini, perusahaan dengan tingkat emisi tinggi didorong untuk menekan jejak karbon mereka melalui inovasi dan efisiensi energi, sementara perusahaan yang berhasil mengurangi emisi bisa menjual kelebihan kredit karbonnya di pasar. Dengan begitu, kebijakan ini bukan hanya memberi tekanan, tapi juga menciptakan peluang ekonomi baru yang berbasis keberlanjutan.
White paper tersebut juga memaparkan bahwa implementasi pasar karbon di Indonesia berpotensi membuka peluang investasi hijau dalam skala besar. Estimasi nilai ekonomi karbon nasional bisa mencapai lebih dari US$200 miliar hingga tahun 2060, terutama dari sektor kehutanan, energi terbarukan, dan industri manufaktur yang mulai bertransisi ke teknologi bersih.
Laporan itu menyoroti bahwa keberadaan pasar karbon dapat mendorong terciptanya ekosistem bisnis hijau, mulai dari proyek reforestasi dan konservasi hutan, pengembangan energi surya dan biomassa, hingga inovasi teknologi efisiensi energi di sektor industri berat. Dengan kata lain, kebijakan ini membuka ruang bagi dunia usaha untuk berkontribusi langsung terhadap target nasional Net Zero Emission tanpa harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi.
Di tengah tekanan global untuk menekan laju perubahan iklim, negara ini berupaya menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi dan tanggung jawab lingkungan. Sejak menandatangani Paris Agreement pada tahun 2015, Indonesia menunjukkan komitmen yang tidak main-main untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Melalui dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC), pemerintah menargetkan penurunan emisi sebesar 31,9% secara mandiri, dan bisa mencapai 43,2% dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
Dari skalanya, target itu bukan pekerjaan kecil. Penurunan emisi sampai lebih dari 40% berarti mengubah langkah pembangunan di Indonesia. Mulai dari sektor energi, industri, transportasi, hingga tata guna lahan. Tapi kabar baiknya, arah itu sudah mulai terlihat. Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada tahun 2022 realisasi penurunan emisi karbon Indonesia mencapai 118,2 juta ton CO₂, melampaui target tahun 2023 sebesar 116 juta ton CO₂. Capaian ini membuktikan bahwa Indonesia punya kemampuan teknis dan kapasitas kebijakan untuk terus bergerak menuju masa depan rendah karbon, asalkan ada komitmen bersama dari semua pihak, pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.

Mekanisme Perdagangan Karbon
Langkah ini juga menunjukkan bahwa upaya menekan emisi bukan sekadar bentuk kepatuhan terhadap komitmen internasional, tapi bagian dari strategi nasional untuk membangun ekonomi yang tangguh, mandiri, dan berkelanjutan. Salah satu manifestasinya adalah terbitnya Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK).
Aturan ini memperkenalkan konsep nilai ekonomi bagi karbon. Artinya, emisi karbon kini punya “harga” dan bisa diperhitungkan dalam mekanisme pasar. Pendekatan ini membuat pengurangan emisi tidak lagi hanya soal kewajiban moral, tapi juga peluang ekonomi baru yang bisa memberi manfaat finansial bagi pelaku usaha.
Kemudian, Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan menjadi pelengkap penting. Melalui beleid ini, pemerintah menetapkan pajak karbon dengan tarif paling rendah Rp30,00 per kilogram CO₂ ekuivalen (CO₂e), yang akan mulai diterapkan secara penuh pada tahun 2025. Tujuannya bukan sekadar menambah penerimaan negara, tapi juga memberi sinyal kuat agar industri mulai berinovasi menuju penggunaan energi yang lebih bersih.
Pemerintah juga menyadari bahwa transisi menuju ekonomi hijau butuh waktu dan strategi yang matang. Karena itu, kebijakan emisi karbon di Indonesia dijalankan secara bertahap, agar pelaku industri punya ruang untuk beradaptasi. Salah satu langkah konkretnya adalah peluncuran perdagangan karbon (carbon trading) di sektor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) pada tahun 2023.
Dalam tahap awal ini, Kementerian ESDM menargetkan 99 PLTU dengan kapasitas di atas 100 megawatt untuk ikut serta dalam sistem perdagangan karbon. Skema yang digunakan dikenal dengan istilah cap and trade. Sederhananya, pemerintah menentukan batas maksimum emisi (cap) untuk setiap perusahaan. Jika sebuah perusahaan mampu menekan emisinya di bawah batas tersebut, mereka bisa menjual sisa kuotanya kepada perusahaan lain yang masih kesulitan mengurangi emisi. Dengan cara ini, pengurangan emisi bukan hanya jadi kewajiban, tapi juga peluang bisnis baru, terutama bagi perusahaan yang inovatif dan efisien dalam penggunaan energi.
Hal ini didukung dengan penelitian berjudul Carbon Pricing Without the Tax: Investment Behavior Under Emerging Market Signals in Indonesia (2025). Riset ini menunjukkan bahwa perusahaan di Indonesia yang terpapar sinyal harga karbon melalui skema perdagangan emisi (ETS) dan mekanisme lainnya sudah mulai meningkatkan belanja modal mereka untuk investasi ramah lingkungan. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kebijakan harga karbon, meskipun pajak karbon belum sepenuhnya diberlakukan, namun ada sinyal positif yang mendorong perusahaan untuk beralih ke teknologi rendah emisi, memperkuat daya saing industri, dan melihat bahwa ekonomi hijau bukan hanya idealisme tapi peluang nyata.
Dengan demikian, kebijakan emisi karbon di Indonesia bukan sekadar regulasi lingkungan; ia menjadi alat perubahan ekonomi.
Tujuan Penerapan Kebijakan Emisi Karbon
Dikutip dari penelitian The Effect of Green Investment and Green Financing on Sustainable Business Performance of Foreign Chemical Industries Operating in Indonesia: The Mediating Role of Corporate Social Responsibility (2023), investasi hijau dan pembiayaan hijau terbukti berperan penting dalam meningkatkan kinerja bisnis berkelanjutan di Indonesia. Berikut ini beberrapa tujuan penerapan kebijakan emisi carbon:
Tujuan utama dari kebijakan ini tentu untuk menekan emisi gas rumah kaca (GRK). Indonesia masih tercatat sebagai salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di dunia. Berdasarkan data dari Global Carbon Atlas (2023), total emisi karbon Indonesia mencapai sekitar 1,3 gigaton CO₂, dengan lebih dari 50% berasal dari sektor energi, terutama dari penggunaan bahan bakar fosil di transportasi dan industri. Angka ini menunjukkan bahwa transformasi di dua sektor tersebut menjadi kunci keberhasilan kebijakan emisi karbon nasional.
Pemerintah fokus menekan emisi di tiga sektor utama: energi, transportasi, dan industri manufaktur. Ketiganya merupakan penyumbang terbesar emisi sekaligus penggerak utama ekonomi nasional. Karena itu, kebijakan ini didesain agar transisi ke energi bersih bisa dilakukan tanpa mengguncang stabilitas ekonomi dan industri.
Kebijakan emisi karbon nggak berhenti di tahap pengawasan atau regulasi aja. Pemerintah juga membuka ruang besar untuk inovasi. Perusahaan yang berkomitmen mengurangi emisi melalui teknologi rendah karbon mendapat berbagai insentif—mulai dari keringanan pajak hingga dukungan pembiayaan riset dan investasi hijau.
Salah satu langkah konkret terlihat pada program Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap yang dicanangkan Kementerian ESDM. Program ini menargetkan kapasitas 3,6 gigawatt pada tahun 2025, dengan mendorong rumah tangga, industri, dan lembaga publik untuk beralih ke energi bersih. Selain itu, pemerintah juga memperkuat dukungan terhadap pengembangan biomassa, panas bumi, dan energi angin yang potensinya besar di berbagai wilayah Indonesia.
Kamu bisa lihat bahwa kebijakan ini mendorong efisiensi energi sekaligus memicu kreativitas di sektor swasta. Banyak perusahaan mulai berinovasi dalam sistem produksi yang lebih hemat energi, daur ulang limbah, hingga digitalisasi proses industri untuk mengurangi jejak karbon.
Menumbuhkan Ekonomi Hijau
Menariknya, kebijakan emisi karbon ini justru membuka peluang baru bagi pertumbuhan ekonomi. Sepanjang tahun 2023, nilai investasi hijau di Indonesia tercatat mencapai sekitar US$1,6 miliar, meningkat sekitar 28% dibanding tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini menandakan semakin besarnya minat investor terhadap sektor-sektor berkelanjutan seperti energi terbarukan, pengelolaan limbah, dan teknologi efisiensi energi.
Bukan cuma dari sisi investasi, peluang kerja di sektor hijau juga terus bertambah. Berdasarkan laporan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, transisi menuju ekonomi rendah karbon berpotensi menciptakan hingga 25 juta lapangan kerja baru di bidang energi bersih, konservasi lingkungan, dan teknologi sirkular dalam satu dekade ke depan. Jadi, kebijakan emisi karbon ini bukan hanya soal menekan polusi, tapi juga membuka jalan untuk ekonomi yang lebih inklusif dan berkeadilan bagi masyarakat.
Kebijakan emisi karbon di Indonesia mulai menunjukkan hasil nyata. Investasi hijau dari dalam dan luar negeri meningkat dengan cepat, menurut data resmi, aset investasi berkelanjutan global telah mencapai US$ 35,3 triliun, sekitar 36 % dari total aset keuangan dunia. Hal ini memberi sinyal kuat bahwa ekonomi hijau bukan lagi sekadar slogan.
Dikutip dari penelitian Sustainability and Financial Performance: Examining ESG Disclosure and Carbon Performance in Indonesia (2024), ditemukan bahwa pengungkapan emisi karbon dan kinerja lingkungan yang baik secara signifikan berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan perusahaan-industri dengan emisi tinggi di Indonesia. Dan dari sini jelas: kebijakan hijau tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan, tetapi juga menguntungkan secara bisnis.
Sebagai contoh konkret, dalam penelitian ini, ada estimasi bahwa apabila implementasi pajak karbon dilakukan secara efektif dan efisien, pemerintah berpotensi memperoleh pemasukan hingga Rp 23,651 triliun dari sektor energi pada tahun 2025. Di sisi lain, sektor perdagangan karbon juga mulai berjalan, khususnya di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menjadi pionir dalam mekanisme cap-and-trade. Lewat kolaborasi antara pemerintah, BUMN, dan swasta, misalnya dengan program seperti Green Energy as a Service (GEAS) oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), kebutuhan listrik hijau dari sektor industri mulai terlayani, sekaligus membuka peluang bisnis baru.
Kalau kebijakan emisi karbon terus dijalankan secara konsisten dan terintegrasi dengan agenda pembangunan nasional, dampak jangka panjangnya bisa sangat besar.
Dikutip dari analisis World Resources Institute (WRI) Indonesia berjudul Meninjau Keadaan Ekonomi Hijau Indonesia: Bagaimana Seharusnya Strategi Kita Melangkah ke 0 (2023), penerapan prinsip ekonomi hijau secara menyeluruh berpotensi meningkatkan pertumbuhan PDB rata-rata hingga 6,3% per tahun selama periode 2025–2045, serta membuka sekitar 1,7 juta lapangan kerja hijau baru pada tahun 2045.
Analisis tersebut juga menekankan bahwa investasi hijau, pengembangan teknologi bersih, dan transisi energi akan menjadi pilar utama dalam memperkuat daya saing Indonesia di pasar global yang kini makin ketat terhadap isu karbon dan keberlanjutan. Dengan begitu, manfaatnya tidak hanya berhenti pada aspek ekonomi, tapi juga berdampak langsung pada kesejahteraan sosial.
* Penulis adalah kontributor di Validnews.id
Referensi: