07 Juni 2025
15:30 WIB
Apa Yang Terjadi Saat Kita Mati Dari Sudut Pandang Ilmu Forensik
Bagaimana ilmu forensik menentukan waktu kematian? Dari suhu tubuh hingga belatung, tubuh punya cara unik menceritakan apa yang terjadi.
Penulis: Besyandi Mufti
Editor: Rikando Somba
Ilustrasi autopsi Forensik. Shutterstock/Fer Gregory
Dalam dunia forensik, memperkirakan waktu sejak kematian atau time since death (TSD) adalah salah satu teka-teki utama yang harus dipecahkan. Informasi ini sangat penting, terutama untuk mengungkap kronologi kejadian dalam kasus pembunuhan atau kematian mencurigakan.
Namun, kenyataannya, menentukan kapan seseorang meninggal bukanlah hal yang mudah. Tubuh manusia mengalami banyak perubahan yang dipengaruhi oleh lingkungan, suhu, hingga kondisi jasad itu sendiri.
Perubahan Pada Tubuh yang Sudah Tidak Bernyawa
Pada jam-jam pertama setelah kematian, tubuh mulai mengalami serangkaian perubahan biologis. Salah satu tanda awal adalah perubahan pada mata. Pembuluh darah di retina terlihat menggumpal dalam waktu 30 menit hingga dua jam, kornea mulai keruh, dan tekanan bola mata menurun.
Selain itu, kulit menjadi pucat dan kehilangan elastisitas. Jika ada makanan di dalam lambung, itu juga bisa memberikan petunjuk kapan korban terakhir makan, yang dapat membantu memperkirakan waktu kematian.
Memasuki 72 jam pertama setelah kematian, tubuh mulai menunjukkan tanda-tanda yang lebih jelas.
Salah satunya adalah algor mortis, yaitu penurunan suhu tubuh. Secara umum, tubuh kehilangan panas sekitar 1 derajat Celcius per jam, tetapi ini bisa sangat bervariasi tergantung suhu ruangan dan kondisi tubuh.
Dokter forensik biasanya mengukur suhu melalui rektum atau otak, dan menghitungnya menggunakan rumus atau alat bantu seperti Henssge Nomogram.
Selain suhu tubuh, ada juga rigor mortis atau kekakuan mayat, yang terjadi karena otot kehabisan energi (ATP) dan menyebabkan otot-otot mengunci. Kekakuan ini biasanya mulai dari otot wajah sekitar dua jam setelah kematian, menyebar ke seluruh tubuh dalam 12 jam, dan menghilang setelah 36 jam.
Urutan ini mengikuti hukum Nysten, yang menggambarkan progresi kekakuan dari atas ke bawah tubuh.
Tak kalah penting, ada juga livor mortis, yaitu perubahan warna kulit akibat darah mengendap di bagian tubuh yang rendah karena gravitasi. Warna ungu kebiruan ini mulai terlihat di tubuh setelah sekitar 12 jam. Jika tubuh dipindahkan sebelum warna ini menetap, maka pola warna bisa bergeser—sebuah petunjuk penting dalam investigasi.
Tampak Fisik dari Usia Kematian Mayat
Selain tanda-tanda luar, ada juga pemeriksaan histologis (jaringan) dan biokimia yang bisa memberikan gambaran waktu kematian. Misalnya, jaringan kelenjar keringat dan kulit mulai menunjukkan perubahan degeneratif dalam waktu tertentu. Di sisi lain, analisis cairan mata, khususnya kadar kalium dan hipoksantin dalam vitreous humor, dapat membantu memprediksi waktu kematian, meski hasilnya seringkali bervariasi dan belum sepenuhnya akurat.
Ada pula fenomena menarik yang disebut reaksi supra-vital—yaitu respon tubuh terhadap rangsangan setelah kematian, seperti otot yang masih bisa bergerak saat disentuh atau diberi listrik. Reaksi ini bisa terjadi selama beberapa jam setelah kematian dan memberi petunjuk mengenai "usia kematian" yang lebih spesifik, meski jarang digunakan karena butuh keahlian dan alat khusus.
Proses Pembusukan Pada Mayat
Setelah lewat dari tiga hari, tubuh masuk ke fase pembusukan lanjutan. Tahapan ini dimulai dengan perubahan warna pada perut kanan bawah, diikuti oleh keluarnya cairan busuk, pembengkakan, dan munculnya belatung.
Jika dibiarkan lebih lama, jaringan lunak akan membusuk habis. Kemudian tulang mulai terlihat. Kadang, dalam kondisi lembap dan tertutup, lemak tubuh berubah menjadi adipocere, semacam lapisan lilin yang bisa mengawetkan jasad selama berbulan-bulan.
Proses ini kemudian berlanjut ke tahap kerangka, biasanya setelah dua bulan hingga setahun tergantung lingkungan. Di sini, daging menghilang, tulang menjadi kering dan mulai kehilangan bagian-bagian penting seperti ujung tulang (metafisis).
Jika jasad dibiarkan lebih lama lagi, tulang bisa memutih dan mulai terkikis akibat paparan alam.
Singkatnya, memperkirakan waktu kematian bukan soal melihat satu tanda saja. Para ahli forensik harus menggabungkan berbagai petunjuk dari tubuh, mulai dari suhu, kekakuan, warna kulit, hingga analisis mikroskopik dan kimiawi. Meski penuh tantangan, metode-metode ini terus dikembangkan agar lebih akurat, karena pada akhirnya, setiap jasad punya cerita yang ingin diceritakan—dan tugas forensiklah untuk mendengarkannya.
Referensi: