25 September 2023
14:00 WIB
Penulis: Novelia
Buat Sobat Valid yang hobi menonton tayangan true crime atau drama yang melibatkan tema peradilan yang terjadi di luar negeri, mungkin sudah tidak asing dengan sistem jury trial alias sidang juri. Dalam mekanisme ini, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan kesepakatan sejumlah juri.
Tengok saja pada tayangan-tayangan dokumenter persidangan Jeffrey Dahmer, Ted Bundy, hingga Candace Montgomery.
Tujuan utama dari peradilan dengan sidang juri sendiri adalah hak untuk mendapat perlindungan dari jaksa yang melakukan korupsi, bersikap bias, dan perbuatan lainnya yang tak etis. Juri dianggap merupakan wujud partisipasi masyarakat awam yang bisa membuat putusan cenderung lebih terasa adil bagi masyarakat.
Dalam suatu sidang juri, ada beberapa pihak yang terlibat, yakni hakim penuntut umum, pengacara, terdakwa, saksi, korban, dan juri. Pertama-tama sidang dibuka dan dipandu oleh hakim yang kemudian menyerahkan kesempatan pada penuntut umum untuk menjelaskan kasus.
Di sisi lain dihadirkan saksi, terdakwa, dan korban jika masih hidup, dalam sidang juri. Secara bergantian ketiga pihak tersebut akan memberikan keterangan dan menjawab pertanyaan yang diajukan, baik oleh penuntut umum maupun pengacara.
Dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut, penuntut umum memiliki misi mempengaruhi juri untuk berpikir, terdakwa bersalah. Sebaliknya, pengacara merupakan pembela terdakwa, yang memiliki misi memengaruhi juri agar berpikir, terdakwa tak bersalah atau tak sepenuhnya bersalah. Keduanya akan menyusun kesimpulan masing-masing dan menjelaskannya pada para juri,
Jawaban-jawaban dari terdakwa, korban, maupun para saksi, serta penjelasan dari penuntut umum dan pengacara inilah yang kemudian menjadi pijakan para juri, untuk memutuskan apakah terdakwa bersalah atau tidak. Selanjutnya bola dilempar kembali pada hakim untuk memutuskan berat hukuman bagi terdakwa.
Sejarah Sidang Juri
Cikal bakal hadirnya sidang juri dalam peradilan, berawal ketika bangsa Normandia dari Barat Laut Prancis masuk dan menaklukkan Inggris pada awal abad ke-11. Penduduk Inggris yang masih sangat sedikit kala itu tinggal mengelompok dan tersebar pada sejumlah permukiman. Nah, setiap permukiman tersebut memiliki kebiasaan sendiri mengenai bagaimana menyelesaikan sengketa atau permasalahan antarwarga yang kemudian dikenal sebagai ‘hukum kebiasaan’.
Adalah Raja Henry II yang di tengah pemerintahannya pada pertengahan abad ke-12, memutuskan untuk mulai mengintervensi hukum kebiasaan tersebut. Ia membentuk Dewan Penasihat Raja (King’s Council) di pusat pemerintahan, untuk memeriksa berbagai perkara hukum yang masuk kerajaan. Para dewan tersebut kemudian menunjuk panitia-panitia khusus yang secara rutin bersidang atas nama raja.
Dalam tujuan memberi pelayanan lebih luas pada masyarakat, sekaligus melaksanakan pengawasan terhadap praktik peradilan di daerah, para hakim yang awalnya tinggal di London, dikirim berkeliling ke daerah-daerah di Inggris dan Wales. Di masing-masing wilayah tugasnya, hakim-hakim tersebut menjalankan siding-sidang pengadilan yang dikenal dengan nama assizes.
Di sini para hakim menyadari, dengan status sebagai ‘pihak pusat/pemerintahan’, mereka kurang mampu menangkap perasaan hukum masyarakat setempat, khususnya terkait nilai-nilai yang hidup dalam lingkungan tersebut. Makanya, kemudian sejumlah orang diambil dari masyarakat sebagai juri untuk meminimalisasi kesalahan penilaian hakim pada sidang assizes tersebut. Praktik inilah yang kemudian jadi asal mula sidang juri yang kini dilakukan sejumlah negara.
Negara Pengguna Sidang Juri
Peradilan menggunakan sidang juri sendiri, umumnya dilakukan oleh negara-negara yang menggunakan sistem hukum Common Law, misalnya Amerika Serikat. Dalam common law, sistem peradilan bersifat adversary, di mana hakim hanya berperan sebagai fasilitator sidang.
Tugas hakim hanya menjalankan apa yang telah diputuskan oleh juri, kemudian menentukan lamanya masa tahanan. Sementara kedudukan jaksa setara dengan terdakwa, dan juri merupakan penentu utama keputusan.
Hal ini sejalan dengan sistem yang lebih mengutamakan keadilan, sebagaimana adagium yang telah lama dianut Amerika Serikat, yakni “lebih baik membebaskan 10 orang bersalah daripada menahan 1 orang tidak bersalah.”
Di sisi lain, Indonesia menganut Civil Law yang memiliki perbedaan karakteristik dengan Common Law yang dianut Amerika Serikat. Dalam sistem Civil Law, undang-undang menjadi rujukan hukum yang utama dan hakim bersifat aktif dalam mengarahkan dan memutus suatu perkara.
Selain itu, ada alasan lain yang membuat sidang juri sulit terjadi di Indonesia. Yakni karena negara kita terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Hal ini tentunya cukup memperumit susunan juri dalam proses persidangan.
Akan tetapi, dalam praktiknya bisa dikatakan, tak ada negara yang masih secara total menganut sistem Common Law ataupun Civil Law. Indonesia misalnya, meski berangkat dari sistem Civil Law, putusan pengadilan, juga dipengaruhi sejumlah faktor di luar perundang-undangan. Misalnya tekanan dari keinginan publik terhadap satu kasus.
Bagaimana menurut Sobat Valid? apakah sistem peradilan di Indonesia sudah tepat?
Referensi
Brooks, T. (2004). The Right to Trial by Jury. Journal of Applied Philosophy, Vol. 21, No. 2, 197-212.
Kemenkumham. (2013, Juni 13). Eksistensi Sistem Juri dalam Sistem Peradilan Pidana Amerika Serikat. Retrieved from Kemenkumham Kantor Wilayah Jawa Barat:
Memahami Sekilas Latar Belakang Historis Istilah "Common Law". (2016, Juni). Retrieved from Binus University