- Nasional
BERSAMA BIJAK TANGGAPI BENCANA
Urgensi Ketegasan Dalam Penanganan Covid-19 di Indonesia
27 Maret 2020 , 20:00

Oleh: Sita Wardhani S,SE, MSc
Seluruh dunia saat ini sedang bergumul dengan musuh tak terlihat. Musuh yang membuat semua orang panik. Bahkan, angkatan bersenjata manapun tak mampu mengatasi serangannya. Covid-19 menyerang secara tak kasat mata, tak tentu arah, serta tak memandang kelas.
Dari rakyat jelata, pejabat negara, hingga seorang pangeran tidak dapat menghindarinya. Berbagai negara pun terpaksa menghentikan aktivitas untuk sementara dan mengorbankan perekonomian untuk waktu tertentu. Hingga kini, tak ada seorang pun atau model matematika manapun mampu memprediksi sampai kapan serangan ini akan mereda.
Penambahan kasus covid-19 pada 26 Maret 2020 telah mencapai 49.219 kasus. Dalam hal ini, tiga negara dengan penambahan kasus terbesar adalah Amerika Serikat, yakni sebanyak 11.656 kasus, diikuti Spanyol, 7.937 kasus, dan Italia, sejumlah 5210 kasus. Penambahan laporan kasus pada ini menjadikan total kasus covid-19 di tingkat dunia mencapai 462.684 kasus.
Bagaimana dengan Indonesia? Jika kita lihat perkembangan dalam per satu minggu, lonjakan kasus yang terjadi di Indonesia terjadi secara eksponensial. Mengacu pada data WHO per tanggal 26 Maret 2020, jumlah laporan kasus di Indonesia telah mencapai 790 kasus. Padahal, satu minggu yang lalu, yakni pada 19 Maret 2020, kasus terlapor mencapai 227. Artinya, dalam satu minggu terjadi lonjakan sebesar 248%.
Sikap Pemerintah
Lonjakan kasus ini menyebabkan kepanikan. Masyarakat tidak lagi mempermasalahkan stok bahan pangan dan kebutuhan keseharian. Malahan, masyarakat kemudian memborong masker dan cairan pembersih tangan. Dalam hal ini, yang memicu keprihatinan adalah kepanikan ini menimbulkan beberapa alat kesehatan penting juga hilang dari peredaran.
Langkanya alat-alat kesehatan menyulitkan tenaga kesehatan di lapangan. Sebagai contoh, alcohol swab yang mulai sulit ditemukan karena turut diborong masyarakat. Ternyata, masyarakat mempergunakannya untuk mengelap mesin ATM atau telepon seluler, sebagai upaya dalam berperang dengan virus covid-19.
Kepanikan tidak hanya terjadi di masyarakat, tetapi juga di tingkat pemerintah. Ketidaksiapan pemerintah terlihat dari berbagai kebijakan yang diberlakukan. Contoh yang paling nyata adalah kebijakan yang diberlakukan pada Senin 16 Maret lalu. Pemda DKI membatasi jam operasional serta jumlah transportasi yang beroperasi. Namun, di lain pihak, masih banyak kantor yang masih beroperasi.
Tujuan pemerintah untuk mencegah masyarakat bepergian, dan membatasi pertemuan (social distancing) pun gagal total. Akibatnya, penumpukan penumpang, serta kemacetan di jalanan ibu kota tak dapat dihindari.Meskipun, tujuan dari kebijakan yang diberlakukan Pemda DKI tersebut sebetulnya sudah baik.
Pada saat itu, kasus yang terlapor di Indonesia masih 134 kasus. Jika saja pemerintah cepat dalam bertindak dalam mengkomunikasikan pentingnya berjaga jarak dan mengurangi untuk bertemu dan berkumpul, maka jumlah kasus terlapor saat ini bisa dibatasi.
Sebetulnya terdapat dua kemungkinan penyebab lonjakan kasus terjadi. Pertama, kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga jarak dan membatasi kegiatan berkumpul. Hal ini dapat dilihat dari masih banyak acara yang bersifat pertemuan dan melibatkan khalayak ramai sehingga mendorong angka penularan.
Kemungkinan kedua, akses uji positif atau tidaknya seseorang tertular covid-19. Dengan keterbukaan informasi mengenai laporan kejadian, orang-orang yang pernah berhubungan dengan orang yang positif, mungkin sadar dan akan melaporkan dirinya. Hal inilah yang kemudian menyebabkan lonjakan jumlah kasus.
Kembali pada sikap pemerintah dalam menangani kasus covid-19, ada indikasi bahwa pemerintah seolah gamang, dalam mengambil tindakan untuk penanganan kasus ini. Dalam setiap keputusan, selalu ada trade-off. Terlihat, dalam hal penanganan covid-19, pemerintah dihadapkan dua pilihan keputusan, yakni lockdown atau tidak lockdown.
Lockdown atau Tidak
Lockdown merupakan pilihan yang dilakukan beberapa negara untuk mengatasi pandemi ini. Hal ini berkaca dari keberhasilan China dalam menekan angka persebaran covid-19 setelah Provinsi Hubei ditutup dan segala aktifitas dihentikan.
Namun demikian, salah satu yang dikhawatirkan ketika melakukan lockdown adalah masalah perekonomian. Ketika aktivitas produksi terhenti, otomatis tidak ada pendapatan. Dalam kondisi seperti ini, kelompok yang paling terkena dampak adalah masyarakat yang rentan, yakni yang berada dalam ambang garis kemiskinan.
Sektor industri mungkin tidak terlalu terpengaruh dari kebijakan lockdown. Utamanya, sektor industri yang bahan bakunya bergantung pada impor. Sebab, China sebagai sumber impor Indonesia terbesar pun masih lambat aktivitas perekonomiannya. Akibat pandemi covid-19 ini, perlambatan aktivitas ekonomi pun otomatis terjadi dan terjadi secara global, baik dengan lockdown, maupun tidak.
Di lain sisi, jika tidak dilakukan lockdown, masyarakat masih bisa beraktifitas. Utamanya, masyarakat di daerah urban yang bekerja pada sektor informal dan pendapatanya bersifat harian. Jika lockdown diberlakukan, pendapatan mereka pun akan terhenti.
Sebuah studi yang dilakukan pada 2007 mencoba mengevaluasi dampak ekonomi serta kesiapan AS dalam menghadapi sebuah pandemi, dengan mengacu pada pandemi influenza pada 2018, yang lebih dikenal sebagai Spanish flu. Studi tersebut melaporkan bahwa bisnis yang paling terkena dampak adalah sektor jasa dan industri hiburan. Sektor ini mengalami kerugian pendapatan hingga dua digit. Namun, usaha yang bergerak di sektor kesehatan justru mengalami kenaikan pendapatan.
Meski demikian, pemerintah tetap harus mengambil keputusan yang tegas. Menurut hemat penulis, lockdown merupakan keputusan yang tepat. Berkaca pada kejadian Amerika Serikat (AS). Pada tanggal 26 Maret 2020, disebutkan bahwa berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Johns Hopkins University, jumlah kasus di AS telah mencapai lebih dari 83 ribu, lebih besar dari China yang kasusnya sekitar 81 ribu (NPR, 2020).
Kebijakan Lockdown di Berbagai Negara
Lockdown memang dilakukan oleh negara-negara yang mengalami lonjakan kasus yang tinggi, seperti Itali, Spanyol, Jerman, dan Prancis. Kemudian, Inggris sebagai negara dengan jumlah kasus tebesar ke-9 juga telah menetapkan memberlakukan lockdown sejak tanggal 23 Maret hingga tiga minggu ke depan (CNN, 2020). Sementara itu, Malaysia memutuskan memperpanjang masa lockdown, yang semula hanya berlangsung hingga 31 Maret, menjadi hingga 14 April (SCMP, 2020).
Selain beberapa negara di atas, India mengumumkan pemberlakuan “Janata Curfew”. Janata artinya orang, jadi pelarangan ini berlaku bagi semua orang. Sebelumnya, pemerintah India hanya mengumumkan pembatasan selama 14 jam di hari Minggu, tanggal 22 Maret. Pembatasan ini pun dilakukan hanya sebagai latihan, sebagai upaya dalam berperang melawan covid-19.
Sebelumnya, beberapa negara bagian India bahkan sudah me-lockdown daerahnya sendiri. Baru pada 24 Maret 2020, Perdana Menteri India, Narendra Modi mengumumkan lockdown di seluruh negara, selama 21 hari (The Economic Times, 2020).
Keberhasilan Keputusan Tidak Lockdown
Lockdown memang bukan satu-satunya cara untuk menghentikan penularan covid-19. Ada tiga negara yang telah diakui keberhasilannya untuk menurunkan angka infeksi tanpa melakukan lockdown. Ketiga negara tersebut adalah Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura. Keberhasilan ketiga negara tersebut untuk mencegah infeksi tanpa lockdown disebabkan sumber daya dan teknologi yang mereka miliki.
Korea Selatan, sebagai negara dengan jumlah kasus tertinggi ke-10, tidak melakukan lockdown. Namun, mereka memiliki industri bioteknologi yang mampu memproduksi alat uji deteksi infeksi covid-19. Industri bioteknologi sangat berkembang di Korea Selatan. Banyak perusahaan di bidang biotek yang didirikan oleh para ilmuwan di sana.
Perusahaan-perushaan tersebut kemudian mempelajari laporan ilmiah tentang virus covid-19 yang dipublikasikan oleh China untuk mengembangkan alat untuk mendiagnosa infeksi covid-19 untuk kemudian diproduksi. Dengan demikian, Korea Selatan saat ini telah mampu melakukan uji terhadap 20 ribu orang per harinya.
Dengan alat uji ini, Korsel kemudian mendirikan pusat uji drive-thru sehingga mempermudah identifikasi. Ketika seseorang teridentifikasi, ia akan langsung dikarantina. Praktik inilah yang membuat Korsel berhasil menekan angka infeksi (Aljazeera, 2020).
Lain halnya dengan Taiwan. Gerak cepat Taiwan dalam menekan angka infeksi covid-19 berkaca pada pengalaman mereka saat epidemi SARS pada 2003, Taiwan kemudian mendirikan sebuah pusat komando untuk mengatasi epidemi. Pusat komando inilah yang memunkinkan Taiwan untuk menangani covid-19.
Pusat komando tersebut memudahkan tenaga kesehatan mengumpulkan data, mendistribusikan kembali sumber daya, menyelidiki kasus-kasus potensial, dan menindaklanjuti riwayat kontak mereka. Sementara itu, mereka juga dapat dengan cepat mengisolasi pasien yang ditemukan membawa virus, serta bergerak cepat dalam menditribusikan masker. Selain itu, mereka juga melaksanakan pengawasan ketat dan memberlakukan karantina 14 hari terhadap mereka yang baru bepergian ke luar negeri, terutama dari China (Aljazeera, 2020).
Lalu, bagaimana dengan negara tetangga kita, Singapura? Sebagai negara yang terletak di pulau yang sangat kecil dengan kepadatan penduduk kurang lebih 8350 jiwa per km2. Tentu, persebaran covid-19 menjadi sebuah kekhwatiran yang besar. Oleh sebab itu, Singapura memberlakukan metode contact-tracing.
Singapura mengandalkan berbagai informasi dari CCTV hingga penelusuran manual, seperti telepon, untuk menghubungi dan menanyakan penduduknya untuk memastikan keberadaan mereka pada tanggal tertentu. Hal ini dilakukan sebagai upaya mencari tahu keterhubungan warga tersebut dengan pasien yang positif terinfeksi covid-19. Pemerintah bahkan memberlakukan penalti terhadap individu yang menolak memberikan informasi, dengan menetapkan denda sebesar S$10 ribu, atau setara Rp112 juta.
Gerak Cepat
Pandemi covid-19 merupakan hal baru, tidak hanya bagi Indonesia, tetapi sebagian besar negara di dunia. Sebaran yang sangat luas, cepat, serta jika tidak tertangani dengan cepat, dapat berakibat fatal dan mengakibatkan kematian.
Ketidaksiapan pemerintah tercermin dari banyaknya upaya swadaya masyarakat, saling bahu membahu, mengatasi dampak dari pandemi ini. Baik dari segi kesehatan maupun ekonomi. Terdapat berbagai gerakan swadaya masyarakat. Salah satunya, yang diinisiasi penyanyi sekaligus dokter bedah plastik, Tompi. Ia menggalang dana untuk pengadaan alat kesehatan bagi tenaga medis yang berjuang mengatasi covid-19.
Kemudian, Alissa Wahid juga melakukan penggalangan dana untuk disalurkan kepada masyarakat rentan yang terdampak ekonominya. Selain itu, terdapat berbagai upaya penggalangan dana lainnya yang dilakukan masyarakat melalui media sosial. Aksi seperti ini lazim terjadi di negara dengan pemerintahan yang tidak sigap menghadapi bencana masif (Garrett, 2007).
Hingga hari ini, pemerintah Indonesia belum berniat memberlakukan lockdown. Pemerintah hanya memberikan himbauan physical distancing. Aktivitas keluar rumah masih diperbolehkan, dengan persyaratan setiap orang harus menjaga jarak antar individu minimal 1 meter. Selain itu, beberapa pemerintah daerah telah menghentikan aktivitas belajar mengajar dan mengimbau perkantoran untuk bekerja dari rumah (work from home atau wfh). Meski begitu, angka infeksi masih terus meningkat dan cukup menghkawatirkan.
Lockdown masih menjadi alternatif terbaik. Dengan memberlakukan lockdown, bukan berarti harus tinggal dirumah dan sama sekali tidak diperbolehkan keluar. Negara-negara lain yang menerapkan lockdown pun memberi pengecualian. Misalnya, aktivitas berbelanja masih diperbolehkan dan beberapa toko yang menjual komoditas esensial masih diizinkan buka. Selain itu, keluar rumah untuk berolahraga, dengan radius tertentu juga masih diperbolehkan Namun demikian, proses lockdown pun harus dipersiapkan sehingga tidak terjadi panic buying.
Di sisi lain, jika pemerintah tetap teguh bertahan untuk tidak melakukan lockdown, pemerintah harus gencar memberikan informasi kepada masyarakat, baik lewat tv, radio, internet, dan berbagai media komunikasi lain. Pesan harus resmi dari pemerintah. Informasi jumlah laoran kasus harus dikomunikasikan secara baik. Bukan untuk menciptakan ketakutan dan kepanikan, namun mengajak agar masyarakat waspada dan saling menjaga diri dan sesama.
Kemudian, informasi mengenai cara menjaga kebersihan dan kesehatan diri seharusnya diberikan oleh kementerian kesehatan, dan dipublikasikan oleh peerintah lewat kementerian komunikasi dan informaasi (Kominfo). Informasi sebaiknya gencar dilakukan, untuk menghindari peredaran hoaks serta salah kaprah di masyarakat.
Pemerintah harus bergerak cepat dan membuat keputusan tegas untuk menghentikan pertumbuhan jumlah infeksi yang eksponensial ini. Mengutip sebuah laporan mengenai epidemi Ebola pada 2015 "the cost of containing could be high, but the cost of NOT containing would be astronomical". Dengan kata lain, pemerintah harus cepat dan tegas, sebelum dampaknya lebih besar lagi.
*Peneliti Visi Teliti Saksama
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN