- Nasional
UU Perlindungan Konsumen Belum Cakup Transaksi Digital
22 Januari 2021 , 17:51

JAKARTA – Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Siti Alifah Dina mengatakan, pemerintah perlu merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. UU ini dinilai belum memasukkan ekosistem ekonomi digital di dalamnya.
Padahal, kata Siti, kegiatan ekonomi digital yang melibatkan penyedia jasa dan layanan serta konsumen, membutuhkan payung hukum terkait perlindungan konsumen. Perlindungan diharapkan mampu meningkatkan kepercayaan konsumen dalam bertransaksi.
Walaupun UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016, serta peraturan turunannya sudah mengatur transaksi digital, masih terdapat beberapa aspek yang belum diatur.
Ia mencontohkan, aspek yang belum diatur seperti isu-isu terkait kegiatan re-selling, peran pihak ketiga atau intermediary parties. Kemudian, jumlah dan jenis data yang boleh dikumpulkan penyelenggara, dan transaksi lintas negara termasuk resolusi konflik lintas negara. Karakteristik tadi, lanjutnya, belum dibahas dalam UU Perlindungan Konsumen maupun UU ITE.
Selain itu, revisi ini juga dibutuhkan untuk mengatasi celah pada Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Ada beberapa pengaturan yang mengganjal masyarakat.
Seperti, pengecualian produk yang dipersonalisasi (personalized products) dan produk lekas busuk (perishable products) dari kebijakan pengembalian. Kemudian, meringankan persyaratan perizinan yang rumit sehingga melebihi kapasitas perusahaan mikro dan perusahaan kecil.
Dia menilai, ekosistem ekonomi digital tumbuh dan memberikan kontribusi yang tidak sedikit bagi perekonomian nasional. Untuk itu, upaya perlindungan konsumen perlu diperkuat lewat payung hukum yang ada.
Beda Karakteristik
Menurut dia, karakteristik transaksi online dengan offline berbeda. Transaksi online dilakukan tanpa menginspeksi, menguji, dan mengevaluasi barang dan layanan sebelum transaksi. Sehingga, banyak konsumen dihadapkan kondisi kontrak yang kurang adil karena ketentuan take it or leave it dari pelaku usaha online.
Selain UU Perlindungan Konsumen, Dina juga menemukan regulasi saat ini belum mampu menjamin adanya lingkungan digital yang aman bagi konsumen.
Contohnya, pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) dan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU Siber) masih berlangsung.
RUU PDP yang ditargetkan selesai tahun lalu diundur ke kuartal pertama 2021. Padahal setelah disahkan pun, implementasi UU ini juga masih membutuhkan waktu karena membutuhkan adanya peraturan turunan yang lebih teknis.
Apabila RUU PDP disahkan, pengendali data wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis, maksimal 72 jam kepada pemilik data dan instansi pengawas. Hal itu dilakukan, jika terjadi data breach atau kegagalan perlindungan data pribadi menurut draft September 2019.
"Meski ketentuan waktu ini menimbulkan kontroversi, namun konsep transparansi pada pelaporan menjadi penting,” terang Dina.
Selain memaksimalkan upaya untuk melindungi data pribadi dan memaksimalkan potensi ekonomi digital, Dina merekomendasikan beberapa hal.
Pertama, pemerintah harus meningkatkan penyediaan dan inklusi telekomunikasi dan internet. Didukung, upaya peningkatan literasi sebagai salah satu bentuk perlindungan konsumen. Revisi UU PK, legislasi RUU PDP, dan pembahasan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber harus segera dilakukan.
Kedua, pemerintah melakukan reformasi institusi di bidang ekonomi digital dan perlindungan konsumen, di mana hal ini bertujuan agar interpretasi dan penegakan hukum lebih terkoordinasi antara kementerian/lembaga.
"Hal ini dapat dilakukan melalui saluran yang sudah ada, seperti Strategi Nasional Perlindungan Konsumen (Stranas-PK) yang tengah dirancang untuk tahun 2020-2024 dan Forum Perlindungan Konsumen (Forum-PK)," pungkasnya. (Herry Supriyatna)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN