- Nasional
Tanda-tanda Siswa Alami Learning Loss Sudah Tampak
21 Januari 2021 , 20:32

JAKARTA - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyatakan, tanda-tanda siswa mengalami kehilangan pengalaman belajar (learning loss) sudah tampak. Hal ini diketahui berdasarkan hasil survei Kemendikbud pada 13 November hingga 17 Desember 2020.
Ada 68% dari 11.306 guru sebagai responden survei itu menyatakan bahwa 50% atau lebih siswa tidak memenuhi standar kompetensi yang diharapkan selama belajar dari rumah (BDR). Persepsi guru ini didasarkan pada hasil asesmen diagnostik yang mereka lakukan.
"Learning loss tanda-tandanya sudah mulai tampak, meskipun ini baru merupakan persepsi atau hasil analisis guru berdasarkan asesmen diagnostiknya," kata Kabalitbang dan Perbukuan Kemendikbud, Totok Suprayitno, saat Rapat Panja Peta Jalan Pendidikan, Kamis (21/1).
Secara rinci, guru yang menyatakan sebagian besar siswa memenuhi standar kompetensi hanya 31,9%. Lalu 47,6% guru menyatakan 50% siswa memenuhi standar kompetensi. Dan sebesar 20,6% guru menyatakan hanya sebagian kecil siswa memenuhi standar kompetensi.
"Yang 20% inilah yang diduga mengalami learning loss paling besar. Hanya 20% yang memenuhi standar kompetensi, artinya 80% diduga tidak mencapai capaian pembelajaran yang diharapkan," ungkap Totok.
Adapun kategori sebagian kecil siswa yang memenuhi standar kompetensi ini paling besar di jenjang SMK yaitu 27,6%. Kemudian disusul SMP sebesar 23,5%, SMA sebesar 20,0%, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sebesar 16,5%, dan SD sebesar 15,5%.
Meskipun tanda-tanda learning loss mulai tampak, Totok menyebut ada hal positif di mana sebagian besar guru sudah melakukan asesmen diagnostik. Hal ini perlu didorong agar asesmen diagnostik dilakukan guru secara rutin dan mengadvokasi tindak lanjutnya.
"Instrumen diagnostik ini mendorong guru terbiasa melakukan proses plan, do, check secara kontinyu dalam proses belajar. Ini esensi dari quality assurance sesungguhnya, ada feedback loop dari asesmen dan digunakan untuk perbaikan pembelajaran," ujarnya.
Kebiasaan menerapkan feedback loop (umpan balik) ini yang disebut ahli pendidikan asal Selandia Baru, John Hattie, memiliki efektivitas terbesar dalam peningkatan kualitas hasil belajar. Menurut Totok, ini perlu dikedepankan untuk membangun kultur belajar dan mengajar yang efektif.
Implikasi dari advokasi proses tindak lanjut hasil asesmen diagnostik adalah guru mengajar tidak untuk mengejar ketuntasan kurikulum. Melainkan proses pembelajaran mengacu sesuai kemampuan siswa atau teach at the right level.
"Itu merupakan paradigma baru. Kalau dulu yang dituntut adalah belajar menuntaskan kurikulum. Sekarang perlu dikedepankan belajar untuk memaksimalkan potensi peserta didik sesuai dengan kemampuannya," ucap dia.
Berdasarkan survei ini, sekitar 91-93% guru baik di SD, SMP, SMA, dan SMK mengaku mengembalikan hasil penilaian atau asesmen diagnostik mereka ke siswa. Asesmen yang mereka lakukan pun rata-rata mencakup aspek kualitatif dan kuantitatif dari siswa.
Survei juga mencatat 48,4% guru setuju bahwa mereka mampu mengajar secara optimal selama BDR. Lalu yang menjawab ragu-ragu 20,1%, yang menjawab tidak setuju 21,4%, yang menjawab sangat setuju 8,2%, sedangkan sisanya menjawab sangat tidak setuju.
Totok menyebut temuan itu cukup aneh. Sebab sebagian besar guru setuju mampu mengajar optimal meskipun merasa tidak senang, bahkan ada yang menjawab sangat setuju. Hal ini dinilai sebagai bentuk ketahanan mereka di tengah kesulitan akibat pandemi.
"Jadi barangkali ini bisa dipersepsikan bahwa guru mampu bertahan dalam ketidaksenangan. Bentuk resiliensi mencoba semaksimal mungkin melakukan optimalisasi di dalam segala kesulitan," pungkas Totok. (Wandha Nur Hidayat)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN