
JAKARTA – Pascaproklamasi, perusahaan-perusahaan milik Belanda, tidak serta merta jatuh ke tangan Indonesia. Jepang masih menguasainya. Tentara-tentara sekutu berupaya mencaplok semua, sembari melucuti persenjataan angkatan perang negeri matahari itu. Beredar berita, mereka telah bersekongkol dengan Belanda untuk merenggut dahulu tempat-tempat penting. Seperti, Staatsspoowegen, kongsi penaung kereta api. Hasrat Belanda untuk kembali mengendalikan mesin-mesin industrinya di Indonesia, masih sangat besar. Bahkan dikabarkan, Menteri Perhubungan saat itu, Abikoesno Tjokrosoejoso, setuju apabila jawatan tersebut dikembalikan ke Belanda.
Para pemuda republikan, tak terima jika itu terjadi. Tanggal 2 September 1945, mereka berkumpul di Gedung Menteng 31 Jakarta, untuk menyusun siasat perenggutan. Mereka datang dari dua kelompok. Yakni Angkatan Pemoeda Indonesia atau API dipimpin Wikana, lalu satuan buruh revolusioner yang pernah bekerja di perusahaan kereta api semasa pendudukan Jepang, diketuai Legiman Harjono.
Kesepakatan pun terjadi. Perebutan harus dilakukan!
Sehari berselang, para buruh bertindak lebih awal. Stasiun-stasiun di Jakarta terkuasai. Dimulai dari Jatinegara dan Manggarai. Menyusul kemudian Gambir, Tanjung Priok, Pasar Senen, Jakarta Kota, dan lainnya.
Gerakan serupa merembet hingga Bandung, tempat pusat jawatan kereta api berkantor. Tanggal 28 September 1945, aksi meletus. Seorang lelaki, mantan pengajar sekolah menengah atas Muhammadiyah berusia 34 tahun, berada di baris terdepan memandu pengambilalihan. Dia adalah Djuanda Kartawidjaja.
Kantor, bengkel, dan dipo lokomotif berhasil diduduki. Disusul pelantangan pernyataan sikap oleh Ismangil bersama sejumlah anggota Angkatan Moeda Kereta Api atau AMKA lainnya. Dikukuhkan hari itu, perkeretaapian berada di genggaman Indonesia. Seluruh orang Jepang, dilarang terlibat.
Saat yang sama, dibentuk Djawatan Kereta Api Republik Indonesia atau DKA. Di kemudian waktu, tanggal tersebut dijadikan hari peringatan kereta api di Indonesia.
Djuanda lantas mengajak para pemuda untuk memperbaiki gerbong-gerbong kereta. Jepang telah merawatnya dengan buruk. Keadaannya kotor menjijikkan. Kursi compang-camping, kamar mandi bau. Tak layak untuk ditumpangi. Memprihatinkan.
Bukan kerja yang ringan untuk membenahinya. Djuanda dan para pemuda butuh waktu panjang untuk menata bagian-bagian kereta serta stasiun, hingga kantor yang berantakan.
Upaya itu menarik perhatian pemerintah pusat. Pada 31 Januari 1946 terbit Maklumat Kementerian Perhubungan yang menetapkan Djuanda sebagai Kepala DKA, ditandatangani Presiden Soekarno.
Warta pengangkatan diterima saat Djuanda berada di kampung halamannya, Tasikmalaya. Dia tengah melakukan perjalanan menuju Yogyakarta, seiring letus pertempuran di Bandung, antara para pemuda dengan tentara Inggris yang diboncengi NICA.
Adu senjata berlangsung sengit. Tentara Inggris berhasil menekan pasukan rakyat. Bandung Utara terpaksa dikosongkan. Penduduk berlari ke selatan. Tak terkecuali dengan Djuanda.
Mandat tak boleh diremehkan, Djuanda pun membatalkan kepergiannya. Dia berbalik arah kembali ke Bandung melalui Cicalengka, untuk bergabung dengan staf pimpinan DKA lainnya.
Namun keadaan kian memburuk. Bentrok meluas, dan makin memanas. Puncaknya, 24 Maret 1946, kebakaran hebat melanda. Pasukan rakyat sengaja menjadikan kota kembang sebagai lautan api, untuk mencegah penguasaan tentara sekutu serta NICA.
Siasat bumi hangus itu, berdampak pada perusahaan kereta api. Lokomotif maupun gerbong, stasiun bahkan rel-rel kereta, nyaris luluh lantak. Kantor-kantor tanpa penghuni sebab ditinggal mengungsi, porak poranda. Akibatnya, pusat operasional Djawatan harus dipindah. Cisurupan, Jawa Barat, terpilih sebagai tempat baru.
Tugas berat menanti Djuanda. Ada reruntuhan yang harus ia bangun ulang. Bukan hanya sebatas memperbaiki fasilitas stasiun dan gerbong-gerbong, dia juga harus memikirkan perumahan baru bagi karyawan DKA, karena yang lama sudah tak layak pakai.
Langkah pertama adalah memulihkan jalur kereta api yang bobrok akibat dibongkar Jepang. Beberapa ruas yang jadi perhatian. Antara lain, jalur Pangandaran–Cijulang sepanjang 22 km, lalu Purwosari–Kartosuro 12 km, Purwodadi–Ngemplak 10 km, Kutoarjo–Purworejo 12 km, Kudus–Bangkalan 24 km, Plumpang–Tuban 22 km, dan Ponorogo–Slahung yang menjulur 26 km.
Keuletan Djuanda membuat Perdana Menteri Syahrir kesengsem. Dia dimasukkan dalam kabinet, menjabat Menteri Muda Perhubungan mendampingi Abdoelkarim.
Meski merangkap jabatan, Djuanda tetap mampu menunjukkan prestasi. Kelar dengan pembangunan kembali infrastruktur kereta api, dia mendatangkan 100 lokomotif dan 100 km baja pembentuk rel, dari Jerman Barat.
Setahun kemudian, pembelian berlanjut dengan lokomotif diesel. Kali pertama dijalankan, penumpang kaget. Sebab terasa goncangan kuat sepanjang perjalanan. Tapi lambat laun, mereka terbiasa. Bahkan, mengenalkan penyebutan untuk keadaan itu dengan istilah, goyang djuanda.
Capaian lain Djuanda di bidang perketaapian adalah mengadakan pertemuan pegawai DKA seluruh Jawa, yang bertempat di Solo.
Kala itu, kereta api di pulau Jawa dibagi atas tiga daerah. Yakni Jawa Barat dan Jawa Timur yang merupakan bekas Staatsspoor, lalu Jawa Tengah, peninggalan perusahaan kereta api swasta.
Ketiganya memiliki masalah, terutama soal ketersediaan bahan bakar . Satu sama lain belum bekerja sama. Masih sibuk sendiri-sendiri. Pertemuan yang digagas Djuanda itu berhasil menyatukan, seraya melahirkan keputusan untuk saling membantu mengembangkan perkeretaapian dari wilayah masing-masing.
Memangkas Jarak
Enam kali menjadi Menteri Perhubungan, Djuanda tak hanya membangun dasar PT Kereta Api Indonesia.
Keterpaduan transportasi di negara kepulauan menjadi tantangan yang mesti ditaklukkan Djuanda. Laut jadi ranah lanjutan yang ia jamah. Mula-mula didirikannya Yayasan Penguasaan Pusat Kapal-Kapal atau Pepuska. Badan ini menyewakan serta menjual kapal pada perusahaan-perusahaan yang membutuhkan.
Pepuska kemudian dilebur menjadi PT Pelayaran Nasional Indonesia, akrab disingkat PELNI. Operasi perdananya menggunakan 45 kapal milik Pepuska dan 45 lain yang baru dibeli.
Dana pembelian didapat dari pendapatan atas lonjakan ekspor karet akibat dua perang yang melanda kawasan Asia, yakni Korea dan Vietnam. Sebagian lagi merupakan pinjaman Eximbank.
Demi memperoleh kapal lebih banyak dengan uang jumlah terbatas, Djuanda memutar otak mengakali harga yang mahal. Dia hanya membeli mesin diesel dari Amerika, lalu memadunya dengan badan kapal asal negara-negara Eropa, seperti Jerman Barat, Belgia dan Italia. Melalui cara ini, Djuanda mendapatkan cukup dana untuk membeli kapal berukuran besar yang cocok untuk perairan Indonesia.
Setelah samudera, giliran mengurus angkutan udara. Jarak tempuh yang begitu jauh antara pusat pemerintahan negara dengan daerah, bisa dipangkas dengan moda kapal terbang. Hambatan komunikasi dan koordinasi pun dapat teratasi. Untuk tujuan itu, Djuanda mendirikan Garuda Indonesia Airways atau GIA pada 27 Desember 1949. Modalnya patungan. Separuh milik pemerintah Indonesia, setengah yang lain dari maskapai milik Belanda, KNILM yang kini menjelma KLM. Peresmiannya sendiri berlangsung 31 Maret 1950. Empat tahun kemudian, pemerintah Indonesia mengambil alih semua hak kepemilikan.
Beberapa cara ditempuh untuk meningkatkan layanan. Antara lain dengan memesan pesawat Convair-240 yang memiliki kemampuan terbang lebih cepat. Namun pembeliannya butuh banyak dana. Pinjaman ke Eximbank kembali dilakukan.
Seiring itu, kebutuhan pegawai yang terampil di bidang penerbangan, mulai mendesak. Djuanda menindaklanjuti dengan membuka Akademi Penerbangan Indonesia yang bertempat di Gempol Kemayoran, pada 1952. Tempat yang berlaku sebagai ruang belajar calon penerbang, ahli teknik, mapun pengatur lalu lintas udara. Lembaga ini adalah cikal bakal Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia Curug.
Kementerian Perhubungan juga mengembangkan jalur telekomunikasi ke seluruh Indonesia. Pusat pos, telepon, dan telegraf atau PTT, dikembalikan dari Yogyakarta ke Bandung. Lalu, untuk mendapatkan tenaga-tenaga ahli, dibuka pula berbagai sekolah, kursus, dan penataran.
Jejak fenomenal Djuanda lainnya adalah pembangunan Proyek Waru, sebuah pangkalan udara di Surabaya. Bandara pertama yang dibangun setelah proklamasi kemerdekaan ini, semula diarahkan untuk membantu kinerja TNI membebaskan Irian Barat.
Pelaksanaan proyek waru, melibatkan tiga pihak. Ada Tim Pengawas Proyek Waru sebagai wakil pemerintah Indonesia. Lalu, Compagnie d’Ingenieurs et Techniciens sebagai konsultan, dan Societe de Construction des Batinolles selaku kontraktor. Dua yang terakhir disebut merupakan perusahaan asal Perancis.
Dalam kontrak ditegaskan, pembangunan harus selesai dalam waktu empat tahun. Mulai dari 1960 hingga 1964. Proyek ini tergolong skala besar pada masa itu. Dengan landasan pacu sepanjang 3.000 meter dan lebar 45 meter, diperlukan pembebasan lahan dengan luas keseluruhan sekitar 2.400 hektare.
Tidak semua lahan yang didapat berupa dataran kosong. Ada pula sawah dan rawa di dalamnya. Karena itu, dibutuhkan pasir serta batu dalam jumlah yang besar untuk menimbun. Pasir digali dari Kali Porong, sedangkan batu didatangkan dari satu sisi Bukit Pandaan, kemudian diangkut menggunakan ratusan truk menuju Waru.
Di tengah pelaksanaan , krisis keuangan mendera. Imbasnya, Batignolles mengancam mengundurkan diri. Sikap itu tersiar hingga terdengar Presiden Soekarno. Djuanda ditunjuk untuk mengatasinya, serta mengawal hingga proyek selesai.
Pada 15 Oktober 1963, Djuanda mendarat di Pangkalan udara Waru, menumpangi Convair 990. Dia bermaksud menggelar koordinasi pelaksanaan proyek. Berhasil. Pembangunan kembali menggeliat. Truk-truk hilir mudik lagi mengangkut material yang diperlukan. Tukang dan insinyur balik ke pos masing-masing. Hingga 22 September 1963, tujuh bulan lebih cepat dari target, landasan siap digunakan.
Sehari kemudian, satu penerbangan yang terdiri empat pesawat Gannet di bawah pimpinan Mayor Kunto wibisono, melakukan pendaratan pertama kali di sana.
Sesungguhnya, Djuanda tak lama berada di proyek tersebut. Belum genap sebulan menjejakkan kaki di Waru, Djuanda berpulang akibat serangan jantung. Tepatnya, 7 November 1963.
Tanpa campur tangan Djuanda, Proyek Waru bakal mangkrak. Kenyataan itu disadari Bung Karno. Untuk menghargai jasanya, nama Djuanda dilekatkan sebagai juluk pangkalan. Peresmiannya dilakukan langsung Presiden pada 12 Agustus 1964.
Di bidang perkeretaapian, nama Djuanda juga diabadikan menjadi sebutan Pusat Pendidikan dan Pelatihan, pada 28 September 2014. Terdapat kawasan lain yang melekatkan panggilan sejenis. Seperti, hutan raya di Bandung, tempat Museum serta Monumen Ir. H. Djuanda berada. Termasuk, berbagai jalan dan stasiun di banyak wilayah. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.244/1963, Djuanda pun diangkat sebagai pahlawan nasional.
Sepanjang hidup, Djuanda dipercaya menjadi menteri sebanyak 14 kali, dari kabinet Syahrir II hingga Ali Sastroamidjojo II, atau periode 1946–1957. Ia pernah pula menjabat menteri perhubungan, pekerjaan umum, kemakmuran, keuangan, hingga pertahanan.
“Nanti orang akan menyadari, betapa besar kerugian Indonesia dengan kematian Djuanda.” Demikian pernyataan seorang wartawan Amerika yang direkam sejarawan Taufik Abdullah pada 2001 silam, mengenang sepak terjang Sang Manteri Maraton.(Rheza Alfian, dari berbagai sumber)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN