- Megapolitan
SELAKSA MAKNA WAJAH JAKARTA
Selaksa Upaya Membasahi Tanah Ibu kota
23 Juli 2019 , 18:07

JAKARTA – Sudah hampir tiga bulan belakangan ini hujan jarang menyambangi wilayah DKI Jakarta. Tak hanya di ibu kota, hujan pun jarang turun di sebagian besar wilayah Indonesia. Ya, Indonesia memang tengah memasuki musim kemarau. Intensitas hujan yang rendah pun menelurkan ancaman bencana kekeringan di Indonesia, tak terkecuali di ibu kota.
Untuk Jakarta sendiri, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pusat memprakirakan puncak musim kemarau akan berlangsung pada bulan September 2019. Ini berarti, hingga September berlalu, ibu kota harus bersiap menghadapi kondisi kekeringan. Apalagi, Jakarta memang defisit air bersih. Hingga kini, sumber air terbesar berasal dari luar Jakarta.
"Kemarau di DKI Jakarta baru berjalan dua bulan yakni pada Mei–Juni, masih harus menyelesaikan sampai puncaknya di September," kata Kepala Staf Sub Bidang Analisis Informasi Iklim BMKG Pusat, Adi Ripaldi seperti dikutip dari Antara, 4 Juli 2019 lalu.
Jika kemarau baru berjalan dua bulan sudah ada wilayah yang melaporkan kesulitan air, pemerintah daerah perlu waspada. Pemda harus susun langkah untuk mengantisipasi kekeringan.
Ia mengatakan saat ini sudah ada wilayah di DKI Jakarta yang berstatus siaga kekeringan, terutama di Jakarta Utara. Berdasarkan monitoring Hari Tanpa Hujan (HTH), dua wilayah di Kota Administrasi Jakarta Utara sudah masuk HTH sangat panjang yakni 30 sampai 61 hari.
"HTH di wilayah Jakarta sudah lebih 30-61 hari terjadi di Rawa Badak dan Rorotan," kata Ripaldi.
Joni Karlah (44), seorang warga yang tinggal di wilayah Penjaringan, Jakarta Utara mengaku sebagian wilayah tempat tinggalnya mengalami kesulitan air bersih. Utamanya ketika musim kemarau seperti saat ini.
Menurutnya, kondisi air di wilayah yang berdekatan dengan pesisir cenderung kotor. Namun, kondisinya sedikit terbantu dengan masuknya saluran air PAM Jaya ke wilayah tempat tinggalnya.
"Enggak terlalu kotor juga sih, kan air PAM sudah masuk juga," ungkapnya kepada Validnews melalui pesan singkat, Senin (22/7).
Warga Penjaringan sendiri sudah lama menikmati air PAM untuk kebutuhan sehari-hari. Saluran air PAM ini, menurut dia, sangat menolong bagi warga yang tinggal dekat laut. Sayangnya, pelanggan PAM di wilayahnya terkadang kecewa ketika air PAM mengalami gangguan atau keruh.
Gangguan sendiri tak terlalu menentu, namun cukup sering terjadi. Kalau sudah begitu, Joni dan warga di sekitarnya pun dengan terpaksa memakai sumber air yang ada meskipun keruh.
"Ya mau enggak mau pakai yang ada," ujarnya yang berprofesi sebagai pelukis ini.
Karena itulah, Joni pun akhirnya juga berlangganan air jerigen yang dijual warga lain dengan gerobak dorong. Dia masih melakukan rutinitas tersebut hingga hari ini.
Pembelian air dari gerobak dorong ini tak dilakukan semua warga. Beberapa warga mempunyai kolam penampungan air hujan sebagai tambahan stok air ketika defisit air. Kolam juga berfungsi sebagai stok air bagi warga yang tidak mempunyai sarana MCK (mandi, cuci, kakus). Di wilayah ini, masih banyak warga tak punya fasilitas MCK sendiri.
Untuk berlangganan air bersih, Joni mengaku harus mengalokasikan uang minimal Rp150 ribu. Baik itu bersumber dari air PAM maupun air yang dijual gerobak dorong.
Lain lagi Annisah, warga Kebun Bawang, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Meski di wilayah ‘kering’, mengaku tak bermasalah air. Sejak menempati rumah barunya di kawasan utara Jakarta itu, Annisah selalu menggunakan air PAM untuk keperluan sehari-hari, termasuk untuk minum. Dia menilai aliran air PAM sangat bersih.
Meski begitu, Annisah kini memilih menggunakan air mineral kemasan dan air PAM yang disaring menggunakan alat khusus untuk kebutuhan minum. Menurutnya, air PAM sendiri sebenarnya masih layak minum dan justru lebih bagus ketimbang air mineral kemasan. Ia memilih air mineral, semata untuk kepraktisan.
Masih Defisit
Diakui Kepala Dinas Sumber Daya Air Provinsi DKI Jakarta Juaini, krisis air bersih jamak terjadi di wilayah pesisir Jakarta yakni sebelah utara. Menurutnya, air di daerah pesisir atau utara Jakarta telah bercampur dengan air laut. Rasanya pun menjadi asin.
"Ini karena ada penurunan muka air tanah jadi air laut masuk, itu sudah masuk sampai perbatasan dengan pusat seperti di daerah Tanah Tinggi, di sana kan air beli pakai gerobak dorong," ujarnya saat ditemui Validnews di kantornya, Kompleks Dinas Teknis DKI Jakarta, Cideng, Jakarta Pusat, Rabu (17/7).
Sementara untuk wilayah Jakarta di bagian timur, barat maupun selatan kondisi airnya masih cenderung layak. Saat musim kemarau sekarang pun, katanya, wilayah tersebut tidak mengalami kekeringan.
"Enggak kelihatan kekurangan air karena air tanahnya masih bagus," tambah Junaini yang baru dilantik sebagai Kepala Dinas SDA Jakarta pada Juli 2019 ini.
Namun, sejatinya persoalan air bersih memang masih menghantui DKI Jakarta. Wilayah yang memiliki luas sekitar 661,52 kilometer persegi dan luas lautan 6.977,5 kilometer persegi ini masih defisit air bersih. DKI masih harus bergantung pada tetangganya untuk memenuhi kebutuhan air bagi 10.374.235 jiwa warganya.
Data Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta melansir, Jakarta hanya mampu menyediakan air baku lokal sekitar 6% dari total kebutuhan air. Pemenuhan air baku lokal dari Jakarta hanya berasal dari Sungai Krukut di Cilandak dan Sungai Pesanggrahan. Sisanya, 94% berasal dari luar Jakarta yakni Waduk Jatiluhur yang menyumbang 81% suplai air bersih dan air curah olahan dari Tangerang sebesar 16%.
Masih dari data yang sama, dengan minimya air baku tersebut, kemampuan SDA Jakarta menyuplai air bersih hanya 3,32% dari total suplai air bersih atau 598,43 liter per detik. Total air bersih yang bisa disuplai mencapai 18.025 liter per detik.
Sementara, air curah olahan dari Tangerang menyumbang 15,91% atau setara 2.867,77 liter per detik. Suplai terbesar pun berasal dari Waduk Jatiluhur yang mencapai 14.558,75 liter per detik atau 81%.
Adapun, total kebutuhan air bersih DKI mencapai 21.800 liter per detik. Artinya, ada defisit atau kekurangan suplai sebesar 3.775 liter per detik.
Namun, tak hanya dari sisi ketersediaan, masalah distribusi juga masih menjadi kendala. Saat ini PAM Jaya baru memenuhi jaringan perpipaan di Jakarta sebanyak 60%. "Selama ini kan kebutuhan air bersih baru tertangani 60%, masih banyak yang belum bisa dipenuhi," kata Junaini.
Di kesempatan terpisah, Manajer Humas PAM Jaya Linda Nurhandayani menyebutkan, hal serupa. Menurutnya, saat ini cakupan layanan PAM Jaya mencapai 60% dari total kebutuhan air bersih di Jakarta. Pihaknya terus bersiap menyalurkan air bersih bagi masyarakat Jakarta.
Layanan hingga 60% ini sudah mencakup jaringan pipa yang dimiliki oleh mitra swasta yang digandeng PAM Jaya sejak 1997 lalu. Minimnya air yang bisa dipenuhi dari DKI sendiri membuat PD PAM Jaya menggandeng mitra swasta guna menyuplai kebutuhan air bersih warga Jakarta, yakni PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta (AETRA).
"Saat ini kapasitas total produksi Air PAM JAYA sebanyak 20.232 lps (liter per detik) dengan cakupan pelayanan sebanyak 60% masyarakat Jakarta dan jumlah pelanggan PAM JAYA sebanyak 863.165 pelanggan," paparnya kepada Validnews melalui pesan singkat.
Linda menambahkan, permintaan air bersih terbesar berasal dari wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Utara, dan Jakarta Barat. Ia menegaskan di tengah musim kemarau ini, pasokan air untuk PAM Jaya masih relatif aman.
"Namun demikian untuk kondisi darurat PAM Jaya bersama PALYJA dan AETRA menyiagakan total 26 mobil tangki," tambahnya.
Mobil tangki inilah yang akan digunakan secara mobile untuk menghampiri daerah yang mengalami krisis air bersih. Air yang diberikan untuk tambahan selama musim kemarau ini diberikan secara cuma-cuma alias gratis. Namun, Juaini belum dapat memperkirakan berapa jumlah tambahan air bersih yang harus disediakan selama musim kemarau ini.
Pihaknya juga telah menggandeng pemerintah Kota Bekasi untuk proyek tersebut. Pemda pun sudah siap merogoh kocek APBD untuk proyek itu. Namun, dia mengakui dengan adanya proyek baru tersebut belum dapat memenuhi 100% kebutuhan air bersih DKI Jakarta. Adanya waduk khusus pengolahan air minum di wilayah Jakarta, jadi bagian upaya, yang direncanakan.
"Tapi airnya kita olah dulu, disuling lagi. Kan kita ada beberapa waduk nih mungkin yang sudah siap nanti kita gunakan untuk air minum warga sekitar," ungkapnya.
Jika proyek ini bisa terealisasi, dia mengharapkan, warga DKI tak perlu kebingungan lagi ketika musim kemarau melanda.
Tambah Waduk
Waduk, embung, dan normalisasi sungai atau kali agar bisa dimanfaatkan PAM Jaya sebagai air baku, menjadi solusi yang saling melengkapi. Air baku inilah yang berasal dari sumber air permukaan, cekungan air tanah dan atau air hujan yang memenuhi baku mutu tertentu sebagai air baku untuk air minum.
Selama ini, kata Junaini, pembangunan waduk, situ, maupun embung di Jakarta lebih berfungsi sebagai pengendali banjir. Fungsi itu membuat waduk dan sebagainya akan mengalami debit air yang rendah di waktu-waktu tertentu. Akhirnya air dalam waduk pun tak bisa menjamin kebutuhan air bersih ketika musim kemarau datang.
Di lima wilayah DKI Jakarta sendiri sudah ada waduk-waduk yang ditargetkan bisa memenuhi kebutuhan air Jakarta. Saat ini waduk yang tersedia antara lain Waduk Pluit (Jakarta Utara), Waduk Brigif (Jakarta Selatan), Waduk Rangon (Jakarta Timur), dan Waduk Kampung Rambutan (Jakarta Timur) yang masih dibangun.
"Ada beberapa waduk yang sudah jadi dan ada lagi yang kita bikin juga. Paling enggak ada lima waduk yang kita kerjakan,” katanya.
Sementara, khusus Kepulauan Seribu, penyediaan air bersih dilakukan dengan pembangunan jaringan perpipaan dengan membangun SWRO (sea water reverse osmosis) atau dikenal dengan penyulingan air laut menjadi air tawar. Proyek ini dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga Kepulauan Seribu.
"Sementara ini kita baru bangun di Pulau Seribu untuk pengolahan air bersih sekitar pulau," tambahnya.
Proyek SWRO ini dilakukan di tujuh lokasi di Kepulauan Seribu. Proyek ini memiliki kapasitas yang berbeda-beda di setiap pulau dengan kisaran kapasitas sebesar 100 sampai 500 liter per detik (lps). Nantinya, air yang dihasilkan, akan disalurkan di pipa seperti PAM. Rencananya 7 lokasi di Kepulauan Seribu.
Proyek SWRO sendiri telah dicanangkan Pemprov DKI sejak tahun 2017. Besaran nilai proyeknya sekitar Rp93 miliar. Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI saat itu, Sumarsono mengatakan salah satu daerah di Kepulauan Seribu, yaitu Pulau Untung Jawa, telah dijadikan lokasi proyek percontohan pembangunan SPAM SWRO di Kepulauan Seribu.
Saat ini, selain SWRO, Kepulauan Seribu memiliki fasilitas pengolahan air minum Backrush Water Reverse Osmosis (BWRO). Hasil penyulingan air dari fasilitas ini lebih bersih karena dapat langsung diminum. Sedangkan dari SWRO air perlu dimasak kembali.
Tercemar
Pengamat Tata Kota Yayat Supriatna mengamini kondisi air bersih di Jakarta sudah sangat kritis. Kondisi ini diperparah dengan pengambilan air tanah secara berlebihan sehingga menyebabkan permukaan tanah turun.
"Air tanahnya saja sudah disedot dan membuat permukaan tanahnya mengalami land subsidence. Jadi penurunan permukaan," katanya kepada Validnews, Senin (22/7).
Menurutnya, hal ini akan mengancam potensi genangan air yang semakin tinggi ketika musim hujan tiba.
Yang tak kalah mengkhawatirkan, kondisi air permukaan di Jakarta juga dihantui bakteri Escherichia coli (E Coli) yang berasal dari tinja manusia. Hal ini didasari oleh sistem pengelolaan limbah manusia yang tidak baik. Misalnya, membuang limbah tinja ke sungai atau septic tank limbah yang justru mencemari air permukaan karena kurang dalam.
"Bahkan beberapa air dari sungai Ciliwung saja itu tidak direkomendasikan untuk manusia, bahkan untuk menyiram tanaman saja tidak boleh. Karena bisa mati tanamannya karena terkontaminasi oleh limbah," ungkapnya.
Dilansir dari artikel dalam aplikasi Alodokter, salah satu bakteri E. coli yang berbahaya adalah E. coli O157:H7. Bakteri ini bisa menyebabkan keracunan makanan dan infeksi yang cukup serius. E. coli O157:H7 dapat menghasilkan racun yang mampu merusak dinding dari usus kecil dan mengakibatkan keram perut, diare yang bercampur dengan darah, hingga muntah-muntah.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun sempat mengatakan, jumlah sungai yang airnya tercemar berat meningkat dari 32% menjadi 61% sepanjang 2014 sampai 2017.
Menurutnya, selama kurun itu sungai yang airnya tercemar ringan jumlahnya turun dari 23% menjadi 12%, dan sungai yang tercemar sedang turun dari 44% menjadi 17%. Namun jumlah sungai yang tercemar sedang dan ringan itu turun karena statusnya memburuk menjadi sungai dengan tingkat pencemaran berat, bukan karena tingkat pencemarannya menurun. Kondisi ini membuat PR Pemorov DKI Jakarta semakin bertambah berat.
"Kita sudah menyusun dan roadmap-nya untuk segera mengembalikan ke kondisi sebelumnya," kata Anies, seperti dilansir dari Antara, 12 September 2018 lalu.
Jelasnya, kondisi air sungai dan air permukaan yang tercemar membuat air baku di Jakarta sangat tidak berkualitas. Padahal, Yayat Supriatna menilai minimnya ketersediaan air bersih turut mengerek angka kemiskinan. Kurangnya pasokan air membuat masyarakat di daerah yang krisis air harus membayar mahal untuk segala kebutuhan terkait MCK. Ditambah lagi, daerah yang krisis air itu justru didominasi daerah yang angka kemiskinannya tinggi.
"Jadi orang-orang yang terbatas kemampuan ekonominya justru menanggung kebutuhan air yang paling tinggi," ungkapnya.
Selain karena sumber air dari permukaan maupun sungai yang banyak tercemar, Jakarta sejatinya memang tidak punya sumber air baku. Sebagai ibu kota, Ia menilai Jakarta adalah wilayah tanpa sumber air baku yang memadai.
"Dampaknya, air baku di Jakarta harganya tuh mahal banget," cetusnya.
Kondisi ini juga berimbas pada makin larisnya air mineral kemasan. Padahal, selain harganya mahal, air kemasan justru menambah limbah plastik. Krisis air bersih ini ujungnya berakibat pada krisis lingkungan yang mempengaruhi kualitas kesehatan masyarakat ibu kota.
Sebagai solusi, Yayat menyarankan Pemprov DKI Jakarta untuk terus menormalisasi air permukaan di Jakarta. Namun, peran warga juga diperlukan. Harus ada gerakan menabung air ketika air berlebihan seperti halnya di musik penghujan.
Menurutnya, kecenderungan masyarakat saat ini selalu membuang air saat kondisi berlebihan. Karenanya, gerakan hemat air juga harus digencarkan. "Kalau kita-kita kan, air limbah dibuang, air hujan dibuang, mata airnya dihilangkan, nanti yang tersisa hanya air mata," cetusnya.
Menurutnya, tabungan air tersebut bisa dilakukan dengan membuat kolam penampungan atau sumur resapan.
Sebaliknya, kebijakan harus mendorong untuk penghematan air, pengendalian air tanah, dan menambah potensi sumber daya air baru, harus tetap dilakukan pemerintah. Untuk menjawab persoalan ini, Dinas SDA DKI Jakarta pun sudah mengambil ancang-ancang. Dalam dokumen presentasi yang diterima Validnews, Dinas SDA DKI Jakarta akan melakukan sejumlah program untuk membuat Jakarta tak lagi defisit air bersih.
Dinas SDA menyatakan defisit air bersih saat ini di kisaran 3.800 lps (liter per detik). Defisit ini akan terus meningkat menjadi 11.000 Ips pada tahun 2022. Karenanya Pemerintah merencanakan pembangunan SPAM (Sistem Penyediaan Air Minum) Jatiluhur 1 dan SPAM Jatiluhur 2 dengan kapasitas total 10.000 Ips.
Dinas SDA sendiri telah menunjuk Perum Jasa Tina II (PJT II) sebagai PJPK (Penanggung Jawab Proyek Kerjasama). Sayangnya, selama ini PJT II bertanggung jawab pada kepentingan saluran irigasi yang tidak komersial. Ini berbanding terbalik dengan pemenuhan air bersih yang memiliki nilai komersial di mana masyarakat akan melakukan pembayaran untuk berlangganan.
Setidaknya, meski masih defisit air, Jakarta masih bisa berharap pada Waduk Jatiluhur yang lokasinya masuk Provinsi Jawa Barat itu.
Namun yang terpenting di tengah kondisi krisis air, masyarakat juga harus belajar bijak menggunakan air. Sama halnya dengan sumber daya alam lainnya, air pun harus ditabung demi keberlangsungan hidup di masa depan. Semua harus sadar, air bukan lah sesuatu yang tak bisa habis. (Kartika Runiasari, Zsyasya Senorita, Bernadette Aderi, Sanya Dinda, Agil Kurniadi)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN