- Ekonomi
MENGURAI KIAT MENCAGAR SEHAT
Sayang Kucing dan Anjing, Tren Grooming Makin Booming
30 Agustus 2019 , 21:02

JAKARTA – Senin (10/7), menjadi hari yang cukup menegangkan bagi Astria Putri Nurmaya (24). Sepulangnya dari mudik selama enam hari, ia menemukan kucing kesayangannya jatuh lemas di dalam kandang.
Saat itu, Tria, sapaan akrabnya, menitipkan kucingnya di sebuah toko hewan (pet shop) di Cijantung, Jakarta Timur. Kucing bernama Jini dititipkan lantaran Tria mudik ke kampung halaman merayakan Lebaran 2019.
Menemukan kucingnya tidak bisa berjalan, karyawan swasta sebuah perusahaan aplikasi muslim berbasis komunitas itu lantas membawa peliharaannya ke klinik hewan. Tindakannya itu dilakukan setelah puas mengutarakan kekecewaannya terhadap pelayanan toko hewan tempat ia menitipkan kucingnya.
Sekira dua jam dihabiskan Tria untuk menyambangi tiga klinik hewan di Cijantung. Sayangnya, tak ada satu pun dokter hewan yang tengah berjaga di klinik-klinik tersebut. Tria akhirnya menemukan dokter jaga di klinik keempat yang ia datangi, yang berlokasi tak jauh dari kediamannya juga di Cijantung.
Setelah melalui serangkaian pemeriksaan, kucing Tria didiagnosis menderita parasit darah.
“Kata dokternya Jini kena parasit darah, gara-gara dehidrasi parah dalam jangka waktu panjang. Dijelasin kalau parasit darah itu di manusia semacam DBD. Jadi telat dikit mati,” jelas Tria kepada Validnews, Kamis (29/8).
Ia baru menyadari, kucingnya tidak makan selama ia titipkan di pet shop. Sebelumnya, penjaga toko memang memberi penjelasan, Jini tidak mau makan setelah ditinggal pemiliknya.
Berusaha menahan marah dan kecewanya, Tria kemudian memilih fokus pada proses penyembuhan Jini.
“Kucing saya akhirnya harus mendapat perawatan intensif. Selain tes darah, Jini juga dikasih vitamin, obat-obatan, infus, lalu suntikan, kira-kira habis Rp2 juta lah,” papar Tria saat ditanya berapa banyak uang yang dia keluarkan untuk pengobatan kucingnya.
Jumlah itu sudah termasuk biaya rawat inap yang per harinya dipatok sekitar Rp60 ribu. Jini hanya dirawat selama empat hari. Nyawanya tak juga tertolong meski telah mendapat serangkaian tindakan pengobatan.
Selain biaya pengobatan yang dikeluarkan pada saat kucingnya sakit, Tria juga mengaku selalu menyisihkan pendapatannya untuk merawat peliharaannya tersebut. Ia menjabarkan, setiap bulannya ia bisa merogoh kocek hingga Rp730 ribu untuk membeli makanan, camilan, susu, pasir, dan biasa salon dua minggu sekali.
“Sementara waktu pertama punya kucing, itu Rp750lah untuk beli tempat tidur, pet cargo, bak pasir, terus serokan untuk buang kotoran kucing. Tapi saya senang sih, biar pun harus keluar uang banyak,” sambung Tria.
Tak hanya Tria, hal serupa juga dilakukan Dewicha Kinanti (24). Perempuan yang berdomisili di Lombok ini juga memelihara seekor kucing yang dirawat dengan layanan salon hewan dan klinik yang melayani grooming dan vaksin atau menerima layanan pengobatan lainnya.
“Jadi saya ke klinik untuk perawatan seperti grooming, periksa kalau kutuan atau cacingan. Biasanya disuntik langsung,” ujar perempuan yang akrab disapa Kinan ini, Rabu (28/8).
Kinan mengaku rela merogoh kocek dalam untuk perawatan kucingnya. Ini karena ia suka dengan binatang, bahkan ia mengaku menyenangi hampir semua jenis binatang.
“Kenapa harus disayang, kenapa harus dirawat, ya, karena, kan, kita memiliki dia, ya. Maksudnya, si kucing ini, kita memiliki dia. Mau enggak mau apa yang kita miliki, apa yang kita punyai, ya, harus dalam bentuk keadaan yang baik, kan,” papar Kinan.
Kinan menambahkan, binatang peliharaan yang sakit juga akan berpengaruh buruk pada manusia yang memeliharanya. Penyakit yang diderita hewan terutama penyakit kutu atau jamur pada kulit hewan, besar kemungkinan akan membuat kulit pemiliknya ikut terkena gatal-gatal atau tertular.
“Kemudian fesesnya akan menjadi enggak bagus, enggak sehat. Kan kita yang membersihkan fesesnya dia. Dan menurutku, kenapa sayang hewan, ya, karena dia juga hidup bersama kita. Segala sesuatu yang hidup bersama kita di bumi ini ya harus kita sayangi,” ujarnya.
Tria dan Kinan sejatinya hanya segelintir contoh dari masyarakat dunia yang kian peduli pada kesejahteraan hewan peliharaan. Statista memproyeksikan, pasar perawatan hewan pada tahun 2025 bakal mengalami peningkatan pesat. Salah satunya pasar makanan hewan yang secara global ditaksir akan meningkat menjadi US$34 miliar dari sebelumnya pada tahun 2015 masih di angka US$21,8 miliar.
Lembaga penyedia data statistik tersebut juga meramalkan pasar perawatan hewan akan meningkat menjadi US$25 miliar, dari nilai pasar sebelumnya pada tahun 2015 di kisaran US$16,3 miliar. Kenaikan nilai pasar juga akan dialami oleh sektor pembersihan hewan (grooming) yang diperkirakan akan menyentuh angka US$9,2 miliar pada 2025 dari nilai pasar sebesar US$5,9 miliar pada 2015.
Pergeseran Tren
Tumbuhnya minat masyarakat untuk memelihara binatang, diakui seorang dokter hewan di Solo bernama Nuh Adi Irawan. Dokter hewan yang praktik di Klinik Hewan Adika ini mengaku turut merasakan bertambahnya kualitas pemeliharaan dan perawatan hewan peliharaan. Setidaknya, hal itu tercermin dari meningkatnya kunjungan ke klinik tempat ia praktik.
Adi berpendapat, meningkatnya jumlah orang yang memelihara binatang karena ada pergeseran tren. Tindakan memelihara binatang saat ini sudah dijadikan hobi. Hal ini terutama terjadi di kota-kota besar.
“Jadi arahnya dulu terutama kucing ya, kalau orang punya kucing mah biasa aja. Kalau sekarang itu sebagai hobi mesti dirawat, dimandikan, dikasih makanan, ya sebagai hobi. Hobinya meningkat,” ujar Adi melalui sambungan telepon, Jumat (30/8).
Pendapat Adi ternyata sejalan dengan penelitian Euromonitor International. Lembaga tersebut menunjukkan, faktor utama tumbuhnya industri kesehatan hewan (pet care) adalah urbanisasi. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan populasi di wilayah urban di Indonesia pada periode 2011–2021 diproyeksikan meningkat sebesar 2,4%, lebih tinggi dibandingkan Australia dengan proyeksi pertumbuhan penduduk sebesar 1,8%.
Adi melanjutkan, pertumbuhan minat masyarakat untuk memelihara binatang juga membuat populasi binatang peliharaan itu sendiri ikut meningkat. Begitu pula klinik kesehatan yang dibutuhkan oleh para pemilik hewan peliharaan.
“Jumlah hewannya (meningkat), terutama kucing. Mendorong rumah sakit tambah banyak kan karena jumlah hewannya yang nambah banyak,” kata Adi.
Ia menggambarkan, di Klinik Hewan Adika setidaknya terjadi pertumbuhan jumlah pasien mencapai dua digit atau minimal 10% setiap tahunnya. Menurut pengamatannya, pertumbuhan jumlah hewan peliharaan terjadi sejak tahun 2012.
“Sekitar 5–6 tahun terakhirlah. Itu kelihatan dari data pasien yang masuk. Jadi memang pasiennya lebih banyak. Banyak yang baru,” sambungnya.
Adi bahkan menyebutkan, Klinik Hewan Adika bisa memvaksin hewan hingga 100 ekor per bulan. Dengan kata lain, dalam satu tahun, jumlah hewan yang divaksin bisa mencapai seribu ekor lebih.
“Itu total kucing dan anjing, ya,” imbuhnya.
Layanan kesehatan yang paling banyak digunakan pelanggan di klinik Hewan Adika adalah layanan vaksin, kemudian operasi kelahiran, serta sterilisasi dan kebiri binatang. Harga pelayanan-pelayanan tersebut pun bervariasi, mulai dari Rp130 ribu untuk vaksin, Rp400–600 ribu untuk sterilisasi, hingga kisaran Rp1 juta untuk operasi melahirkan.
Dewan Penasihat Asosiasi Dokter Hewan Praktisi Hewan Kecil Indonesia (ADHPHKI) Wiwiek Bagja menilai, bertambahnya jumlah masyarakat yang menjadi penyayang hewan atau memilih hobi memelihara binatang turut dipengaruhi oleh tumbuhnya pendapatan masyarakat.
Nah, tumbuhnya jumlah masyarakat yang hobi memelihara hewan, biasanya juga terjadi di kota besar atau daerah yang perkembangan ekonominya bagus. Contohnya, kata Wiwiek, adalah Jakarta, Medan, dan Pekanbaru.
“Biasanya yang memelihara hewan kesayangan kan hobi, ya. Kalau hobi pasti orang yang punya duit ekstra,” kata Wiwiek kepada Validnews, Jumat (30/8).
Hal senada disuarakan Dokter Hewan Fredi Praja Himawan dari Klinik Hewan Malmo yang berlokasi di Cimanggis, Depok. Menurutnya, peningkatan jumlah masyarakat yang mulai memelihara hewan saat ini memang lebih terlihat di kota-kota berkembang seperti Jakarta, Bogor, dan Depok.
“Memang persentase atau tingkat pemilik hewan kesayangannya makin tinggi. Saya pernah tanya ke salah satu owner, kenapa mau pelihara anjing atau kucing. Katanya lucu, bisa meredakan stres,” tutur Fredi.
Fakta soal jumlah masyarakat yang menjalankan hobi memelihara hewan seiring dengan peningkatan pendapatan masyarakat turut dibenarkan Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Kementan), Fadjar Sumping, kepada Validnews, Jumat (30/8).
Ia melihat perkembangan usaha jasa medik veteriner berkembang sangat pesat, seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat yang mengikuti peningkatan pendapatan mereka.
“Ada peningkatan kesadaran terkait kesejahteraan hewan. Usaha di bidang praktik dokter hewan, klinik hewan, dan RSH (rumah sakit hewan) berkembang sangat pesat,” tandas Fadjar.
Menurut catatan Direktorat Jenderal (Ditjen) Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian (Kementan) tahun 2018, Indonesia sudah memiliki 259 unit klinik hewan, 10 unit Rumah Sakit Hewan dan 1.894 unit puskesmas hewan (puskeswan).
“Klinik hewan tersebar di seluruh provinsi dan terbanyak ada di Provinsi Jatim dan Jateng. Sementara RSH tersebar di Provinsi DKI, NTB, NTT, Sumsel, Sumbar, DIY, Jabar, dan Jatim,” jelas Fadjar.
Ia menyebutkan, untuk mendorong layanan klinik dan rumah sakit hewan, pihaknya sendiri telah menerbitkan Permentan Nomor 03 Tahun 2019.
“Ini dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada masyarakat bahwa klinik-klinik tersebut telah memenuhi standar dan memberikan pelayanan sesuai standar profesi,” jelasnya.
Rumah Sakit Hewan
Meski jumlah unit pelayanan kesehatan, terutama yang berbentuk klinik, diakui telah bertambah banyak, jumlah rumah sakit untuk hewan nyatanya masih dinilai kurang. Jumlahnya tak sebanding dengan kebutuhan masyarakat yang memelihara binatang yang terus tumbuh.
Adi menyebutkan, sejauh ini jumlah rumah sakit hewan di Indonesia hanya ada enam unit. Jumlah ini pun ia katakan baru memenuhi 30% kebutuhan unit pelayanan kesehatan untuk hewan secara nasional.
“Harusnya satu kabupaten satu, ya. Atau kalau masih terlalu jauh, setidaknya pada 2–3 kota/kabupaten dululah disediakan satu rumah sakit hewan,” katanya.
Jumlah unit layanan tersebut, lanjut Adi, dinilai memadai untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan hewan di Pulau Jawa.
“Kalau di Pulau Jawa cukup. Soalnya universitas yang jurusan kedokteran hewan, kan, juga bertambah, dulu ada empat, sekarang enam,” sambung Adi.
Meski begitu, di Solo sendiri tak tersedia rumah sakit hewan. Untuk kasus-kasus yang rumit dan memerlukan rujukan ke rumah sakit hewan, Adi merujuknya ke rumah sakit hewan di Yogyakarta. Untungnya, tidak banyak kasus penanganan penyakit hewan yang perlu dirujuk ke rumah sakit lantaran di Solo sendiri sudah banyak klinik yang mempunyai fasilitas lengkap untuk perawatan dan pengobatan hewan.
“Yang ke rumah sakit biasanya yang rumit, ya. Misalnya patah di tulang panggul, itu, kan, perlu penanganan khusus. Atau patahnya di persendian,” bebernya.
Sementara itu, Wiwiek Bagja justru memberikan pandangan berbeda. Menurutnya, jumlah rumah sakit hewan di Indonesia sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan hewan peliharaan seluruh Indonesia. Wiwiek menganggap fasilitas kesehatan di klinik sudah banyak yang lengkap dan bisa menangani sebagian besar masalah kesehatan hewan peliharaan.
“Pemerintah melalui Peraturan Menteri telah membuat kategori pelayanan medis di dunia kedokteran hewan. Sekarang setiap kategori ada persyaratannya, itu semua ada kategorinya,” tandas Wiwiek.
Ia menuturkan, saat ini ada banyak klinik hewan yang berekspansi dengan memperluas atau memperbesar kliniknya dengan tambahan fasilitas. Contohnya menambah alat x-ray dan menambah ruang rawat inap yang dapat menampung hingga 50 ekor hewan. Fasilitas itu tentu menjadikan klinik tersebut setara rumah sakit.
“Jadi, jangan terkecoh nama. Kalau dunia kami (kedokteran, red.), jangan terkecoh nama,” tegas Wiwiek.
Merujuk Peraturan Menteri Pertanian Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pelayanan Jasa Medik Veteriner, unit pelayanan kesehatan hewan sejatinya terbagi menjadi lima unit pelayanan. Pelayanan dimaksud terdiri atas praktik dokter hewan mandiri, klinik hewan keliling, klinik hewan, serta rumah sakit hewan.
Dinamakan klinik hewan karena fasilitas tersebut merupakan usaha pelayanan jasa medik veteriner yang memiliki dokter hewan praktik dan fasilitas untuk penanganan hewan. Sementara itu, klinik hewan keliling (ambulatori) adalah pelayanan kesehatan hewan yang bersifat bergerak atau house call.
Rumah sakit hewan, dalam peraturan menteri tersebut, diartikan sebagai tempat usaha pelayanan jasa medik veteriner yang memiliki fasilitas pengamatan hewan yang mendapat gangguan kesehatan tertentu. Rumah sakit hewan juga harus memiliki fasilitas pelayanan gawat darurat, laboratorium diagnostik, rawat inap, unit penanganan intensif, ruang isolasi, serta dapat menerima jasa layanan medik veteriner yang bersifat rujukan.
“Jadi belum tentu dia (klinik, red.) beda dengan rumah sakit. Kalau lihat dari plang, iya sedikit. Coba lihat praktik bersama, yang di Sunter itu dokternya saja 52 orang, pasiennya ratusan,” ujar Wiwiek.
Fredi Praja Himawan juga mengutarakan hal yang sama. Menurutnya, masih banyak masalah kesehatan hewan yang bisa ditangani di klinik hewan lantaran sudah banyak klinik hewan yang besar dan menyediakan fasilitas lengkap, termasuk laboratorium untuk tes darah hewan.
“Kecuali untuk beberapa parameter lain yang memang di kliniknya belum ada. Sekarang banyak untuk cek darah dan sebagainya memang tidak susah,” sambung Fredi.
Sehingga penanganan masalah kesehatan hewan yang rumit akan dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas sesuai kebutuhan hewan yang bermasalah tersebut.
“Contoh kalau kita perlu alat seperti jantung, untuk inkubator, rontgen hewan besar, untuk cek darah kalau yang di klinik itu tidak ada yang lebih spesifik. Itu biasanya diarahkan ke rumah sakit yang lebih besar,” tandas Adi. (Zsazya Senorita, Bernadette Aderi, Sanya Dinda, Agil Kurniadi, Kartika Runiasari)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN