- Ekonomi
Sawit Diistimewakan, Komoditas Lain Terabaikan
07 Oktober 2019 , 20:19

JAKARTA – Tjahjono (42) tampak resah. Pegawai sebuah pabrik karet di Palembang, Sumatra Selatan, tersebut mendapatkan berita tempatnya bekerja akan melakukan perampingan. Cukup banyak jumlah pegawai yang akan dipangkas, sekira 100 orang dari sekitar 400-an pegawai.
“Gara-gara (penyakit.red) gugur daun, produksi dari petani berkurang jadi susah cari barang. Jadi enggak ada bahan buat digarap juga. Sama harga juga enggak membaik,” ujarnya saat berbincang dengan Validnews, Sabtu (5/10), perihal alasan perampingan.
Penyakit gugur daun yang menyerang tanaman karet petani memang membuat produksi karet turun. Secara alami, produksi getah karet akan turun, saat daun meranggas akibat kemarau. Kondisi tersebut kian memburuk lantaran daun meranggas diserang penyakit gugur daun.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Erwin Tunas mengatakan, penyakit gugur daun karet ini memang menyebabkan produksi menurun. Namun, sejauh ini pihaknya baru mendapatkan laporan perihal pengurangan jam kerja pabrik karet di Sumatra Selatan.
Kepada Validnews, Senin (7/10), ia mengatakan, apabila keadaan terus berlanjut, tak mustahil bagi pabrik untuk melakukan lay off. Hanya saja ia memastikan, keputusan pahit itu merupakan opsi paling terakhir yang akan diambil oleh pabrik.
Ia juga mengatakan, hingga saat ini, ia belum mendapat laporan terkait pengurangan jam kerja di pabrik karet yang terletak di luar Sumatera Selatan.
Terkait penurunan produksi, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono mengonfirmasi hal tersebut. Ia sempat memproyeksikan produksi karet tahun 2019 akan terpangkas 15%.
“Penyakit ini diperkirakan berdampak pada penurunan produksi karet Indonesia secara nasional pada tahun 2019, minimal 15%,” kata Kasdi beberapa waktu lalu.
Kasdi menerangkan, penyakit yang disebabkan oleh cendawan Pestalotiopsis sp. Ini, mulai intensif menyerang tanaman karet sejak tahun 2017. Penyakit ini pertama kali ditemukan di Sumatra Utara dan kemudian menyebar ke Sumatra Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur.
Pada 2019, serangan penyakit ini meningkat signifikan. Per 16 Juli 2019 penyakit ini telah menyerang hingga 381,9 ribu hektare kebun karet di provinsi itu. Angka tersebut meliputi serangan ringan seluas 149,6 ribu hektare dan serangan berat seluas 232,4 ribu hektare.
Penyakit ini diperkirakan terjadi juga di provinsi sentra karet lainnya, seperti Jambi, Riau, Bengkulu, Sumatra Barat, Lampung, dan serangannya diproyeksi akan terus bertambah.
Soal tanaman karet yang terkena penyakit gugur daun, Kasdi dalam wawancara dengan Validnews, Minggu (6/10), menyebut sampai 1 Oktober 2019 luas lahan yang teridentifikasi mengidap penyakit ini mencapai 387,17 ribu hektare (ha). Merujuk pada data Ditjenbun, angka ini sekitar 10,52% dari estimasi luas lahan karet pada 2018 yang sebesar 3,68 juta ha.
Menurut Kasdi, pemerintah turut membantu petani karet untuk mengendalikan penyakit gugur daun. Hal ini dilakukan dengan memberi pestisida kepada para petani dan pekebun.
Selain itu, pemerintah juga memberi dua jenis fungisida, yaitu fungisida jenis Tiophanate Methyl untuk disemprotkan ke tajuk daun. Fungisida kedua berjenis Hexaconazol dan Propiconazol yang diaplikasikan ke bagian piringan daun.
Sedikit berbeda, Direktur Riset dan Pengembangan PT Riset Perkebunan Nusantara (RPN) Gede Wibawa mengatakan, penyakit gugur daun ini sudah terdeteksi di Sumatra Utara pada 2016. Namun, pada saat itu dampak yang ditimbulkan belum signifikan.
Lantas, penyakit ini mulai terdeteksi menjangkiti pohon-pohon karet di Sumatra Selatan pada akhir tahun 2017. Gede mengatakan, penyakit gugur daun itu kemudian juga menyerang pohon-pohon karet di daerah Bengkulu, Lampung, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Tengah.
“Dampak terhadap tanaman yang terserang adalah daun muda maupun daun tua gugur, sehingga secara langsung produksi menurun bervariasi antara 15-25% di tahun 2018,” katanya pada Validnews beberapa waktu lalu.
Menurutnya, penyakit ini diduga cepat berkembang karena kombinasi suhu, kelembaban, dan kondisi tanaman yang rentan, yang dapat disebabkan oleh nutrisi tanaman yang tidak cukup atau kurang pupuk.
Pada suhu dan kelembapan tertentu, penyebab penyakit ini tidak hanya satu, melainkan juga bisa disebabkan oleh jamur lain, seperti fungi Fusicoccum, Colletothrichum, Oidium, dan Corynespora.
Menurut Gede, harga karet yang cukup lama berada di posisi rendah, menyebabkan banyak petani dan pekebun tidak menjalankan pemeliharaan standar, termasuk pemupukan. Hal ini menyebabkan kondisi tanaman menjadi rentan serangan penyakit.
Harga yang tak kunjung bersahabat memang membuat napas industri karet tersenggal-senggal. Pendapatan yang kian menipis membuat industri, termasuk pabrik tempat Tjahjono bekerja, juga tak leluasa untuk memangkas pegawai.
“Untuk lay off juga mahal kan, (butuh) pesangon segala macam,” imbuhnya.
Terus Turun
Untuk diketahui, harga karet terus terjun sejak 2013, setelah sempat mencapai titik tertingginya pada 2011 yang mencapai US$5 per kilogram. Pada saat itu, nilai ekspor karet Indonesia, dengan volume 2,55 juta ton, mencapai US$11,76 juta.
Data Bank Dunia menunjukkan, rata-rata harga karet RSS3 pada September lalu sebesar US$1,50 per kilogram. Tak jauh berbeda, harga karet TSR20 juga hanya US$1,34 per kilogram.
Sementara itu, data Sicom per 7 Oktober 2019 menunjukkan harga TSR20 sebesar US$1,25 per kilogram untuk pengiriman Desember 2019. Di level petani sendiri, harga karet per kilogramnya adalah sekitar Rp5.000-Rp7.000 per kilogram, dan di kelompok tani berkisar Rp8.000-Rp9.000 per kilogram.
Harga yang tak lagi memikat pun membuat petani enggan menyadap. Ini pula yang menyebabkan pasokan bahan baku ke pabrik karet berkurang.
Sebenarnya, untuk menyiasati harga karet yang tak kunjung terkerek ini, pemerintah berintegrasi dengan dua negara penghasil karet terbesar lainnya, yaitu Malaysia dan Thailand, melalui International Tripartite Rubber Council (ITRC). Ketiganya bersepakat untuk menerapkan Agreed Export Tonnage Scheme (AETS) atau memotong ekspor karet sebanyak 240 ribu ton.
Sepanjang Januari–Agustus 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri mencatat ekspor karet dan bahan dari karet mencapai US$4,13 miliar. Angka itu turun 6,25% dari periode yang sama tahun sebelumnya dengan jumlah ekspor mencapai US$4,40 miliar.
Namun, pemotongan ekspor itu diduga hanya upaya jangka pendek untuk mengatasi lemahnya harga karet. Pada Februari 2019 lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, terdapat dua kebijakan lagi yang akan diterapkan untuk mengatasi potensi pelemahan harga karet dalam jangka menengah dan panjang.
Pemerintah, menurutnya, akan berupaya memaksimalkan penggunaan karet dalam negeri melalui Demand Promotion Scheme (DPS). Di Indonesia, Menteri Darmin menyebut karet alam antara lain digunakan untuk proyek-proyek infrastruktur, seperti jalan, damper jalur rel, pemisah jalan, bantalan jembatan, dan vulkanisir ban.
Untuk mengontrol harga karet dalam jangka panjang, pemerintah meremajakan pohon-pohon karet alam melalui skema Supply Management Scheme (SMS). Darmin mengatakan bahwa inti dari skema ini adalah replanting atau penanaman kembali.
Jurus lain yang juga disiapkan Kementarian Pertanian (Kementan) untuk menjaga harga adalah mengembangan Unit Pengolahan dan Pemasaran Bahan Olah Karet/Bokar (UPPB). Melalui unit ini, ujar Kasdi, pemerintah antara lain menyalurkan alat untuk meningkatkan kadar kering karet. Ia mengatakan, harga karet yang diolah di UPPB mencapai lebih dari Rp9.500 per kilogram.
"Sedangkan yang tidak diolah di UPPB hanya dihargai Rp 6.500–7.000/kg," katanya kepada Validnews, Minggu (6/10).
Kasdi mengatakan, saat ini pemerintah memiliki lebih dari 300 UPPB. Jumlah ini, menurutnya, akan terus ditingkatkan ke depan.
Namun demikian, Kepala Bidang Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Dinas Perkebunan Provinsi Sumatra Selatan Rudi Aprian mengatakan, pelemahan perekonomian China juga turut menahan peningkatan harga karet. Pasalnya, Negeri Tirai Bambu itu mendominasi permintaan akan karet alam global, yaitu 40,5% dari konsumsi global.
“Pertumbuhan ekonomi China menjadi faktor utama yang berpengaruh terhadap permintaan karet alam di dunia. Sementara situasi saat ini tidak menguntungkan karena adanya perang dagang,” katanya seperti dilansir dari Antara.
Produktivitas Rendah
Tanpa adanya faktor penggerus produksi seperti penyakit gugur daun dan harga yang kian nyungsep, produktivitas tanaman karet nusantara tak bersaing dengan para tetangga.
Sebagai informasi, data Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) menunjukkan, pada tahun 2017, Indonesia menjadi produsen karet terbesar kedua dengan 3,62 juta ton. Disusul Vietnam dengan produksi 1,09 juta ton.
Padahal, luas lahan perkebunan karet Indonesia merupakan yang terbesar, yaitu 3,66 juta ha. Disusul Thailand dan Malaysia dengan luas 3,14 juta ha dan 1,08 juta ha. Dari situ diketahui, produktivitas karet indonesia masih kalah dibandingkan dengan Vietnam yang luas lahan perkebunan karetnya berada di peringkat ketujuh dengan luas 653,21 ribu ha.
Tak hanya karet, kurangnya produktivitas juga dialami komoditas unggulan Indonesia lainnya yakni kopi. Wakil Ketua Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) Pranoto Soenarto mengatakan, produktivitas kopi Indonesia masih kalah dibandingkan negara lain, seperti Vietnam.
Rata-rata produksi kopi Indonesia per tahun, menurutnya, sebesar 600-800 kilogram per ha. Sementara itu, rata-rata produksi kopi Vietnam mencapai 2,3 ton per ha setiap tahun. Selain Vietnam, Brazil juga mengalahkan Indonesia dalam soal produktivitas kopi. Menurutnya, Brazil rata-rata dapat menghasilkan 8 ton per ha setiap tahun.
Ia mengatakan, tak seperti Indonesia yang menggunakan pupuk organik berupa pupuk kandang, Vietnam dan Brazil menggunakan pupuk kimia.
“Kalau di Vietnam sama Brazil, mereka itu pakai pupuk NPK, pupuk kimia. Kalau kita itu kan rata-rata pakai pupuk organik, pupuk kandang,” ucapnya melalui sambungan telepon kepada Validnews, Minggu (6/10).
Meski produktivitas rendah, produksi kopi nasional sejatinya ditopang oleh peningkatan produksi pada perkebunan rakyat. Berdasarkan publikasi BPS bertajuk Statistik Kopi Indonesia 2017, produksi kopi pada 2015 tercatat sekitar 602,37 ribu ton. Jumlahnya menjadi 632 ribu ton pada 2016 atau meningkat, 4,92%. Lantas, pada 2017 mencapai 636,7 ribu ton atau meningkat 0,74% dibandingkan dengan tahun 2016.
Sekadar informasi, sumbangsih perkebunan rakyat pada total produksi kopi nasional tercatat mencapai 95,46%.
Sayangnya, peningkatan produksi, justru terjadi di tengah harga yang tergerus. Merujuk data World Bank, harga rata-rata kopi Arabika dalam tiga tahun terakhir terus mengalami penurunan. Sepanjang tahun 2016, harga rata-rata kopi arabika sebesar US$3,61 per kilogram, lalu turun sekitar 18,83% pada 2018 dengan rata-rata harga kopi arabika hanya sebesar US$2,93 per kilogram.
Pada tahun 2019, harga kopi arabika masih belum terkerek. Terakhir, sepanjang September lalu, Bank Dunia mencatat harga rata-rata kopi arabika sebesar US$2,78 per kilogram.
Tak jauh beda, harga kopi robusta juga mengalami kecenderungan pelemahan. Sepanjang 2018, rata-rata harga kopi robusta sebesar US$1,87 per kilogram atau lebih rendah dari harga rata-rata sepanjang 2016 yang sebesar US$1,95 per kilogram. Padahal, harga kopi robusta sempat terkerek sepanjang 2017, yaitu menjadi sebesar US$2,23 per kilogram.
Pada tahun 2019, harga kopi kembali melemah. Harga rata-rata kopi sepanjang September 2019 kemarin tercatat sebesar US$1,56 per kilogram.
Pendeknya, peningkatan nilai ekspor kopi yang dibukukan Indonesia saat ini ditopang oleh volume yang juga bertambah. Berdasarkan data BPS, sepanjang Januari-Juli 2019, nilai ekspor komoditas kopi mencapai US$473, 2 juta, tumbuh 6,85% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$442,86 juta.
Sementara, volume ekspor pada Januari-Juli 2019 sebesar 168.755,9 ton atau tumbuh 15,64% dibandingkan 145.932,8 ton pada Januari-Juli 2018.
Pada Selasa (1/10) lalu, Indonesia ditunjuk sebagai ketua Dewan Organisasi Kopi Internasional (International Coffee Organisation/ICO Council). Penunjukan ini ditetapkan dalam pertemuan tahunan ke-125 ICO Council pada 23–28 September 2019 di London, Inggris. Dalam hal ini pemerintah Indonesia diwakili oleh Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo.
Ketua Dewan Kopi Indonesia (Dekopi) Anton Apriyanto pun berharap, melalui ICO Council pemerintah Indonesia dapat turut mengganjal harga kopi supaya tidak merosot. Sedangkan Pranoto berpendapat mengatakan terpilihnya Indonesia sebagai ketua ICO Council tidak terlalu berpengaruh pada ekspor kopi Indonesia. Menurutnya, selama ini kopi Indonesia selalu laku dijual.
“Indonesia begitu panen keluar, udah ada banyak yang beli,” katanya.
Fokus Sawit
Selain karet dan kopi, kisah yang kurang lebih sama juga dialami oleh kakao. Indonesia bahkan harus lengser dari gelar yang disandang sebagai produsen ketiga terbesar dunia.
Berdasarkan data dari BPS, produktivitas kakao Indonesia sepanjang 2013-2017, rata-rata menurun 1,51% per tahun. Pada saat yang sama, nilai ekspor kakao Indonesia tercatat menurun rata-rata 0,40% per tahun. Sementara itu, nilai impor Indonesia pada periode yang sama justru tercatat meningkat rata-rata sebesar 48,43% per tahun.
“Untuk cokelat, saja selama 10 tahun terakhir ini kita sudah menurun peringkatnya. Dari peringkat dua dunia menjadi peringkat tiga tahun 2016. Kalau sekarang jadi peringkat enam, ya tambah buruk saja kita, kalah dengan negara di Afrika,” kata Pengamat Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas melalui sambungan telepon kepada Validnews, Senin (7/10).
Tak kurang Kementerian Pertanian sendiri menyebutkan produktivitas rata-rata perkebunan cokelat saat ini kurang dari 50% potensinya. Data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, diketahui pada tahun 2008 kurang lebih 70.000 ha kebun kakao dengan kondisi tanaman tua, rusak, tidak produktif, dan terkena serangan hama dan penyakit dengan tingkat serangan berat sehingga perlu dilakukan peremajaan.
Upaya peremajaan pun dilakukan semenjak 2008. Kala itu, pemerintah menargetkan revitalisasi perkebunan kakao seluas 200 ribu hektare hinga 2010. Dari target 200 ribu hektare (ha) tersebut, sebanyak 54 ribu ha untuk program peremajaan, 36 ribu ha untuk rehabilitasi tanaman tua, dan 110 ribu ha untuk perluasan areal tanaman.
Dwi Andreas mengatakan, peremajaan memang menjadi solusi bagi permasalahan perkebunan nusantara, baik karet maupun kakao. Dengan peremajaan, tanaman yang sudah tua dapat diganti dengan tanaman baru yang lebih resisten terhadap penyakit.
Peremajaan
Hanya saja, pola peremajaan karet akan berbeda dengan kelapa sawit. Pasalnya, kebanyakan kebun kelapa sawit dikuasai oleh perusahaan swasta. Sementara, kebun karet paling besar adalah perkebunan karet rakyat, sehingga pengembangan dan budidayanya tidak bisa sejauh perkebunan-perkebunan swasta.
“Sehingga untuk karet, pemerintah perlu turun tangan. Dalam arti, pemerintah perlu betul-betul membantu petani karet,” ucapnya.
Ia menilai, selama ini pemerintah terlalu fokus pada kelapa sawit dan melupakan komoditas-komoditas perkebunan lain. Padahal, lanjutnya, pemerintah perlu juga meremajakan perkebunan selain sawit sehingga produktivitasnya bisa meningkat meski luas lahannya tetap.
Meski begitu, strategi itu juga harus dibarengi dengan off farm dan kerja sama internasional. Ia bilang pemerintah seharusnya bekerja sama dengan negara-negara produsen komoditas yang sama. Apalagi, selama ini, kebanyakan negara selalu berbicara soal meningkatkan produksi komoditas mereka.
Menurutnya, Indonesia beserta negara produsen komoditas yang sama harus mengontrol luas lahan dan produksi dari perkebunan mereka. Jika tidak, harga-harga akan terus tertekan.
“Permintaan kan pertambahannya sangat kecil, kalau semua negara memicu meningkatkan produksi, selesai sudah. Dan yang nanti paling dirugikan siapa? Ya petani-petani kecil dari perkebunan rakyat,” serunya
Ia mencontohkan kelapa sawit yang dalam waktu 10 tahun terus digenjot produksinya hingga dua kali lipat lebih. Hal yang sama juga dilakukan negara produsen sawit lainnya.
“Ya sudah lah dampaknya kita terima saja kalau harga sawit internasional jatuh, karena memang semua negara produsen yang lima besar kan terus berupaya keras meningkatkan produksi. Padahal pasar dunia kan terbatas,” ucapnya.
Di saat yang sama, ia menilai pemerintah terlalu berfokus menggenjot ekspor komoditas unggulan ini. Tak heran, saat harga komoditas jatuh, petani dan pekebun Indonesia langsung terdampak. Seharusnya, kata dia, sejak dulu pemerintah memikirkan pula soal konsumsi domestik dari produk perkebunan Indonesia, seperti sawit, karet, dan kakao.
Ia menilai, hingga saat ini, industri di Indonesia masih belum siap menyerap komoditas hasil perkebunan, mengingat skala industrinya masih kecil. Akhirnya, pemerintah ambil jalan pintas untuk menyerap kelapa sawit melalui program biodiesel.
Tak jauh berbeda, ia menilai, pemerintah juga sama sekali tidak mengembangkan industri pasca panen untuk kakao. Selama ini, Indonesia mengekspor kakao masih dalam bentuk buah. Padahal, kakao bisa diolah menjadi pasta dengan teknologi yang tak terlalu rumit.
“Tapi kan industri yang ke sana amat sangat jarang. Jadi itu kunci lain yang sangat penting saya kira, yang perlu kita pikirkan,” katanya.
Agak berbeda, untuk kopi, Dwi mengatakan, pasar domestik kopi Indonesia masih akan terus berkembang karena selama ini masih relatif kecil dibandingkan negara lain. Apalagi, budaya minum kopi terus meningkat. “Jadi potensi kopi untuk pasar domestik ini masih terbuka sangat lebar. Kalau itu bisa dikembangkan otomatis pasokan kopi kita di pasar dunia bisa diturunkan,” katanya.
Pada saat yang bersamaan, ia berharap negara-negara lain dapat menahan laju produksi kopi mereka. “Saya kira strategi terkait pengembangan perkebunan itu tidak hanya strategi on farm saja, tapi juga off farm dan kerja sama internasional,” tandasnya. (Sanya Dinda, Bernadette Aderi, Agil Kurniadi, Fin Harini)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN