- Yudisial
Reformasi Pemidanaan Bisa Atasi Masalah Lapas
15 Juli 2020 , 11:59

JAKARTA – Data per Maret 2020, jumlah penghuni rumah tahanan negara (rutan) dan lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia mencapai 270.466 orang. Padahal kapasitas rutan dan lapas di Indonesia 132.335 orang. Kesimpulannya jumlah penghuni dalam rutan dan lapas di Indonesia mencapai 204% dari kapasitas yang ada (overcrowding).
“Sayangnya, solusi atas permasalahan tersebut tidak komprehensif dan hilang timbul. Pemerintah tidak begitu memperhatikan bahwa pangkal permasalahan kondisi overcrowding adalah kebijakan pemidanaan di Indonesia,” tulis siaran pers bersama Koalisi Pemantau Peradilan, Rabu (15/7).
Akibat jumlah penghuni yang berlebih, muncul sejumlah masalah di lapas dan rutan. Seperti hak atas makanan hingga hak kesehatan penghuni yang tak terpenuhi.
Kemudian, praktik perdagangan gelap narkotika hingga komodifikasi (perubahan fungsi) untuk pemenuhan fasilitas layak di dalam lapas dan rutan.
Kondisi ini terus terjadi tanpa adanya solusi komprehensif. Hal ini jelas terjadi seiring dengan overcrowding rutan dan lapas, tanpa solusi yang komprehensif.
KPP menilai, pemerintah tidak begitu memperhatikan pangkal permasalahan kondisi overcrowding adalah kebijakan pemidanaan di Indonesia.
“Reformasi kebijakan pemidanaan melalui revisi KUHAP mutlak dilakukan,” demikian desakan KPP melalui siaran pers.
KPP mengingatkan, pemerintah dalam hal ini, Kemenkumham sudah meminta reformasi kebijakan pemidanaan dilakukan untuk atasi masalah overcrowding. Yakni, dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Grand Design Penanganan Overcrowded pada Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan, yang terbit Juli 2017.
Dalam lampiran permenkumham itu, memuat penanganan overcrowding harus dilakukan dengan mengubah kebijakan. Serta, reformasi paradigma penghukuman dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Permenkumham ini menyoroti budaya praktis aparat penegak hukum yang secara eksesif melakukan penahanan terhadap tersangka/terdakwa dalam masa persidangan.
Per Maret 2020, jumlah tahanan di rutan/lapas di Indonesia menyumbang 24% dari jumlah penghuni. Karena, paradigma penegak hukum, penahanan merupakan suatu keharusan.
Padahal, KUHAP menyediakan mekanisme lain. Seperti tahanan kota, tahanan rumah atupun mekanisme penangguhan penahanan.
Untuk penahanan, KUHAP menyatakan seorang tersangka dapat dikenai penahanan, bukan harus dikenai penahanan.
KUHAP membatasi penahanan berdasarkan dua syarat. Yakni, syarat objektif dan subjektif.
Sayangnya, menurut KPP, syarat subjektif bergantung dari penilaian aparat penegak hukum. Kondisi ini kemudian diperburuk dengan ketiadaan mekanisme untuk mempertanyakan dipenuhinya syarat subjektif ini. Fungsi lembaga pra-peradilan hanya memeriksa sisi administratif dan digelar jika ada gugatan dari pihak yang haknya terlanggar.
Permenkumham Nomor 11 Tahun 2017 juga menaruh catatan terhadap kondisi minimnya alternatif pemidanaan dalam sistem peradilan pidana saat ini.
Dalam Rancangan Kitab UU Hukum Pidana (RKUHP) yang saat ini dibahas di DPR, hampir semua ancaman pidana meningkat drastis. Beberapa, di antaranya bahkan dapat mengakibatkan overkriminalisasi yang berujung pemenjaraan dan berbuah overcrowded.
Sebut saja semisal pidana penghinaan dan zina yang ancamannya dalam RKUHP mencapai lima tahun penjara.
Dalam naskah akademik RKUHP, perumus berkomitmen menghadirkan alternatif pemidanaan non-pemenjaraan untuk menghilangkan dampak destruktif dari pemenjaraan. Namun, hingga draf RKUHP September 2019, keberadaan alternatif pidana baru tampaknya tidak akan berdampak positif dalam menangani masalah overcrowding. Karena jumlah yang minim dan banyaknya syarat untuk diberikan pada seseorang.
Permenkumham No 11 Tahun 2017 jelas mengkritik adanya kebijakan penghukuman untuk tindak pidana narkotika. Karena akan berdampak pada masalah pemenuhan hak kesehatan penghuni lapas.
KPP melihat, ada korelasi tingginya jumlah pengguna narkotika dengan jumlah tahanan/narapidana penyalahgunaan narkotika. Padahal, tempat terbaik yang dibutuhkan mereka adalah pusat rehabilitasi.
Karena budaya pemenjaraan pengguna narkotika, KPP menilai berbanding lurus dengan prevalensi HIV/AIDS di lapas/rutan. Disinyalir terjadi melalui peredaran gelap narkotika yang tak henti-hentinya diselundupkan. Juga, praktik seksual yang tidak aman terjadi di lapas/rutan.
Menurut KPP, pemenjaraan adalah kebijakan usang dan gagal di banyak negara menangani narkotika. Meneruskan kriminalisasi terhadap pengguna dan pecandu narkotika sama dengan meneruskan kegagalan. Per Maret 2020, 55% tahanan/narapidana berasal dari tindak pidana narkotika dan sebanyak 38.995 penghuni merupakan pengguna narkotika.
Pada Februari 2020, 68% penghuni berasal dari tindak pidana narkotika dan pengguna narkotika yang dipaksa untuk mendekam di penjara mencapai 47.122 orang.
Reformasi kebijakan pidana sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 Pemerintah yang berkomitmen untuk mengarusutamakan penggunaan restorative justice dalam sistem peradilan pidana. Salah satu poin penting yakni menghindarkan penahanan secara eksesif, menjamin optimalisasi alternatif penahanan non pemenjaraan.
Kemudian, mereformasi kebijakan narkotika untuk kembali pada pendekatan kesehatan masyarakat. Serta menjamin pengguna dan pecandu narkotika tidak dikriminalisasi.
KPP terdiri dari ICJR, IJRS, LeIP, LBH Masyarakat, KontraS, ELSAM, YLBHI, PBHI, LBH Jakarta, ICEL, ICW, PSHK, Imparsial, Puskapa, LBH Apik, PILNET Indonesia. (Leo Wisnu Susapto)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN