- Nasional
Peta Jalan Pendidikan Kemendikbud Tak Lihat Kenyataan
25 November 2020 , 09:51

JAKARTA – Cendekiawan Yudi Latif mengatakan, rancangan peta jalan pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak melihat kenyataan yang ada di Indonesia saat ini. Hal itu dapat dicermati dari tiga aspek dasar yang menjadi pertimbangan penyusunan peta jalan pendidikan.
"Kita memang mengalami perubahan. Tetapi selain menyongsong hal-hal baru, kita juga meninggalkan masalah di belakang. Jadi yang tidak dilihat di sini adalah realitas kita, Existing-nya tidak dilihat sama sekali," kata Yudi dalam webinar, Selasa (25/11) malam.
Ketiga dasar pertimbangan itu yakni perubahan teknologi, sosial-kultural, dan lingkungan. Perubahan teknologi antara lain adanya penerapan kecerdasan buatan dan big data di semua sektor, serta konektivitas 5G yang memungkinkan teknologi saling terhubung.
Menurut Yudi, aspek perubahan teknologi yang dibayangkan dalam peta jalan hanya teknologi digital. Padahal faktanya masyarakat Indonesia menggambarkan peradaban yang sangat berlapis. Masyarakat di Indonesia bukan hanya masyarakat informasi.
"Ada yang hidup di era pra-pertanian, pertanian, industri, dan pasca-industri. Ini penting sekali memahami ini bahwa ketika kita bicara di Jakarta dengan akses digital, ada banyak masyarakat kita bahkan masih nomaden," ungkap Yudi.
Fokus Kelas Menengah
Kemudian, dari aspek perubahan sosial-kultural disebutkan adanya perubahan demografi. Antara lain meningkatnya usia harapan hidup; tumbuhnya migrasi, urbanisasi, keragaman budaya, dan kelas menengah; dan meningkatnya tenaga kerja yang terus bergerak dan fleksibel.
Yudi mengatakan, aspek itu terutama hanya melihat adanya peningkatan kelas menengah (middle-class). Ini dinilai mengesankan seolah-olah masyarakat Indonesia hanya terdiri dari lapisan kelas menengah. Sementara kenyataannya masyarakat Indonesia majemuk.
"Indonesia sebagai masyarakat majemuk mengalami pluralisasi nilai secara internal dan eksternal yang bisa memicu konflik ideologis dan identitas. Seolah-olah kenyataan-kenyataan, potensi-potensi eksplosi, itu tidak tergambar di dalam peta jalan pendidikan," ucapnya.
Yudi menuturkan, pertimbangan itu akan membuat anak-anak yang selama ini tertinggal tetap tertinggal. Sebab, secara sosial-kultural, fokus utama peta jalan pendidikan hanya pada kelompok masyarakat menengah yang diandaikan kehidupannya sejahtera.
Padahal ibarat iringan kereta kuda, lanjut dia, kecepatan lari kuda-kuda itu bukan ditentukan oleh kuda yang paling cepat larinya. Melainkan justru ditentukan oleh kuda yang berlari paling lambat.
"Jadi kalau ingin mempercepat pembangunan kemajuan Indonesia justru arah perhatian kita jangan ke Jakarta atau Yogyakarta di mana rasio antara guru dan muridnya sangat baik dan lain-lain. Justru kuda-kuda yang larinya paling lambat yaitu daerah terluar, terpinggir," imbuhnya.
Sedangkan yang terakhir, aspek perubahan lingkungan, disebutkan meningkatnya kebutuhan energi dan air serta berkurangnya sumber daya alam, meningkatnya perhatian terhadap energi alternatif, dan upaya berkelanjutan pada isu lingkungan seperti plastik dan limbah nuklir.
Kelemahan aspek itu, menurut Yudi, justru tidak memperhitungkan kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan yang kekayaan sumber daya alamnya belum atau salah dikelola. Serta adanya kesenjangan konektivitas fisik dan mental.
Yudi berpendapat, ketiga aspek ini sangat memperlihatkan bahwa Kemendikbud hanya mengantisipasi pendidikan berdasarkan ancaman dan tantangan saja (track-based). Sementara perubahan kedua hal tersebut bisa terjadi begitu cepat di era disrupsi teknologi saat ini.
"Oleh karena itu, kita tidak bisa mendidik anak disiapkan sebagai batu bata hanya karena banyak permintaan terhadap batu bata. Karena begitu permintaan selesai, karena berubah teknologi atau game changer-nya, maka banyak batu bata ini yang tidak berguna," ucap dia.
Peta jalan pendidikan Indonesia seharusnya dirumuskan berdasarkan kapabilitas sehingga bisa membuat anak memperbaharui diri terus-menerus. Yudi menegaskan esensi pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah menjadi manusia seutuhnya dengan belajar dari kehidupan sepanjang hayat.
"Jadi singkat kata kita tidak perlu harus terus-menerus mengejar layang-layang yang tidak jelas. Tetapi fokus saja pada pembekalan kapabilitas. Kapabilitas apa di sini? Kapabilitas untuk menumbuhkan manusia seutuhnya dengan belajar dari kehidupan sepanjang hayat," ujar dia. (Wandha Nur Hidayat)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN