- Kultura
Perlindungan Konsumen E-Commerce Belum Memadai
12 Januari 2021 , 12:15

JAKARTA – Perlindungan konsumen e-commerce di Tanah Air masih belum memadai. Padahal Indonesia merupakan pasar potensial untuk perkembangan industri ini. Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Siti Alifah Dina mengatakan, ada beberapa persoalan yang berpotensi menghambat pertumbuhan perdagangan e-commerce di Indonesia.
Pertama, belum adanya regulasi mengenai perlindungan data pribadi. Maka dari itu, disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi sangat mendesak sebagai bentuk perlindungan kepada konsumen e-commerce. Penggunaan data pribadi dalam penyedia layanan e-commerce tidak jarang disalahgunakan dan diakses untuk kepentingan di luar transaksi yang penyedia platform lakukan.
Dalam beberapa kasus yang berkaitan dengan perusahaan financial technology (fintech), data konsumen disebarluaskan dan diperjualbelikan tanpa seizin konsumen. Dina menyatakan, RUU ini idealnya mengatur hak dan kewajiban antara penyedia layanan dengan konsumen agar tujuan penggunaan data pribadi dan data apa saja yang boleh diakses penyedia layanan bisa diketahui.
Sayangnya, hingga saat ini RUU masih dalam proses pembahasan yang mengacu kepada daftar inventarisasi masalah.
”Permasalahan selanjutnya adalah awareness di masyarakat dan juga upaya pemerintah yang masih minim. Masyarakat sebagai konsumen belum sepenuhnya paham urgensi dari perlindungan data pribadi dan hak-hak mereka sebagai konsumen,” tegas Dina.
Dina menambahkan, sebenarnya Indonesia saat ini sudah memiliki Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). PP ini merupakan turunan dari UU Nomor 19 Tahun 2016 yang merupakan amandemen dari UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
PP ini sudah mengatur beberapa hal, diantaranya mengenai larangan membagikan dan menggunakan data konsumen ke pihak ketiga dan aturan mengenai data apa saja yang boleh digunakan oleh penyedia layanan e-commerce. Kewajiban penyedia layanan e-commerce untuk melaporkan data kepada Badan Pusat Statistik juga turut termasuk di dalam PP ini.
Namun sampai saat ini, belum ada parameter yang jelas untuk mengukur sejauh mana kinerja para penyedia layanan e-commerce dalam mematuhi regulasi yang berlaku.
"Perlu adanya konsolidasi antar lembaga pemerintah dalam menangani perlindungan konsumen. Lembaga pemerintah yang saling terkait idealnya bersinergi dalam merumuskan aturan-aturan perlindungan terhadap para konsumen e-commerce. Konsolidasi juga sebaiknya melibatkan bisnis, asosiasi, dan akademisi,” jelas Dina.
Dengan ini, diharapkan beberapa aspek perlindungan konsumen online yang masih luput di PP tersebut dapat diakomodasi, seperti model bisnis dropshipping. Parameter ini juga dibutuhkan untuk pemetaan lebih lanjut mengenai penyedia layanan.
Dina menekankan, pentingnya edukasi dan sosialisasi terus menerus kepada masyarakat mengenai data pribadi dan urgensi untuk melindunginya. Edukasi dan sosialisasi diharapkan bisa membuat masyarakat menjadi semakin kritis saat bertransaksi melalui platform digital.
Pertumbuhan akumulasi nilai pembelian melalui platform digital di Indonesia merupakan yang tertinggi di ASEAN, setara dengan Vietnam, menurut studi yang dilakukan oleh Google, Temasek, & Bain (2020). Transaksi e-commerce di Indonesia meningkat dua kali lipat sejak pandemi covid-19 dimulai, yaitu sebesar US$32 Miliar atau meningkat 54% dari angka pada tahun 2019. (Yanurisa Ananta)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN