- Ekonomi
Penurunan Defisit Secara Mendadak Dapat Picu Kontraksi Ekonomi
20 Juli 2020 , 17:09

JAKARTA – Pemerintah diminta berhati-hati dalam pemotongan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) secara mendadak. Apalagi, saat sektor privat belum memiliki kesiapan.
Mantan Menteri Keuangan 2013–2014 Muhammad Chatib Basri menyebut jika hal tersebut terjadi, dapat mengakibatkan kontraksi ekonomi.
“Pak Febrio (Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan) hati-hati dengan ini. Kalau defisitnya dipotong terlalu mendadak, yang terjadi adalah kontraksi dalam ekonomi,” kata dia dalam Kemenkeu Corpu Talk Ep. 10-Menjaga Kelangsungan Ekonomi Indonesia dari Pandemi Covid-19, Jakarta, Senin (20/7).
Untuk diketahui, dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020, defisit anggaran dipatok sebesar 6,34% dari produk domestik bruto (PDB). Pemerintah menargetkan pendapatan negara sebesar Rp1.699,1 triliun. Sementara, belanja negara ditargetkan sebesar Rp1.404,5 triliun. Jadi, defisit akan menjadi sebesar RP1.039,2 triliun.
Sementara itu dalam kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal (KEM dan PPKF) RAPBN TA 2021, diketahui defisit APBN 2021 diproyeksi sekitar 3,21–4,17%. Total pendapatan diproyeksi sebesar 9,90–11%, penerimaan perpajakan 8,25-8,63% dengan rasio pajak 9,30–9,68%, belanja negara 13,11–15,17%, dan rasio utang 36,67–37,97%.
Untuk 2022, defisit kembali diproyeksikan turun menjadi 2,79–3,55%. Total pendapatan diproyeksikan sebesar 10,32–11,30%, penerimaan perpajakan 8,27–8,70% dengan rasio pajak 9,32–9,75%, belanja negara 13,11–14,85%, dan rasio utang 36,65–37,39%.
Pada 2023, defisit diproyeksikan kembali turun menjadi 2,35-2,72%. Total pendapatan diproyeksikan sebesar 10,53-11,69%, penerimaan perpajakan 8,38-9,09% dengan rasio pajak 9,43-10,14%, belanja negara 12,88-14,41%, dan rasio utang 36,45-37,36%.
Sementara pada 2024, defisit kembali diproyeksikan turun menjadi 2,19–2,51%. Total pendapatan diproyeksikan sebesar 10,84–12,15%, penerimaan perpajakan 8,59–9,55% dengan rasio pajak 9,64–10,60%, belanja negara 13,03–14,66%, dan rasio utang 36,08–37,18%.
Chatib menjelaskan, jika penerimaan negara turun, pengeluarannya naik, seharusnya defisitnya naik. Namun dengan pemotongan defisit, artinya pemerintah memotong discretionary spending yang tersedia.
Ia juga mengingatkan, pasalnya pemerintah masih mempunyai mandatory spending. Mulai dari anggaran pendidikan 20%, transfer ke daerah 30%, dan anggaran kesehatan 5%.
Untuk itu, Ekonom Universitas Indonesia ini menyarankan, sebaiknya penurunan defisit anggaran dilakukan menggunakan perkembangan data yang ada. “Karena itu, penurunan defisit harus dilakukan dengan data dependent,” kata Chatib.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Virus Corona pada Selasa, 31 Maret 2020. Kini, Perppu tersebut telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020
Dalam Pasal 2 Perpu itu, termaktub aturan terkait pemakluman batasan defisit anggaran lebih dari 3 persen setelah pemerintah menambah dana penanganan pandemi covid-19.
"Menetapkan batasan defisit anggaran dengan ketentuan sebagai berikut. Poin a, melampaui 3 persen dari PDB selama masa penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022," bunyi pasal itu dalam Perppu.
Bunyi bagian dalam pasal itu merevisi aturan sebelumnya, yakni Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam beleid itu, pemerintah menetapkan defisit anggaran dibatasi maksimal 3% dari PDB.
Selanjutnya, masih dalam Pasal 2 di Perppu tersebut, besaran defisit anggaran pada 2023 akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% dari PDB. Penyesuaian besaran defisit anggaran dilakukan secara bertahap. (Rheza Alfian)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN