• Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Nasional

MENGURAI KIAT MENCAGAR SEHAT

Pentingnya Mengendus Alergi Sejak Dini

Alergi tidak bisa dihilangkan meski gejalanya bisa dibuat ‘tidur’
03 September 2019 , 20:43
Ilustrasi alergi. Shutterstock/dok
Ilustrasi alergi. Shutterstock/dok

JAKARTA – Husnul Abdi (24) mengaku sama sekali tidak memiliki riwayat penyakit saluran pernapasan. Merokok pun tidak. Meski begitu, sesak nafas dan batuk sering membuat Husnul terbangun pagi-pagi buta. Dia biasanya langsung minum obat untuk meredakannya. 

Husnul bercerita selalu menyediakan stok obat setelah tahu dirinya punya asma alergi dari dokter. Dia sudah seperti ini sejak masih anak-anak. Asma alergi merupakan asma yang disebabkan oleh reaksi alergi, atau biasa disebut juga allergy-induced asthma.

“Jadi memang, bisa juga asma karena kena alergen. Misalnya, udara dingin atau asma karena asap rokok,” ujar Ketua Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia Iris Rengganis ketika ditemui Validnews di RSCM, Jakarta, Senin (2/9).

Walau asma merupakan penyakit tak menular, nyatanya penyakit ini juga bisa sangat sensitif terhadap lingkungan sekitar. Jenis asma sendiri berbeda-beda dan terdapat asma yang muncul akibat alergi.

Husnul tak sendirian. Penderita alergi sangat banyak, bahkan belakangan kian meningkat seiring perubahan lingkungan, iklim dan pola kehidupan masyarakat kini. Data World Allergy Organization (WAO) dalam The WAO White Book on Allergy: Update 2013 menunjukkan bahwa angka prevalensi alergi mencapai 10–40% dari total populasi dunia. Dengan kata lain, alergi menjadi masalah global.

Alergi sendiri, kata dokter Iris, merupakan suatu kondisi di mana seseorang menjadi hipersensitif pada bahan-bahan di sekitarnya. Meski mengakui alergi tidak bisa dihilangkan, gejala alergi masih bisa dibuat ‘tidur’. Caranya cukup sederhana, yakni dengan menghindari alergen.

“Bahan itu kita sebut sebagai alergen,” begitu katanya.

Jadi, pasien alergi harus mengenali betul alergennya. Karena hanya dengan cara itulah pasien bisa menghindari alerginya kambuh kembali. “Alergen itu suatu protein yang bisa dari tungau debu rumah, putih telur, kepiting, udang, makanan laut dan lain sebagainya,” sebutnya.

Pengenalan alergen sendiri bisa dilakukan dengan melakukan tes tusuk kulit dan tes darah. Tes tusuk kulit merupakan tes yang paling standar. Namun hanya bisa mengidentifikasi sebagian alergen saja. Untuk mengidentifikasi 54 alergen yang diketahui sejauh ini, bukan hal mudah dan tak murah. Pasien memang harus merogoh kocek lebih banyak lewat tes darah.

Sebab tes pengenalan faktor pencetus alergi atau alergen melalui tes darah ini memang membutuhkan bahan tertentu. Bahan yang dibutuhkan dalam Tes IgE atau Imunoglobulin E ini tidak terdapat di Indonesia. Bahannya harus diimpor terlebih dahulu.

Peningkatan Populasi
Di Indonesia sendiri, beberapa peneliti memperkirakan bahwa peningkatan kasus alergi mencapai 30% per tahunnya dan yang rentan terkena alergi adalah anak.

Menanggapi hal ini, dokter spesialis anak Dave Anderson menerangkan, peningkatan kasus alergi bisa disebabkan oleh bermacam faktor, termasuk akibat peningkatan populasi.

“Indonesia merupakan negara berkembang. Tiap tahun populasi bertambah, kota menjadi lebih luas dan padat, desa menjadi kota, jumlah kendaraan meningkat sehingga polusi yang timbul juga meningkat. Polusi yang meningkat ini dapat meningkatkan jumlah penderita alergi,” terangnya kepada Validnews, Selasa (3/9).

Di luar itu, pola kehidupan juga bisa memicu alergi. Pendapat dokter Dave ini mengacu pada kehidupan para ibu, terutama di kota besar, yang seringkali harus bekerja sehingga anaknya tidak mendapatkan air susu ibu (ASI) secara eksklusif.

“Ini juga akan meningkatkan risiko timbulnya alergi,” terangnya.

Belum lagi kebiasaan orang tua yang merokok dan munculnya fenomena rokok elektrik yang belakangan tumbuh menjadi gaya hidup. Dan, beberapa daerah kerap menjadi ‘langganan’ bencana asap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahunan. Ini juga menimbulkan alergi.

Meski begitu, orang tua tidaklah pasti menurunkan alergi pada anaknya. Bila orang tua alergi telur, anaknya belum tentu alergi telur. Si anak hanya jadi berisiko alergi telur dan bermacam makanan lainnya. 

“Anak akan mempunyai risiko alergi sekitar 50% bila salah satu orang tuanya alergi. Bila kedua orang tuanya alergi, maka risiko akan meningkat menjadi sekitar 66%,” ucapnya.

Sepengalaman dokter Dave berpraktek di Jakarta, setidaknya ada beberapa penyakit alergi yang sering dialami masyarakat. Di antaranya, alergi terhadap tungau debu rumah, alergi susu sapi dan alergi akibat polusi seperti asap rokok.

Maraknya alergi tungau rumah, kata dia kemungkinan karena iklim Jakarta yang panas dan berdebu. Sementara alergi susu sapi bisa banyak muncul lantaran orang tua yang bekerja membiasakan anaknya mengonsumsi susu sapi. Si anak tak mendapatkan ASI.

Pernyataan Dave soal alergi susu sapi ini sejalan dengan data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) yang menyebut kalau kejadian alergi susu sapi dilaporkan terjadi terjadi pada 5% hingga 7,5% bayi yang mendapat susu sapi.

Senada dengan Iris, Dave memastikan alergi tidak dapat disembuhkan. Hanya saja, alergi dalam jangka waktu lama disebut Dave dapat berkurang sensitivitasnya. Pada sebagian anak, dengan bertambahnya usia, alergi yang sebelumnya ada bahkan bisa saja tidak muncul lagi. Caranya lagi-lagi dengan menghindari faktor pencetus alergi atau alergen.

“Bisa juga diberikan imunoterapi yang dipandu oleh dokter untuk mengurangi sensitivitas badan terhadap pencetus alergi,” terang dokter spesialis anak yang berpraktek di RS Siloam ASRI ini.

Bagaimana pun jangan juga menganggap remeh alergi. Dave mengingatkan, alergi dengan kondisi ekstrem bisa menimbulkan reaksi anafilaksis. Reaksi ini, kata dia, dapat melumpuhkan kerja jantung, sehingga tekanan darah turun dan mengganggu kerja paru yang menimbulkan sesak. Reaksi ini dapat menyebabkan kematian.

Susu Sapi
Dokter spesialis kesehatan anak Zakiudin Munasir, pada kesempatan berbeda  menyampaikan senada. Salah satu yang paling rentan untuk terkena alergi adalah anak-anak. Bahkan alergi yang bisa timbul pada bayi bukan hanya disebabkan oleh susu sapi.

Gejala-gejala alergi seperti gatal kulit gatal-gatal dan merah pada bayi juga kemungkinan juga terjadi karena ada alergen-alergen lain yang mengancam anak, seperti udara dan tungau debu rumah.

“Jadi bijaknya memang harus dicek terlebih dahulu alergen pada bayi itu apa,” terangnya kepada Validnews, Selasa (3/9).

Pakar alergi-imunologi anak ini menerangkan, alergi susu terjadi karena faktor gen yang kemudian berhubungan dengan sistem saluran pencernaan si bayi. Oleh karena itu, sama seperti dokter Dave, dia juga menyarankan supaya orang tua mau mengutamakan pemberian ASI pada bayi.

“ASI eksklusif kan minimal 6 bulan,” ujar Zaki.

Kalau pun si ibu tak bisa memberikan ASI, seperti kondisi sakit atau karena produksi ASI yang sedikit. Zaki menyarankan agar bayi bisa diberikan susu yang tidak menimbulkan alergi, seperti susu formula berbasis soya atau kedelai.

Saat bayi berusia 3 tahun memang sudah jarang mengalami alergi susu sapi lantaran pencernaan sudah matang dan sistem imunnya sudah lebih baik. Akan tetapi ini bukan berarti si anak bisa terbebas dari ancaman alergi. Sebab setelah usia 3 tahun, si anak tentunya akan berhadapan dengan kemungkinan alergi makanan.

“Oleh karena itu, orang tua harus tetap waspada,” ucapnya.

Dalam sebuah artikel di laman Persi, Zaki juga sempat menerangkan bahwa dampak alergi dapat memengaruhi kualitas hidup anak seperti terbatasnya aktivitas belajar, bermain, sulit kosentrasi hingga sulit tidur.

Oleh karenanya, indikator paling tepat untuk deteksi dini alergi kata dia adalah melalui riwayat keluarga. Sebab alergi bersifat genetik dan bahkan pada orang tua yang tidak memiliki riwayat alergi pun, bayi tetap memiliki risiko alergi sebesar 5–15%.

Lantas, bagaimana peran pemerintah? Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono menyampaikan, hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah pada saat ini adalah terus melakukan edukasi pada masyarakat. Kemenkes ingin masyarakat dapat menghindari zat-zat yang menyebabkan alergi.

“Orang asma kalau sudah tahu kalau kebakaran hutan ya jangan sampai mendekatinya. Jadi pendidikan sih sebenarnya, edukasi pada masyarakat,” katanya. (Muhammad Aji Maulana)

  • Share:

Baca Juga

Ekonomi

Pengusaha Mengaku Terbantu Atas Keringanan Tagihan Listrik

  • 23 Januari 2021 , 13:30
Ekonomi

Penyaluran Kredit Perbankan Semakin Anjlok

  • 22 Januari 2021 , 15:00
Ekonomi

Rupiah Menguat, IHSG Diprediksi Bergerak Variatif

  • 20 Januari 2021 , 11:05

Tulis Komentar

Lupa Password?

ATAU

MASUK DENGAN

Facebook
Google+
Belum memiliki Akun? Daftar Sekarang

Belum ada komentar.

Vista

Ironi Si Pengolah Sandi


  • Terbaru

Pemerintah Bertekad Kembalikan Kejayaan Produk Keramik Indonesia
25 Januari 2021 , 21:00

Target ini perlu ditopang dengan kebijakan strategis, diantaranya melalui program substitusi impor 35% pada 2022

Mendagri Minta Pemda Monitoring KIPI
25 Januari 2021 , 21:00

Efek samping bisa terjadi. Kekebalan komunitas tetap harus terbentuk

Menyiasati Kesempatan Kala Pembatasan
25 Januari 2021 , 21:00

Kursus daring kian diminati. Biaya dan penyajian jadi perhatian

Menyiasati Kesempatan Kala Pembatasan
25 Januari 2021 , 21:00

Kursus daring kian diminati. Biaya dan penyajian jadi perhatian

Menjaga Asa Tanpa Laga
23 Januari 2021 , 18:00

Pandemi membuat suporter tidak lagi bisa memenuhi tribun stadion. Hanya kecintaan terhadap tim kesayanganlah yang membuat mereka tetap bertahan, meski tanpa kepastian

PELUANG USAHA

Modal Minim Bisnis Reparasi Kereta Angin
22 Januari 2021 , 20:22

Peluang laba dari pengelolaan bengkel sepeda masih terbuka lebar meski tren kemudian turun

Buah Senarai Samar Kompetisi
21 Januari 2021 , 21:00

Kelanjutan kompetisi masih tanda tanya. Beban klub tak tersolusikan

Kandas Laba Dari Olahraga
19 Januari 2021 , 21:00

Tak semua cabor bisa diadakan online. Faktor sponsor tetap menentukan

Bertabur Teman Baru Di Tengah Pandemi
18 Januari 2021 , 21:00

Pembatasan selama pandemi ini rentan memunculkan perasaan keterisolasian

Mencari Pengganti Kedelai
16 Januari 2021 , 18:00

Protein nabati pada kedelai paling lengkap. Rasanya membuat sulit tergantikan

  • Fokus
  • Paradigma

Gaya Hidup Sehat Dan Bisnis Apparel Yang Melesat
21 Januari 2021 , 18:38

Pada masa pandemi, tampilan kasual yang dipengaruhi gaya sporty, akan tetap penting bagi pelanggan, khususnya Gen Z.

Menelisik Tren Mobil Listrik
18 Januari 2021 , 13:00

Mobil listrik mulai dilirik. Namun baru sebagian kelompok yang mampu menjamahnya. Selain faktor harga, ketersediaan fasilitas pendukung teknologi ini juga jadi pertimbangan calon konsumennya.

Krisis Repetitif Kedelai
15 Januari 2021 , 16:00

Tingkat konsumsi kedelai masyarakat Indonesia mengalami rata-rata pertumbuhan sebesar 7,97 kg/kapita/tahun

PSBB Total, MRT Lakukan Penyesuaian Operasional
14 September 2020 , 10:47

Ada pembatasan jumlah penumpang menjadi 62 -67 orang dalam satu kereta

BERSAMA BIJAK TANGGAPI BENCANA

Urgensi Ketegasan Dalam Penanganan Covid-19 di Indonesia
27 Maret 2020 , 20:00

Ada indikasi bahwa pemerintah seolah gamang, dalam mengambil tindakan tegas untuk penanganan Covid-19

MENYESAP BAHAGIA DENGAN BERDERMA

Tren Filantropi dan Potensi Kebaikan Hati
03 Februari 2020 , 18:19

Tren Filantropi dan Potensi Kebaikan Hati

 
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Disclaimer & Privacy Policy
  • Kontak
© Copyright validnews.co. All rights reserved.