- Vista
Penggugah Seni Tradisi Dari Kolong Rumah
25 Februari 2021 , 01:32

JAKARTA – Kecintaan pada dunia seni telah terpupuk sejak Ribut Anton Sujarwo masih kanak-kanak. Pada 1995, dia merupakan satu dari segelintir anak yang diundang Presiden Soeharto, untuk menari di Taman Mini Indonesia Indah. Waktu itu umurnya baru lima tahun.
Anton tidak seperti kelaziman anak-anak sebayanya. Tak pernah terbesit dalam benaknya untuk bercita-cita menjadi dokter, pilot, maupun polisi. Sejak ingusan, dia telah membayangkan bisa memiliki sekolah seni. Tidak ada yang lebih istimewa ketimbang itu.
Entah bagaimana pemikiran itu terbentuk. Padahal, tak ada darah seni yang diterimanya dari keluarga. Orang tuanya adalah pedagang. Hanya kesempatan belajar tari di sekolah dasar yang menjadi pemantik minat itu.
Di bangku SMP, Anton coba mendalami teater dan randai. Saat SMA, ia merambah ke musikalisasi puisi. Jalan hidup di kemudian hari membawanya lebih lekat dengan musik. Anton berkuliah di jurusan Sendratasik, Universitas Negeri Padang.
Musik tradisional menjadi santapan sehari-harinya kala itu. Otak dan rasa, terus diasah. Berbagai instrumen dimainkan. Beragam teori dikudap, hingga kompetensinya menguat. Dia terbentuk sebagai seorang komposer.
Waktu berlalu. Suatu kali, dia terusik oleh keadaan musik tradisional yang makin tersisih dan dijauhi anak-anak muda. Tanda tanya besar pun menyembul di benaknya. Buat apa belajar seni tradisi tak mampu mengubah keadaan tersebut?
Pendirian Darak Badarak
Ajo Piaman itu lalu mencoba berbuat sesuatu. Langkah kecil mulai dirintis. Ia mulai mengajarkan musik tradisi kepada para remaja di daerah asalnya, Kota Pariaman.
Namun, bukan anak-anak pecinta seni yang dia pilih untuk diajar, melainkan remaja "begundal". Targetnya, pelajar SMP yang doyan membolos, merokok di kantin, menghisap lem, hingga pecandu balap liar.
Alasannya cukup kuat. Dia berpandangan, remaja-remaja itu membutuhkan ‘rumah kedua’ yang mampu memberi arah baru untuk hidup lebih positif. Kenakalan muncul karena perhatian orang tua yang kurang. Karenanya, Anton berniat menjadi teman bagi mereka.
Tak mudah bagi Anton untuk melakukan penjaringan. Bagaimana tidak? Satu sama lain tak saling mengenal. Akibatnya, dia mesti menempuh berbagai cara agar bisa masuk ke lingkar pergaulan mereka.
Nongkrong bareng, merokok bareng, menjadi pemulus rencana. Lewat pendekatan-pendekatan yang bersahabat, Anton akhirnya berhasil menjalin keakraban.
“Mengajak mereka pun bukan sekonyong-konyong saja. Saya posisikan diri benar-benar sebagai teman, sehingga bisa ngobrol dengan leluasa. Kan banyak di kantin itu mereka merokok, nah, kadang-kadang saya tawarkan juga rokok," kisah Anton kepada Validnews, Senin 22 Februari 2021.
Setelah benar-benar dekat, barulah dia memperkenalkan musik tradisional. Pada masa inilah, yakni kisaran tahun 2010, Anton menggagas pendirian satu perhimpunan penggiat seni yang diberi nama Komunitas Darak Badarak.
Tanpa Tempat, Tanpa Alat Musik
Tahun-tahun pertama berdiri, dilalui komunitas dengan berbagai tantangan. Persoalan fasilitas dan keuangan menjadi dua masalah yang paling sering menerpa. Maklum, Darak Badarak lahir dari tangan seniman tradisional yang tak punya pekerjaan tetap. Jangankan menyediakan sarana berkesenian, untuk makan pun Anton sering kesulitan.
"Memang kalau diceritakan, keadaan di awal-awal itu parah. Sedihlah pokoknya. Bahkan anak-anak (anggota komunitas-red) kadang membawakan saya nasi dari rumahnya,” ujarnya.
Sebab tak ada tempat bernaung, mereka pun menjadikan kolong sebuah rumah budaya di Kota Pariaman sebagai ruang berlatih. Tingginya yang tak seberapa, membuat mereka kerap sulit bergerak. Mau tak mau, latihan dilakukan dengan cara duduk.
Lebih memprihatinkan lagi, alat musik yang tersedia hanya sebuah gitar usang! Padahal alunan musik tradisional yang akan diajarkan mengharuskan keterlibatan bebunyian tetalempong hingga gandang tambua atau tambur. Apa mau dikata? Lagi-lagi Anton harus bersiasat.
"Kursi plastik bekas itu kami jadikan pengganti gandang. Sementara, talempong itu diganti dengan kertas. Jadi hanya si pemukul saja yang bisa mendengar nadanya," kenangnya sembari tertawa ringan.
Keterbatasan itu tak membuat beberapa dari mereka berniat hengkang. Dan Anton berkali-kali mesti menahan, atas nama persahabatan.
Beberapa bulan berlatih, akhirnya komunitas binaan Anton memberanikan diri ikut lomba tingkat pelajar se-Sumatra Barat, Riau dan Jambi. Laku prihatin pun terbayar. Juara satu berhasil diraih di debut pertama itu.
Prestasi itu menjadi pijakan penting bagi perjalanan Komunitas Darak Badarak pada tahun-tahun berikutnya. Berbagai pencapaian baru dijelang, baik di lingkup lokal maupun nasional. Festival ke festival, lomba ke lomba, hingga panggung pertunjukan, mereka jabani.
Seiring itu, keuangan mereka mulai mapan sehingga bisa membiayai berbagai keperluan. Menginjak tahun ketiga sejak berdiri, yaitu 2013, berkat kemenangan di satu lomba, barulah Komunitas Darak-Badarak mampu membeli alat-alat musik sendiri.
Teror dan Kabar Burung
Generasi pertama hingga kelima yang berkegiatan di komunitas, terdiri dari remaja-remaja yang kerap dijuluki nakal, perokok pula. Tak ayal, ketika mereka dikumpulkan oleh seorang pengangguran, maka bermacam anggapan miring muncul dari masyarakat.
Aktivitas latihan mereka, memicu keresahan warga sekitar. Kabar burung pun berseliweran, menyebut Komunitas Darak Badarak sebagai tempat penyelundupan narkoba. Namun, tak ada satupun yang bisa membuktikan kebenaran desas-desus itu.
"Apalagi saya waktu itu gondrong ya. Jadi macam-macamlah pikiran masyarakat terhadap saya," tutur Anton.
Berkali-kali tempat latihan mereka disatroni warga. Pernah pula mereka diusir sebab dianggap membuat kebisingan. Bahkan ada warga yang sampai mengancam.
Untungnya, saat teror warga makin gencar, Pemerintah Kota Pariaman turun tangan, seraya menyambut baik keberadaan Komunitas Darak Badarak. Anton dan anak-anak didiknya kemudian diberi tempat latihan baru di sebuah ruangan bekas kantor pemerintah.
Namun, kegiatan di tempat baru itu tak seindah yang dibayangkan. Setelah setahun berada di sana, mereka terusir.
“Banyak juga rasa iri karena kami memakai fasilitas pemerintah. Bahkan tempat latihan kami diserang, kacanya dilempari batu, sampai diancam mau dibakar,” tuturnya.
Tak tanggung-tanggung, hujatan kepada Anton kian marak. Dia dibilang gila, penjual narkoba, hingga dituduh menyebarkan agama baru. Meski harus menghadapi jalan terjal, Komunitas Darak Badarak tak berhenti bergerak. Berbagai lomba dan festival di Tanah Air, tetap gigih dilakoni.
Transformasi Besar
Jenis karya Anton adalah musik kreasi. Sebuah elaborasi antara musik tradisional dengan instrumen modern. Hasilnya adalah bebunyian baru yang kental nuansa etnik, dan dekat dengan selera generasi muda.
"Kita mencoba mengaransemen, misalnya dipadukan dengan unsur, salsa, jazz, dan sebagainya. Jadi lebih menarik,” akunya. Karya-karya seperti itulah yang ditampilkan oleh Komunitas Darak Badarak.
Sebagai pemimpin, Anton giat membangun jaringan untuk mencari peluang tampil bagi komunitasnya. Hasilnya nyata. Dalam lima tahun terakhir, nama Darak Badarak muncul sebagai penampil ataupun pemenang sejumlah festival bergengsi.
Mulai dari pemenang terbaik Festival Perkusi Sumatra Tahun 2017, Juara 1 Terbaik Indonesian Drum & Perkusi Festival 2018. Selain di tanah air, Darak Badarak juga telah menjajal panggung-panggung di Malaysia, Thailand, Singapura, Vietnam hingga Kamboja.
Terbaru, pada awal 2020 Komunitas Darak Badarak menggelar tur akbar di 17 titik di Sumatra Barat, Bali dan Malaysia. Kegiatan tersebut dalam rangka perayaan satu dekade pendirian komunitas. Nama besar yang kian terkerek itu, lantas menempatkan Darak Badarak sebagai ikon seni milenial di Kota Pariaman. Kiprahnya bahkan mampu melecut kemunculan sanggar-sanggar seni tradisional baru, yang melibatkan kaum muda.
Baru-baru ini, mereka merilis film berjudul “Anak Bawah Kolong”. Film tersebut menggambarkan perjalanan komunitas sejak lahir hingga sekarang. Satu album yang berisi 10 komposisi musik juga dirilis. Karya-karya tersebut, merupakan dokumentasi dari perjalanan kesenian anak-anak Darak Badarak.
Seni Untuk Kehidupan
Kalau sekadar komunitas, mungkin Darak Badarak sudah bubar di tahun pertama berdiri. Tapi perjuangannya lebih jauh dari sekadar musik. Bagi Anton, Darak Badarak adalah sebuah "sekolah".
Seni menjadi alat yang digunakan untuk mencapai tujuan utama. Yakni perilaku hidup yang lebih baik dan bermanfaat bagi masyarakat.
"Anak-anak selalu diajarkan bagaimana menghargai orang lain, serta menjaga diri dari sifat iri dan dengki. Yang penting, fokus saja berkarya,” kata pria yang oleh para muridnya dipanggil dengan sebutan ‘ayah’ ini.
Tidak sedikit para "begundal" yang bergabung, kemudian bertransformasi menjadi anak berbeda 180 derajat. "Mereka jadi bisa merencanakan akan jadi apa mereka ke depannya. Mereka juga menjadi bisa lebih mencintai orang tuanya," pungkas Anton.
Kini Komunitas Darak Badarak sudah memasuki generasi ke-11. Tercatat lebih dari 300 orang anggota berhasil terhimpun. Para alumninya telah cemerlang bertebaran, menjalani jalan hidup masing-masing, baik itu kuliah maupun bekerja. (Andesta Herli)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN