- Vista
Pengembara Bunyi Yang Mendunia
05 Desember 2020 , 11:31

JAKARTA – Ledekan dari kawan sebaya jadi makanan sehari-hari Slamet Abdul Sjukur sewaktu kecil. Hingga pernah diludahi! Ketidaksempurnaan tubuh adalah penyebabnya. Cara jalannya pincang, lantaran kaki kanan tergerogoti polio saat berusia 6 bulan.
Beberapa kali Slamet terpaksa berkelahi untuk melawan hinaan.
Kekesalannya terluap sampai ke rumah. Melihat itu, orang tuanya tak diam saja. Slamet dibujuk bermain bersama, untuk meredakan amarah.
Neneknya, Buyuti, yang tinggal bersama di Surabaya, ikut menghibur. Slamet kecil diajak menikmati lantunan piano di rumah seorang tetangga yang berkebangsaan Belanda. Paling tidak, nada-nada merdu itu bisa mengikis kejengkelan yang tengah merundung. Pada kesempatan lain, bocah itu dibawa mengunjungi pergelaran-pergelaran musik.
Lambat laun, kegemaran si nenek pada musik, menulari Slamet. Segala rasa kelabu seolah terobati bila menghayatinya. Kecenderungan itu lantas disadari ayah serta ibunya.
Piano menjadi kado istimewa saat Slamet merayakan ulang tahun ketujuh. Kejutan yang sangat membahagiakan. Dimainkannya alat musik itu nyaris setiap hari, meski belum bisa membaca chord.
Pada usia kesembilan, seorang guru piano dipanggil untuk menuntun hasrat bermusik Slamet. Namanya Nio D. Tupan, pianis berdarah Ambon yang tinggal di Filipina. Namun baru beberapa kali latihan, Slamet dan keluarganya terpaksa mengungsi ke Mojokerto, semasa Jepang menduduki Tanah Air.
Piano terpaksa dijual. Slamet pun berpisah dengan guru lesnya yang pulang kampung ke Filipina. Kesedihan kembali menjangkiti.
Setelah keadaan membaik, pada 1948, keluarga Slamet kembali boyongan ke Surabaya. Kehidupan pun dimulai dari nol lagi. Dari hasil kerja serabutan, ayahnya berupaya menabung. Setahun kemudian, Slamet mulai bersekolah di Taman Siswa.
Ternyata, tak hanya untuk memenuhi kehidupan sehari-hari dan membayar uang sekolah Slamet, sedikit demi sedikit, sang ayah bisa menyisihkan uang untuk membelikan piano baru. Slamet girang bukan kepalang.
Berbekal ilmu dari guru pertama, ditambah belajar secara otodidak, Slamet kian mahir bermain piano. Bakatnya terasah, hingga menarik perhatian RRI Malang serta Kediri. Dia terpilih sebagai pianis pengiring siaran anak-anak PODO-MORO di dua stasiun radio tersebut. Saat itu, usianya masih 13 tahun.
Terbuai Musik Barat
Meski sudah terhitung lihai, Slamet tetap butuh bimbingan. Orang tuanya lantas mendatangkan kembali guru les piano. Kali ini, pianis wanita asal Belanda, Schaap.
Waktu terus berjalan, kepiawaian Slamet menajam. Seiring itu, Hasrat bermusiknya menebal. Jelang masa sekolah menengah, dia putuskan untuk melanjutkan pendidikan ke Yogyakarta. Tujuannya: Sekolah Musik Indonesia atau SMIND, yang pada kemudian waktu berubah nama menjadi Akademi Musik Indonesia. Kini lembaga tersebut telah melebur dalam Institut Seni Indonesia.
Kecintaan pada musik ditumpahkannya semasa kuliah. Namun, saat itu pelajaran seni musik masih diberikan secara menyeluruh. Belum khusus berdasar minat instrumen. Mahasiswa, termasuk Slamet, diharuskan mengikuti kuliah berisi teori, psikologi, hingga penciptaan musik.
Perkenalan dengan musik Perancis dan Spanyol, membawa Slamet jatuh hari dengan karya-karya Maurice Ravel. Terutama “Sonatina” untuk piano solo. Periode ini membenihkan keinginan Slamet, untuk melanjutkan studi musik di Perancis saat dewasa.
Menurut Herry Supiarza dalam jurnal, "Slamet Abdul Sjukur Tokoh Musik Kontemporer Indonesia", pilihan ke negeri Eiffel tersebut juga atas dukungan Josep Bordmer, dosen teori musik di SMID.
Namun apa daya, harapan ke Eropa terganjal sebab keluarganya tak mampu membiayai.
Beruntung, Slamet dan Bodmer memiliki keluasan pergaulan. Sebuah organisasi persahabatan warga negara Perancis dengan Indonesia yang bernama Allance Francaise, bersedia mengusahakan beasiswa. Pengurusnya lantas melobi Duta Besar negara tujuan Slamet itu di Jakarta.
Upaya berjalan lancar. Dubes setuju memberangkatkan Slamet ke Paris, lewat jalur beasiswa selama satu tahun. Conservatoire National Superieur de Musique, jurusan Analisis dan Komposisi
Keberhasilan tersebut ternyata membuka kemujuran lain. Berbagai sodoran beasiswa menyusul datang. Pemerintah Indonesia mau menanggung satu tahun sekolah dan kebutuhan hidup Slamet selama di Prancis. Demikian pula dengan Foundation Roussel, yang juga memberi tawaran dengan durasi sama.
Tak berhenti di situ, pada masa-masa berikutnya, satu beasiswa lagi diraih yakni sekolah di Conservatoire National Superieur de Musique, jurusan Analisis dan Komposisi.
Tersokong beasiswa, bukan berarti Slamet asyik berleha-leha. Dia tetap mencari tambahan nafkah dengan bermusik di Paris. Beberapa sekolah balet menerimanya sebagai pemain piano. Sekaligus pula, bekerja di Groupe de Recherches Musicales atau Kelompok Penyelidik Musik. Di tempat itu, Slamet petualangan musikalitas Slamet meluas.
Pemimpin GRM yang merupakan penemu musik elektroakustik dan musisi eksperimental, Pierre Schaeffer, mengenalkan Slamet pada bunyi-bunyian di luar alat musik. Pertemuan yang kian mematangkan jiwa bermusik Slamet.
Lalu dia memberanikan diri menjadi komposer. Istimewanya, beragam berbagai dihasilkan Slamet dari bahan-bahan yang terbilang sederhana. Misalnya, suara desir angin, gesekan daun, gemercik air, bunyi gesekan sapu di jalanan, bunyi ketiak yang ditutup dengan telapak tangan, dan dengung perbincangan orang-orang di sekitarnya.
Pengembaraan Slamet pun merambah paduan suara. Diramunya suara dari orang-orang sengau. Kemudian menyusun komposisi musikal 200 anak pemulung yang bernyanyi sambil bermain instrumen berbahan bambu.
Eksperimen dijalani sambung-menyambung. Lalu datang kesempatan yang kerap dimimpikannya, yakni menggelar pertunjukkan sendiri.
Sebuah Pementasan musik elektronik berjudul “Latigrak”, di gelarnya di Paris. Pentas seni ini merupakan komposisi musik balet berpadu gamelan, ditambah bunyi-bunyian dari synthesizer. Spektakuler!
Sambutan warga Paris sedemikian luar biasa. Sampai-sampai, Thom Holmes dalam buku Electronic and Experimental Music: Technology, Music, and Culture, menyebut Slamet Abdul Sjukur sebagai musisi Indonesia pertama yang mengenalkan musik elektronik.
Efek domino tercipta usai pagelaran Latigrak. Beberapa karya ikut menyertakan sentuhan musik elektronik Slamet. Antara lain, “Batas Echo”, sentuhan Harry Roesli tahun 1978, “Saluang Pekan Komponis I”, besutan Otto Sidharta pada 1979, dan “Dilarang Bertepuk Tangan di Dalam Toilet”, milik Sapto Raharjo yang dirilis 1980.
Dibujuk Pulang
Kesuksesan di Prancis membuat Slamet enggan pulang. Dia telah menemukan ruang ekspresi yang nyaman sebagai musisi profesional serta komponis. Slamet tak mau, ketika kembali ke Indonesia, namanya akan disanjung berlebihan. Itu sungguh tak diinginkannya.
Namun dia terus diteror dengan aliran surat dari Tanah Air. Banyak yang menghendakinya pulang. Bahkan, pendiri SMIND, Sumaryo L.E dan Suka Hardjana, meminta Slamet menjadi dosen di Institut Kesenian Jakarta atau IKJ.
Akhirnya Slamet luluh. Dia kembali ke Indonesia pada tahun 1978. Ongkos pulangnya didapat dari hasil pesanan musik Pemerintah Prancis. Dia kemudian menjadi dosen teori musik dan komposisi di IKJ. Kariernya mulus, hingga menjabat Dekan di IKJ.
Namun pada tahun 1987, Slamet dipecat karena pemikirannya soal musik tidak bisa diterima oleh pemerintah Orde Baru. Terutama terkait keberanian Slamet menentang arus. Dia membuat terobosan dengan menghapus dasar teori musik dan menumpukan pengajaran pada kreativitas.
Dia pun pernah berurusan dengan kelurahan, karena menulis ‘musik’ pada kolom Agama di KTP. Dari situlah Slamet dicap sebagai komunis.
Memasuki masa reformasi, Slamet melanglang ke beberapa kampus di Indonesia, seperti Institut Seni Indonesia dan Universitas Pendidikan Indonesia.
Slamet menghembuskan napas terakhir pada 24 Maret 2015 di Graha Amerta RSUD Dr. Soetomo Surabaya, Jawa Timur dalam usia 79 tahun. Slamet meninggal setelah dirawat selama dua minggu lebih, pasca patah pangkal paha kanan akibat terjatuh pada 9 Maret 2015. (Gisesya Ranggawari)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN