
JAKARTA – Sekitar 15 anak tengah menekuni buku tulis masing-masing. Sesekali, pandangan dialihkan pada selembar kardus bekas yang dijadikan pengganti papan tulis. Lalu, tulisan yang tertera di sana segera disalin dengan pensil serta pena yang tergenggam tangan mereka.
Meski berkumpul dalam rumah kontrak kecil, mereka tampak betah. Seperti mengalami satu kemewahan yang terlalu sayang jika terlewatkan.
Peristiwa delapan tahun silam itu begitu lekat pada ingatan Heni Sri Sundani. Persentuhannya dengan anak-anak putus sekolah yang saban hari doyan bermain di belakang rumah kontraknya di Desa Tegal, wilayah Kabupaten Bogor tersebut, menjadi babak awal perubahan jalan hidupnya. Semangat belajar mereka telah memantik keputusannya untuk menanggalkan impian sebagai guru di sekolah formal.
Heni ingat betul, dia dan suaminya memulai dengan modal nekat. Berbekal uang Rp100 ribu, anak-anak petani dan kuli cuci itu diajak mengenal keluasan ilmu pengetahuan. Jumlah yang jauh dari cukup untuk melengkapi piranti mengajar. Bahkan, membeli papan tulis pun tak sanggup.
"Karena kalau bantu uang, saat itu kita belum mampu. Jadi akhirnya kita memutuskan untuk mengajari anak-anak pada akhir pekan tanpa dipungut biaya," cerita Heni kepada Validnews, Selasa (30/6).
Keterbatasan biaya itu tak sampai mengganggu proses belajar. Sebab pekan-pekan selanjutnya, jumlah anak-anak yang ikut serta kian banyak. Mereka rela berdesakan karena tertarik dengan cara mengajar Heni yang menitikberatkan metode learning by doing.
Hingga satu waktu, rumah itu benar-benar tak sanggup lagi menampung. Heni mencari jalan keluar. Didatanginya tokoh masyarakat terdekat, meminta izin penggunaan musala sebagai tempat belajar. Syukurlah, permohonannya dikabulkan.
Heni sempat kewalahan, saat jumlah peserta melonjak sampai lebih dari 120 anak. Kali ini, para pelajar turut bergabung. Sementara yang mengajar hanya dia dan suaminya. Apalagi, anak-anak itu tidak berasal dari satu tingkatan. Beragam. Malah ada juga yang berusia pra sekolah.
"Meski sebagian anak ada yang bersekolah formal, tapi membaca dan berbicara bahasa Inggris saja mereka tidak bisa. Anak-anak merasa senang karena saya mengajar dengan metode berbeda seperti yang diajarkan guru-guru mereka di sekolahnya," kata dia.
Saat ini, semakin banyak anak yang tertarik belajar gratis dengan Heni. Berawal dari satu kampung dan hanya diikuti belasan peserta, kini menjelma pesat menjadi sekitar 8.000 anak didik. Mereka tersebar di Pulau Jawa, Lombok, dan Sumbawa.
Anak Petani Cerdas
Kegiatan Heni yang telah ditekuni bertahun-tahun ini dikenal dengan nama Anak Petani Cerdas. Heni yakin, sekolah formal saja belum cukup jadi solusi atas permasalahan yang dihadapi anak-anak. Karenanya, gerakan rintisan Heni menyuguhkan kebutuhan anak yang tidak disediakan sekolah formal.
"Jadi misi kita ingin memutus rantai kemiskinan melalui pendidikan. Status komunitas kita memang pendidikan non-formal," ujar Heni.
Pelajaran yang diberikan melalui gerakan Anak Petani Cerdas ini, lebih ke arah literasi dan pelatihan kemampuan berpikir. Lalu tentang cara mengambil keputusan besar pada usia muda. Termasuk pengetahuan atas konsekuensi setiap tindakan. Keunikan kajian tersebut lantas mempengaruhi bentuk pembelajaran. Bukan hanya sekadar baca dan tulis. Melainkan juga komunikasi, public speaking, dan storytelling.
Tak hanya itu, terdapat pula program bule hunting dan bule coming. Melaluinya, Heni ingin mengasah kefasihan anak-anak bercakap dalam bahasa inggris.
Keberhasilan pendidikan tidak diukur dari angka-angka hasil ujian, seperti yang galib digunakan sekolah umum. Namun berwujud perubahan perilaku. Heni percaya para siswa mampu membangun kebiasaan baik itu di kelas. Misalnya, akrab dengan budaya mengantre, berbicara sopan, menghormati orangtua, jujur, serta pelaksanaan nilai-nilai keluhuran lainnya.
Saat memulai delapan tahun lalu, Heni tak memiliki tujuan muluk. Dia hanya ingin membantu anak-anak sekitar rumah dengan mengajar tiap akhir pekan, tanpa dipungut biaya. Sama sekali tak terbayangkan, niat sederhananya itu tumbuh menjadi gerakan sebesar Anak Petani Cerdas.
Perjuangan Heni kemudian terendus khalayak luas, saat dibagikan melalui media sosial. Kawan-kawannya yang mendukung dengan menyiarkan ulang kegiatan mengajar gratis anak-anak kampung itu, memberi sumbangan besar pada perkembangan gerakan. Banyak bantuan mengalir setelah itu. Bukan hanya berupa alat tulis saja, ada pula yang yang tertarik menjadi tenaga pengajar.
Mantan TKI
Heni terlahir dari keluarga miskin. Ibu dan bapaknya harus menjual perabotan dan segala yang dimiliki, hanya untuk membayar uang sekolah. Pun saat kefakiran belum berakhir, keduanya memutuskan berpisah. Lantaran itu, Heni terpaksa tinggal dengan sang nenek di Ciamis, Jawa Barat.
Zaman itu, sekolah adalah kemewahan. Mahal. Banyak yang tak sanggup menjangkaunya. Heni termasuk beruntung. Walau tertatih-tatih mencukupi biaya, dia masih diberi kesempatan. Hanya saja, tinggal bersama nenek yang buta aksara, membuatnya kelimpungan belajar. Heni tidak punya sandaran untuk bertanya hal yang kurang dimengerti.
Dia kerap dilanda kebingungan setiap mendapat tugas sekolah. Sama sekali tak ada yang membimbing. Meminta bantuan tetangga pun tak mungkin. Keadaan mereka sama memprihatinkan dengan keluarganya, tidak pernah merasakan sekolah.
Jalan terjal Heni menempuh pendidikan, berlanjut ketika SMP. Serba terjepit. Selain kerap kesulitan biaya, dia juga harus berjalan kaki selama empat jam untuk mencapai sekolah.
Berbagai ejekan berseliweran. Tak terkecuali dari tetangganya. Sampai-sampai ada yang menyuruh Heni menerima nasib, bahwa orang melarat mustahil sukses dan bermanfaat bagi orang lain.
"Akhirnya timbul satu keinginan, nanti kalau saya sudah besar mau jadi guru," kata Heni.
Namun bukan sekadar jadi guru. Heni ingin menjadi pengajar yang tidak menyia-nyiakan semangat anak-anak didik. Pengalaman pahitnya di masa lalu jangan sampai terjadi lagi. Dulu Heni sering kecewa, sebab guru sering bolos mengajar.
Sekolah adalah harapan untuk membalik keadaan. Sebab ijazah saja tak cukup. Kemiskinan yang mendera keluarga serta lingkungan sekitar Heni, mesti diubah melalui pendidikan yang didapat. Dia bertekad untuk itu. Masuk ke SMK jadi pilihannya agar lekas bekerja, dan segera berbuat sesuatu untuk orang banyak.
Selepas lulus, Heni tak mau setengah-setengah. Dia memutuskan terbang ke Hong Kong sebagai tenaga kerja Indonesia. Di hatinya terukir teguh cita-cita. Sembari bekerja, dia akan berupaya meraih gelar sarjana, lalu kembali ke Tanah Air untuk mengajar.
Butuh satu tahun sebelum akhirnya perempuan kelahiran 2 Mei 1987 tersebut benar-benar melanjutkan pendidikan diploma III di St Mary’s University, Hong Kong.
Untuk biaya kuliah, tentu Heni tidak bisa hanya berharap gaji dari majikannya. Dia harus mencari tambahan dengan kerja serabutan. Mulai dari kontributor beberapa koran dan majalah di Hong Kong, hingga bekerja paruh waktu menjaga orang lanjut usia. Semua dilaluinya, hingga berhasil melanjutkan ke jenjang sarjana strata 1, mengambil jurusan manajemen.
Mimpi itu kemudian terwujud. Heni diwisuda, lalu kembali ke Indonesia pada 2011. Dibawanya serta 3.000 buku dan beragam penghargaan lomba. Sebuah perpustakaan mungil menyusul didirikan, lalu mengajak anak-anak di kampungnya untuk membaca.
"Akhirnya saya memutuskan membuat gerakan Anak Petani Cerdas, mengajar anak-anak tanpa dibayar. Seperti yang emak harapkan. Karena emak tahu bagaimana rasanya menyekolahkan anak susah sekali, menjual apa yang dipunya," jelas dia.
Tantangan Dana
Tantangan yang paling sering dialami gerakan Anak Petani Cerdas adalah ketersediaan dana. Jumlahnya pun kerap besar, demi bisa menjalankan program pendidikan sepanjang tahun. Kalau satu anak saja memerlukan buku senilai Rp1.000, maka hitung saja besaran biaya untuk 8.000 anak.
"Itu baru buku tulis, belum yang lainnya. Anak yang belajar di gerakan Anak Petani Cerdas kita kasih susu, biskuit dan sebagainya karena banyak anak yang mengidap gizi buruk serta kekurangan gizi," kata dia.
Saat ini, 80% keuangan gerakan Anak Petani Cerdas disokong donatur. Mereka adalah warga negara Indonesia yang tinggal di luar negeri, dengan beragam jenis pekerjaan. Bahkan, ada yang bersumber dari kedutaan besar Indonesia di mancanegara.
Selain itu, program urun dana atau crowdfunding juga diselenggarakan melalui media sosial. Heni menyediakan akun pribadinya di Facebook, dengan nama Heni Sri Sendani, sebagai tempat perputaran informasi. Seiring waktu, beberapa perusahaan turut mendukung, dengan menyalurkan dana segar melalui program tanggung jawab sosial.
"Kita juga punya unit bisnis, skala rumahan aja. seperti keripik jamur, yang buat mantan TKI Hong Kong," kata perempuan yang telah meraih gelar Magister (S2) Management di Bumiputera School of Business pada 2016 silam.
Heni menyadari, perlu kesinambungan dalam berinovasi agar bantuan pihak lain tidak berhenti. Gerakan Anak Petani Cerdas dalam mencari orang-orang yang mau berbuat baik. Ini tantangan kedua.
Selanjutnya, pencarian anak-anak yang mempunyai keinginan kuat untuk belajar, menjadi tantangan ketiga. Meski itu tidak mudah. Sebab jumlah anak-anak dari keluarga miskin sangat banyak. Namun, tak semua mau berubah dan belajar.
Terakhir, tantangan terbesar berasal dari dalam diri relawan. Mereka yang bergabung sebagai tenaga pengajar di gerakan Anak Petani Cerdas rentan jenuh. Kemurnian pengabdian, teruji melalui keadaan itu. Bila mampu mengolah, terbukti sudah ketangguhan mereka.
Banyak relawan yang hanya datang sekali-dua kali. Sekadar swafoto, setelah itu menghilang. Heni harus bekerja ekstra mencari tenaga yang benar-benar tulus berbagi manfaat.
"Pada akhirnya kita jadi dipertemukan dengan orang-orang yang punya komitmen bagus," ujarnya. (Herry Supriyatna)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN