- Nasional
Pandemi dan Pekerja Migran yang Kembali
23 Mei 2020 , 18:00

JAKARTA – Covid-19 telah berjangkit lebih dari 200 negara. Ada 4.995.996 orang terinfeksi, berdasarkan data World Health Organization (WHO) hingga 22 Mei 2020. Kasus meninggal dunia akibat pandemi ini mencapai 327.821 orang.
Situasi tersebut mendorong berbagai negara memperketat pintu masuknya. Mereka khawatir orang yang datang dari luar negeri akan membawa risiko imported case atau kasus yang terbawa dari masuknya individu baik warga sendiri, atau warga negara lain ke dalam suatu negara. Tak terkecuali pemerintah Indonesia juga memperketat pemeriksaan kepulangan pekerja migran Indonesia (PMI).
“Ini (kepulangan PMI) agar betul-betul diantisipasi, disiapkan, ditangani proses kedatangan mereka di pintu-pintu masuk yang sudah ditetapkan, dan juga diikuti pergerakan sampai ke daerah,” kata Presiden Joko Widodo (Jokowi), Senin (11/5).
Pernyataan Jokowi merujuk kepada 34.300 PMI yang diprediksi akan kembali ke Tanah Air sepanjang Mei–Juni 2020. Prediksi ini disampaikan Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Benny Rhamdani, dua hari sebelumnya. Saat itu Benny juga menyampaikan sudah 126.742 PMI yang pulang dari negara penempatan.
Pada hari berikutnya, Minggu (10/5), giliran Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengumumkan bahwa 587 PMI di luar negeri tertular covid-19. Jumlah kasus itu terdiri dari 224 PMI positif covid-19, 353 dikarantina, dan 10 meninggal dunia. Kasus positif paling banyak berasal dari PMI di Malaysia yaitu 108 orang.
Ketiga pernyataan selama tiga hari berturut-turut tersebut mengesankan perlunya keseriusan dalam penanganan kepulangan PMI dari luar negeri.
Tiada Jumlah Pasti
BP2MI mencatat 34.300 PMI yang akan pulang berasal dari sekitar tiga puluh negara penempatan. Sepuluh negara di antaranya adalah Malaysia (13.074 orang), Hongkong (11.539 orang), Taiwan (3.688 orang), Singapura (2.611 orang), Arab Saudi (807 orang).
Kemudian Brunei Darussalam (770 orang), Korea Selatan (325 orang), Kuwait (304 orang), Italia (219 orang), dan Oman (173 orang). Diketahui bahwa hanya Taiwan dan Brunei Darussalam dari sepuluh negara itu yang memiliki kasus covid-19 di bawah seribu orang sampai saat ini.
Menurut data Worldometers pada 22 Mei 2020, kasus covid-19 di Malaysia 7.137 orang, di Hongkong 1.066 orang, di Singapura 30.426 orang, di Arab Saudi 67.719 orang, di Korea Selatan 11.142 orang, di Kuwait 19.564 orang, di Italia 228.658 orang, dan di Oman 6.794 orang.
Angka kasus covid-19 di negara-negara tersebut tentu menimbulkan kekhawatiran atas penularan terhadap PMI yang akan mudik menjadi beralasan. Belum lagi dengan kemungkinan jumlah kepulangan PMI yang tidak terdata oleh pemerintah.
Deputi Perlindungan BP2MI, Anjar Prihantoro mengatakan, prediksi kepulangan 34.300 PMI hanya didasarkan atas kontrak kerja mereka yang memang sudah habis atau akan habis pada Mei-Juni 2020. Habisnya masa kontrak kerja membuat mereka diasumsukakn akan kembali ke Tanah Air.
“Harapan kita (kontraknya) akan diperpanjang di sana. Tetapi faktanya belum tentu juga. Jadi kita harus mengantisipasi. Jadi sampai Juni itu sekitar 34.300 yang akan pulang ke Indonesia. Ini yang tercatat, yang sesuai dengan Sistem Komputerisasi Tenaga Kerja Luar Negeri kita,” ucap Anjar kepada Validnews, Jumat (22/5).
Di luar jumlah tersebut, lanjut dia, boleh jadi ada kepulangan PMI yang tidak terdata BP2MI karena mereka tidak menggunakan agen ataupun menggunakan agen yang tidak resmi. Jadi perhitungan 34.300 tidak termasuk PMI yang mungkin akan kembali karena alasan lain, misalnya masa berlaku visanya habis, cuti, dan dirumahkan sementara akibat lockdown.
Meski jumlah PMI yang berstatus undocumented ini tidak diketahui, Anjar memastikan mereka akan tetap dimintai persyaratan dan melalui protokol kesehatan yang sama di titik debarkasi. BP2MI menambah dua kali lipat jumlah personel, dari 75 menjadi 150 orang, untuk memperketat pengawasan di setiap pelabuhan dan bandara.
“Kalau pulang ke sini tetap sama protokolnya. Harus diperiksa kesehatannya, dites PCR (Polymerase Chain Reaction). Nanti kalau dia positif harus masuk ke ruang isolasi, ke rumah sakit. Itu sama pokoknya, kan dia warga negara dan PMI juga,” kata dia santai.
Anjar mengungkapkan rata-rata sekitar seribu PMI kembali ke Indonesia setiap hari saat ini. Perkiraan tersebut misalnya dapat dilihat dari data yang dipublikasi BP2MI. Total ada 126.742 PMI yang sudah kembali hingga 9 Mei 2020. Lima hari kemudian, 14 Mei 2020, akumulasinya menjadi 131.299 PMI.
Jalur Tikus
Peningkatan pengawasan juga dilakukan di 'jalur-jalur tikus' yang biasa digunakan PMI undocumented atau ilegal untuk kembali ke Indonesia. Salah satu ‘jalur tikus’ yang banyak digunakan terletak di wilayah perairan perbatasan di Kalimantan.
Jika kapal yang mengangkut PMI ilegal tertangkap di tengah perairan, penjaga perbatasan akan menggiringnya masuk ke pelabuhan. Selanjutnya mereka harus menjalani protokol kesehatan. Situs resmi Pusat Informasi Maritim TNI Angkatan Laut (AL) menyebut modus mereka biasanya menggunakan kapal ikan atau kapal barang.
Pelabuhan-pelabuhan kecil yang kerap digunakan sebagai jalur masuk PMI ilegal juga diklaim aman. Di sana juga terdapat Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP).
“Semuanya diketatkan di sana karena intinya supaya betul-betul bahwa yang masuk itu juga diperiksa sesuai protokol kesehatan,” imbuhnya.
Direktur Jenderal Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, mengatakan setidaknya ada tiga wilayah 'jalur tikus' yang biasa digunakan PMI ilegal. Pertama, mereka menyeberang dari Johor ke Sumatra atau ke Kepulauan Riau. Kemudian dari Sabah ke Kalimantan Utara. Lalu yang ketiga adalah dari Sarawak ke Kalimantan Barat.
Pengawasan jalur tikus selama masa pandemi covid-19 ini disebut sudah dibahas bersama kementerian/lembaga terkait. Pusat Informasi Maritim TNI Angkatan Laut pun mencatat per 13 Mei 2020 sudah lebih dari 590 PMI ilegal yang tertangkap masuk melalui ‘jalur tikus’ selama dua bulan terakhir.
”Termasuk juga dengan patroli untuk memperketat perairan dengan TNI AL untuk menutup jalur-jalur ilegal ini. Sudah ada beberapa yang sudah dideteksi dan sudah kita amankan,” ungkap Judha kepada Validnews, Sabtu (16/5).
Surat Keterangan Sehat
Judha mengatakan, semua PMI yang akan pulang harus melalui tes kesehatan dan memiliki surat keterangan sehat dari negara penempatan. Cara ini memang sedianya akan mencegah risiko penularan covid-19 yang mungkin mereka bawa ke Indonesia.
PMI yang hasil tesnya menunjukkan kondisi sakit otomatis tidak bisa berangkat dan harus dirawat di negara setempat. Prosedur ini secara umum dilakukan di semua negara penempatan, dengan biaya perawatan dijamin negara tersebut.
Tetapi, sebelum itu, yang tidak kalah penting sebenarnya membantu kebutuhan pokok PMI di negara penempatan yang terdampak pandemi. Tidak sedikit mereka yang memilih pulang karena penghasilannya terhenti akibat kebijakan lockdown negara setempat.
"Beberapa yang paling terdampak adalah warga kita yang berstatus undocumented. Termasuk juga warga kita yang bekerja sebagai pekerja harian lepas karena mereka mengandalkan penghasilannya dari pekerjaan harian, pekerjaan serabutan," jelas Judha.
Dengan demikian, bantuan logistik perwakilan pemerintah sangat dibutuhkan. Dia mencontohkan PMI yang bekerja di Malaysia, di mana diberlakukan kebijakan movement control order (MCO) yang serupa dengan lockdown. Ingat Malaysia merupakan salah satu negara penempatan PMI terbanyak.
Kemenlu mencatat, ada sekitar 3,3 juta warga negara Indonesia di Negeri Jiran. Dari jumlah tersebut, baru 254.314 orang yang menerima bantuan logistik dari perwakilan pemerintah Indonesia. Jumlah staf yang hanya sekitar 200–300 orang di enam kantor perwakilan dianggap sebagai penghambatnya.
Akhirnya, perwakilan pemerintah Indonesia memfasilitasi komunitas masyarakat Indonesia di Malaysia untuk memberikan bantuan kepada WNI terdampak. Jumlah penerima bantuan bertambah 109.168 orang.
“Mereka memberikan logistik secara swadaya, lalu KBRI memfasilitasi dengan memberikan surat jalan. Mereka sebenarnya di masa lockdown tidak boleh keluar rumah, tapi kami melakukan langkah diplomasi dengan pemerintah Malaysia,” kisahnya.
Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo justru mengkritik pemerintah Indonesia. Dia menilai upaya yang dilakukan belum maksimal, terutama diplomasi dengan Malaysia. Berbeda dengan negara penempatan lainnya, Malaysia dituding tak cukup serius menangani pekerja migran dan masih menggunakan pendekatan keamanan.
Padahal upaya diplomasi salah satu tujuannya untuk mendorong pemerintah Malaysia melakukan relaksasi keimigrasian. Ini terkait dengan 2,1 juta PMI di Malaysia yang rentan terdampak kebijakan MCO karena status mereka sebagai PMI undocumented.
Tidak seperti di Singapura, misalnya, Wahyu mengatakan semua pekerja migran di episentrum covid-19 mendapat kesempatan untuk tes cepat tanpa terkecuali. Langkah ini, menurut Wahyu, tidak diterapkan pemerintah Malaysia. Bahkan pendekatan keamanan Malaysia diprotes Amnesty Internasional setelah mereka menolak pengungsi Rohingya.
“Singapura melakukan rapid test semua pekerja migran yang ada di episentrum, di asrama-asrama, tanpa melihat status keimigrasian. Karena yang dikedepankan nomor satu itu adalah kesehatan.," tutur Wahyu kepada Validnews, Minggu (17/5).
Berbeda dengan Judha, Wahyu berpendapat relaksasi kebijakan keimigrasian adalah syarat agar bantuan logistik bisa diberikan kepada seluruh PMI, dan WNI secara umum, di Malaysia. Namun, menurut dia, diduga pemerintah Malaysia menganggap hal tersebut mencampuri urusan dalam negeri.
Cegah Stigma
Di sisi lain, Wahyu mengakui, kesiapan pemerintah Indonesia terkait kepulangan 34.300 PMI sudah relatif baik. Protokol kesehatan secara keseluruhan diterapkan. Ini membantu mencegah stigmatisasi PMI sebagai pembawa covid-19, sebab tes cepat maupun tes PCR wajib diterapkan kepada semua WNI yang kembali tanpa diskriminasi.
Pada tingkat pemerintah desa pun dikatakan sudah siap menjalankan protokol tersebut. Banyak desa yang menyiapkan balai desa, gelanggang olahraga, kooperasi, hingga ruang pertemuan sebagai tempat karantina. Namun, masalahnya kemudian pada jaminan sosial terhadap PMI yang kembali ke Tanah Air.
“Memang yang belum dipikirkan secara serius adalah bagaimana kemudian livelihood mereka ketika pulang. Apakah mereka ter-cover di dalam jaringan pengaman sosial? Ini yang saya kira isu yang penting juga dikedepankan untuk mereka pulang atau yang akan pulang,” tutur Wahyu.
Dia berpendapat masalah ini jelas merisaukan. Karena separuh dari PMI yang pulang adalah mereka yang kehilangan pekerjaan. Sementara mereka belum termasuk ke dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial, sehingga belum berhak mendapat bantuan-bantuan dari jaring pengaman sosial.
Masalah ini pula yang disoroti Anggota Komisi IX DPR, Saleh Partaonan Daulay. Menurut politisi Partai Amanat Nasional ini, pemerintah harus dapat mengantisipasi ledakan pengangguran besar-besaran pasca-kepulangan 34.300 PMI.
“Prediksinya ada 34 ribu pekerja migran (yang pulang). Kalau semua pulang terus tak langsung bekerja ketika kembali ke Indonesia, mereka otomatis jadi pengangguran. Maka hal ini yang perlu perhatian khusus dari pemerintah,” ujar Saleh kepada Validnews, Rabu (20/5).
Saleh meminta pemerintah pusat dapat segera menyerahkan data-data kepulangan PMI kepada pemerintah daerah termasuk dinas ketenagakerjaan. Di samping tentu saja data tersebut untuk memantau kondisi kesehatan PMI saat sudah berada di rumah mereka masing-masing. Data PMI ini krusial sebagai patokan bagi pemerintah, baik pusat dan daerah bertindak. Agar pandemi tak berlangsung lebih lama lagi. (Wandha Nur Hidayat, Fuad Rizky)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN