- Nasional
Pandemi Covid-19 Sebabkan Tekanan Psikososial Pada Anak
20 Juli 2020 , 15:44

JAKARTA – Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Fidiansjah menyatakan, pandemi covid-19 punya dampak buruk terhadap kesehatan jiwa anak. Salah satunya adalah meningkatnya tekanan psikososial.
Sebuah studi, kata dia, menemukan 47% anak merasa bosan tinggal di rumah, 35% anak khawatir ketinggalan pelajaran, 34% anak takut terkena penyakit termasuk covid-19, 20% anak merindukan teman-teman, 15% anak merasa tidak aman, dan 10% anak khawatir dengan penghasilan orang tuanya.
"Potret ini menggambarkan betapa tinggi persoalan kesehatan jiwa pada anak remaja pada periode covid-19 kalau tidak diantisipasi dengan cepat," kata Fidiansjah dalam diskusi yang disiarkan akun YouTube BNPB Indonesia, Senin (20/7).
Fidiansjah menuturkan, 11% anak bahkan mengalami kekerasan fisik dan 62% anak mengalami kekerasan verbal. Angka-angka itu dinilai mengkhawatirkan, sebab dapat menyebabkan anak depresi yang berlangsung lebih lama setelah isolasi di rumah berakhir.
Oleh karena itu, dia mengklaim Kemenkes terus berupaya mendorong kesadaran masyarakat tentang bahaya covid-19 dari aspek kesehatan jiwa. Pasalnya, menurunnya kesehatan jiwa dapat memengaruhi daya tahan tubuh yang menjadi aspek penting saat ini.
"Jangan sampai kesehatan jiwa dia turun, akhirnya kemudian mengganggu imunitas dibutuhkan di dalam konteks covid-19 ini," ujarnya.
Fidiansjah menyebutkan proses belajar dari rumah termasuk penyumbang tekanan psikologis bagi anak karena tidak bisa belajar mandiri. Ada 37% anak tidak bisa mengatur waktu belajar, 30% anak kesulitan memahami pelajaran, dan 21% anak tidak memahami instruksi guru.
Pemerhati Kesehatan Jiwa Anak Unicef, Ali Aulia Ramly mengatakan, tekanan psikologis terhadap anak terjadi seiring proses belajar dari rumah secara daring. Salah satu kasus yang sering kali dialami anak adalah kekerasan emosional berupa menjelek-jelekkannya.
Kemudian sebagian orang tua pun kerap mencubit atau memukul dengan alasan untuk mendisiplinkan anak. Misalnya ketika anak tidak bisa mengerjakan tugas sekolah. Kekerasan ini bisa terjadi juga karena orang tua menjadi korban psikologis dari situasi ini.
"Jadi kita punya kesempatan pendidikan dijalankan secara daring, tetapi itu juga menimbulkan risiko. Persoalannya bukan hanya karena anak diam di rumah, tetapi ada tekanan psikologis ketika misalnya kekerasan meningkat di dalam rumah," ungkapnya.
Ali menekankan pentingnya membantu orang tua, anak, dan masyarakat untuk memahami dampak psikologis terhadap diri mereka sendiri. Hal paling sederhana untuk mengetahuinya adalah dengan memperhatikan perubahan perasaan.
Contohnya, kata dia, menjadi mudah marah yang biasanya baik-baik saja, sama sekali kehilangan semangat, dan konsentrasi menjadi mudah hilang. Menurut Ali, diperkirakan sekitar 1–3% kasus membutuhkan dukungan spesialis seperti psikiater atau psikolog.
"Ini beberapa gejala tanda-tanda secara umum yang sebenarnya normal ketika ada situasi yang tidak normal ini, ada isolasi, ada pembatasan sosial. Tetapi kalau itu berkepanjangan, maka butuh dukungan spesialis," imbuh dia. (Wandha Nur Hidayat)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN