• Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Megapolitan

Pandemi, Eranya Demonstrasi

Rasa kecewa dan amarah yang dirasakan masyarakat terhadap pemerintah dan DPR membuat para demonstran tidak peduli lagi dengan virus corona. Protokol kesehatan dalam aksi massa tentu sangat sulit dilakukan.
16 Oktober 2020 , 15:00
Personel kepolisian menembakkan gas air mata ke arah pengunjuk rasa saat demonstrasi menentang Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja di Kota Magelang, Jawa Tengah, Jumat (9/10/2020). Unjuk rasa tersebut berakhir ricuh dan mengakibatkan sejumlah fasilitas umum rusak. ANTARAFOTO/Anis Efizudin
Personel kepolisian menembakkan gas air mata ke arah pengunjuk rasa saat demonstrasi menentang Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja di Kota Magelang, Jawa Tengah, Jumat (9/10/2020). Unjuk rasa tersebut berakhir ricuh dan mengakibatkan sejumlah fasilitas umum rusak. ANTARAFOTO/Anis Efizudin

Oleh Kevin Sihotang*

Salah satu protokol kesehatan yang wajib dilaksanakan selama pandemi adalah menghindari kerumunan. Akan tetapi, protokol tersebut kerap diabaikan masyarakat dengan alasan beragam. Salah satu bentuk pengabaian yang paling mencolok adalah dengan melakukan aksi demonstrasi.

Pada 5 Oktober 2020 lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah mengesahkan omnibus law RUU Cipta Kerja. Keputusan ini lantas menuai protes dari masyarakat, terutama kalangan pekerja. Masalahnya, banyak pasal yang dinilai akan merugikan para pekerja, khususnya buruh.

Selang beberapa hari, tepatnya pada 8 Oktober 2020, demonstrasi dilakukan para buruh dan mahasiswa. Bentrokan dengan aparat pun tak dapat dihindari. Bahkan, sejumlah fasilitas umum juga menjadi sasaran amuk massa.

Sejumlah halte Transjakarta dirusak dan dibakar. Stasiun Moda Raya Terpadu (MRT) juga menjadi pelampiasan amarah demonstran. Belum lagi, pos-pos polisi dan beberapa bangunan di sekitarnya yang juga turut dirusak lantaran massa kesal tuntutannya mendekati istana tak terpenuhi. Kerugian pun diperkirakan mencapai puluhan miliar rupiah.

Lingkaran Setan Penyebaran Virus
Berbulan-bulan sudah kita berjuang melawan pandemi dan mengisolasi diri. Namun, ketika demonstrasi terjadi, ratusan bahkan ribuan orang berkumpul sehingga potensi terciptanya klaster baru pun tak dapat dihindari. Semua upaya yang telah dilakukan sebelumnya pun terasa sia-sia.

Menerapkan jaga jarak ketika berdemonstrasi pun dapat dikatakan mustahil. Akibatnya, entah berapa orang yang berpotensi menularkan atau tertular virus mematikan tersebut, meski pihak aparat kepolisian telah menyebutkan sejumlah angka.

Pada hari pelaksanaan demonstrasi, Polri menyatakan ada 34 orang peserta demo yang dinyatakan reaktif saat diikutkan tes cepat. Mereka pun dibawa ke Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet untuk diisolasi. Namun, bisa dipastikan aktualnya lebih dari 34 orang itu. Belum lagi peserta demo di kota-kota lain.

Rasa kecewa dan amarah yang dirasakan masyarakat terhadap pemerintah dan DPR membuat para demonstran tidak peduli lagi dengan virus corona. Meski Satgas Covid-19 menganjurkan agar aksi massa memperhatikan protokol kesehatan, tentu itu sangat sulit dilakukan.

Dalam kasus penyebaran virus akibat demonstrasi, masyarakat kemudian akan menyalahkan pemerintah dan DPR yang memaksakan disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja di tengah kondisi masyarakat yang serba tak pasti. Sebaliknya, pihak pemerintah juga bisa menyalahkan masyarakat yang nekat melakukan demonstrasi di tengah pandemi.

Lebih lanjut, pada saat angka kasus penularan corona dan kematian semakin tinggi, bisa-bisa pemerintah provinsi akan kembali menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara ketat. Akibatnya, perekonomian bisa kembali terganggu. Semua terasa tak ada habisnya, seperti lingkaran setan.

Terjadi di Berbagai Negara
Tidak hanya di Indonesia, gelombang protes warga terhadap pemerintah juga terjadi di berbagai negara di masa pandemi ini.

Aksi demo yang sempat menggemparkan dunia adalah aksi protes di Amerika Serikat atas kematian George Floyd, seorang warga berkulit hitam yang menjadi korban kekerasan aparat kepolisian pada Juni 2020 lalu. Aksi menuntut keadilan pada ras kulit hitam itu kemudian menyebar ke negara-negara lain di benua Eropa, Afrika, hingga di Asia, tak terkecuali Indonesia yang juga menuntut keadilan bagi warga Papua.

Kasus lain, pada Agustur 2020 lalu ribuan warga di Jerman melakukan demonstrasi memprotes protokol kesehatan dan pembatasan sosial (lockdown) yang diterapkan di negara tersebut. Bagi mereka, aturan wajib memakai masker sudah melanggar hak dan kebebasan mereka. Hampir setiap orang yang melakukan unjuk rasa tersebut tidak memakai masker.

Beralih ke Spanyol, aksi protes dilakukan masyarakat kelas menengah ke bawah yang menilai ada unsur diskriminasi dari pemerintah ketika menerapkan aturan protokol kesehatan, yaitu dengan membuat aturan lebih ketat di distrik mereka ketimbang di distrik yang dihuni orang-orang kaya di Madrid.

“Risiko penularannya sama, mereka sedang melakukan diskriminasi,” kata Begona Ramos (56), seorang warga yang ikut aksi protes, dilansir dari Washington Post (1/10).

“Sangat tidak logis bahwa Anda bisa berpergian dan melakukan banyak hal di area yang lebih kaya, tapi Anda tidak bisa melakukan hal yang sama di Vallecas (distrik menengah ke bawah)”, lanjutnya.

Lebih lanjut, demonstrasi besar-besaran juga terjadi di sejumlah negara di Asia. Di Thailand, misalnya, pada Juli 2020 lalu ribuan demonstran memadati jalan untuk mengkritik pemerintah. Massa menuntut adanya amandemen undang-undang militer, pemilihan parlemen baru, dan penghentian berbagai undang-undang yang dinilai terlalu represif.

Sementara itu, aksi protes di Hong Kong juga masih terus terjadi di tengah pandemi. Pada pertengahan Mei 2020, ribuan pengunjuk rasa memenuhi beberapa wilayah tersibuk di Hong Kong. Massa terlihat bernyanyi, berteriak, dan mendirikan penghalang jalan dari batu bata dan puing-puing bangunan ketika polisi sudah berulang kali menembakkan gas air mata, semprotan merica, dan meriam air. Aksi itu merupakan yang pertama sejak China mengumumkan rencana untuk memperketat kontrolnya atas Hong Kong melalui undang-undang keamanan.

Protokol Kesehatan, Senjata yang Tersisa
Mungkin kata-kata “protokol kesehatan” memang semakin membosankan untuk didengar oleh sebagian orang. Akan tetapi, itu adalah satu-satunya senjata kita untuk setidaknya meminimalisasi risiko terjangkit virus covid-19.

Memang akan sangat sulit untuk menerapkannya ketika sedang melakukan demonstrasi. Mengingat kegiatan tersebut merupakan momen orang akan berkumpul, tidak menjaga jarak, dan lebih sering berteriak untuk mengemukakan kritik. Risiko penularan covid-19 di tengah unjuk rasa juga semakin besar mengingat begitu banyak orang datang dari berbagai tempat berbeda.

Meskipun demikian, bukan tidak mungkin bagi kita untuk melakukan aksi unjuk rasa dengan tetap memperhatikan kesehatan diri sendiri dan orang lain. Ingat, yang berisiko tertular bukan hanya para demonstran, tetapi juga kerabat, sanak saudara, dan keluarga tempat mereka pulang setelah aksi.

Mengingat unjuk rasa di tengah pandemi ini terjadi di berbagai belahan dunia, media-media internasional juga banyak membahas tentang risiko penularan virus corona selama demonstrasi dan cara agar kita dapat tetap menjaga kesehatan selama aksi protes terus bergulir.

Thomas A. Russo, seorang profesor yang mengambil spesialisasi penyakit  menular, sekaligus kepala dari Jacobs School of Medicine and Biomedical Science, University at Buffalo, New York Amerika Serikat, mengemukakan sarannya agar orang-orang yang melakukan unjuk rasa tetap dapat mengurangi risiko tertular covid-19.

Sejumlah mahasiswa membawa poster saat demonstrasi menentang Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja di Kota Magelang, Jawa Tengah, Selasa (13/10/2020). Dalam tuntutannya mahasiswa meminta presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Perundang-undangan (Perppu) pembatalan UU Omnibus Law Cipta Kerja yang dianggap tidak berpihak kepada buruh. ANTARAFOTO/Anis Efizudin

Dilansir dari The Conversation (4/6), Russo hanya menekankan dua hal yang mungkin sudah sering kita dengar, yakni pakai masker dan pelindung mata.

Akan sangat sulit untuk menjaga jarak ketika berunjuk rasa. Namun, Russo mengatakan, sebisa mungkin, tetap jaga jarak dari banyak orang, meskipun pada dasarnya pergerakan massa dan arah angin tidak bisa dipastikan.

Ketika berada dalam kerumunan, kita akan membutuhkan banyak oksigen untuk bernapas. Saat laju pernapasan kita semakin meningkat, risiko masuknya partikel virus juga akan meningkat. Belum lagi ketika terjadi bentrokan. Kontak fisik antara peserta unjuk rasa dan aparat kepolisian pun tak terhindarkan. Kondisi tersebut kemudian menjadi lebih parah ketika polisi melemparkan gas air mata yang membuat orang yang menghirupnya menangis dan batuk-batuk.

Masker dan pelindung mata akan mengurangi risiko ini.

Russo juga mengingatkan para demonstran agar menjaga kebersihan tubuh ketika pulang ke rumah, tempat mereka akan bertemu keluarga. Penggunaan masker selama di rumah hingga tiga minggu setelahnya juga disarankan untuk memperkecil risiko penularan.

“Cara paling aman untuk melindungi orang-orang tercinta adalah dengan segera dan secara religius (disiplin) menggunakan masker selama tiga minggu setelah aksi protes, mengingat masa inkubasi dan jendela infeksi dari virus ini jika isolasi mandiri bukan menjadi sebuah pilihan,” jelas Russo.

Dr George Benjamin, seorang dokter dan direktur eksekutif dari American Public Health Association juga mengingatkan betapa pentingnya penerapan protokol kesehatan di tengah gelombang aksi protes.

“Pergilah menuju kerumunan yang lebih kecil, pakai masker, bawa pembersih tangan (hand sanitizer) bersamamu. Hindari berjabat tangan dan memberikan tos (high five) dengan temanmu, tetap jaga jarak fisik. Batasi waktumu di luar sana. Sudah jelas, jika kamu memiliki gejala covid-19, jangan pergi keluar,” kata Dr Benjamin dilansir dari The Guardian (4/7).

“Terlibat secara daring (online) di ruang obrolan dan melakukan protes secara virtual tentu saja lebih kecil risikonya dibandingkan berjalan di jalanan. Tetapi aksi protes adalah sesuatu yang bagi banyak orang adalah suatu keharusan, dan kami, The American Public Health Association, mendukung hak mereka untuk melakukan itu,” jelasnya lagi.

Penulis menyadari dan mengerti terdapat berbagai motif yang mendasari seseorang melakukan aksi unjuk rasa. Mayoritas adalah untuk menuntut keadilan dan peduli nasib sesama. Akan tetapi, akankah kita biarkan ego dan emosi menguasai, serta mengorbankan diri sendiri, keluarga, dan lingkungan, mengingat pandemi belum berakhir?

Bila memang harus melakukan aksi protes di lapangan, memakai masker dan pelindung wajah bukanlah suatu pilihan buruk. Pandemi ini nyata, virus corona ada di luar sana, begitu juga dengan virus-virus dan bakteri mematikan lainnya. Pada masa yang rentan ini, siapakah yang dapat menjamin bahwa kita 100% aman dari serangan virus-virus itu?

*) Peneliti Visi Teliti Saksama

  • Share:

Baca Juga

Kultura

Mandalika, Surganya Pantai di Indonesia Timur

  • 18 Januari 2021 , 13:35
Nasional

Menelisik Tren Mobil Listrik

  • 18 Januari 2021 , 13:00
Ekonomi

Panen Protein Dari Ikan Sendiri

  • 14 Januari 2021 , 13:05

Tulis Komentar

Lupa Password?

ATAU

MASUK DENGAN

Facebook
Google+
Belum memiliki Akun? Daftar Sekarang

Belum ada komentar.

Vista

Beton Pertahanan Kesebelasan Indonesia


  • Terbaru

Investigasi Efektivitas dan Efisiensi Produksi Pupuk Perlu Dilakukan
18 Januari 2021 , 21:00

Subsidi yang dijalankan tanpa kejelasan data malah akan menyuburkan praktik rente di lapangan

Buah-buahan Yang Bantu Atasi Sembelit
18 Januari 2021 , 21:00

Tetap jaga pola makan sehat dan berserat serta perbanyak minum airĀ 

Bertabur Teman Baru Di Tengah Pandemi
18 Januari 2021 , 21:00

Pembatasan selama pandemi ini rentan memunculkan perasaan keterisolasian

Bertabur Teman Baru Di Tengah Pandemi
18 Januari 2021 , 21:00

Pembatasan selama pandemi ini rentan memunculkan perasaan keterisolasian

Mencari Pengganti Kedelai
16 Januari 2021 , 18:00

Protein nabati pada kedelai paling lengkap. Rasanya membuat sulit tergantikan

Makanan Beku Untuk Kondisi Tak Menentu
15 Januari 2021 , 21:00

Sekitar 60% orang Indonesia lebih banyak ngemil selama pandemi dibandingkan sebelumnya

Upaya Semesta Meredam Kekerdilan
14 Januari 2021 , 21:00

Ibu hamil yang kemungkinan melahirkan anak stunting harus mendapatkan pengawasan ketat

Mendamba Tempe Selalu Di Meja
12 Januari 2021 , 21:00

Kisruh naiknya harga kedelai berulang terjadi. Selama enam tahun terakhir ini kenaikannya pesat

Simalakama Wasit Sepak Bola
11 Januari 2021 , 17:56

Untuk dapat pemasukan, kerja serabutan diandalkan. Perhatian stakeholder utama tak terasa

Dilema Bansos Tunai
09 Januari 2021 , 18:00

Selain tak tepat sasaran, budaya konsumtif penerima juga menjadi masalah

  • Fokus
  • Paradigma

Menelisik Tren Mobil Listrik
18 Januari 2021 , 13:00

Mobil listrik mulai dilirik. Namun baru sebagian kelompok yang mampu menjamahnya. Selain faktor harga, ketersediaan fasilitas pendukung teknologi ini juga jadi pertimbangan calon konsumennya.

Krisis Repetitif Kedelai
15 Januari 2021 , 16:00

Tingkat konsumsi kedelai masyarakat Indonesia mengalami rata-rata pertumbuhan sebesar 7,97 kg/kapita/tahun

GAYA HIDUP

Panen Protein Dari Ikan Sendiri
14 Januari 2021 , 13:05

Harga tahu dan tempe tak lagi murah sejak kedelai melangka. Ikan sebagai sumber panganan dengan kandungan protein tinggi jadi alternatif strategis.

PSBB Total, MRT Lakukan Penyesuaian Operasional
14 September 2020 , 10:47

Ada pembatasan jumlah penumpang menjadi 62 -67 orang dalam satu kereta

BERSAMA BIJAK TANGGAPI BENCANA

Urgensi Ketegasan Dalam Penanganan Covid-19 di Indonesia
27 Maret 2020 , 20:00

Ada indikasi bahwa pemerintah seolah gamang, dalam mengambil tindakan tegas untuk penanganan Covid-19

MENYESAP BAHAGIA DENGAN BERDERMA

Tren Filantropi dan Potensi Kebaikan Hati
03 Februari 2020 , 18:19

Tren Filantropi dan Potensi Kebaikan Hati

 
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Disclaimer & Privacy Policy
  • Kontak
© Copyright validnews.co. All rights reserved.