- Nasional
MENGALAP BERKAH INDUSTRI SYARIAH
PERKEMBANGAN EKONOMI SYARIAH DI INDONESIA
30 April 2019 , 18:14

Oleh: Mohammad Widyar Rahman, MSi*
Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia memiliki potensi besar untuk mengembangkan sektor industri halal. Pasar industri halal di Indonesia, khususnya sektor makanan halal, travel, fashion, dan obat-obatan serta kosmetik halal telah mencapai sekitar 11% dari pasar global pada 2016.
Seiring dengan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya konsumsi di sektor industri halal. Kesadaran ini bukan hanya didorong oleh keyakinan, melainkan karena memang kualitas produk halal semakin baik. Di sisi lain, meningkatnya permintaan konsumen pada produk halal ini mendorong kenaikan investasi dan perdagangan pada sektor ini baik lokal maupun global. Tentu saja besarnya potensi Indonesia di sektor industri halal ini dapat mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Dalam skala global dengan nilai ekonomi sebesar US$2,1 triliun, Indonesia berkontribusi sebesar 10% dari nilai ekonomi secara global atau setara US$214 milyar pada 2017. Nilai ini juga merupakan yang terbesar dibandingkan dengan negara-negara seperti Turki, Pakistan, dan Mesir. Sayangnya, hanya sekitar 3,8% yang terkait dengan ekspor.
Perkembangan Ekonomi Syariah
Dalam perkembangannya, ekonomi neoklasik justru dianggap menjauhkannya dari ilmu ekonomi sendiri. Ekonomi yang dibedakan menjadi ekonomi positif dan normatif justru semakin menjauhkan ilmu ekonomi dari moralitas karena, dalam kenyataannya, ilmu ekonomi lebih fokus pada ekonomi positif. Di sisi lain, ekonomi normatif diserahkan kepada ilmu lain dalam perkembangannya pada era global ini untuk lebih memerhatikan etika dalam aktivitas ekonomi.
Lahirnya ekonomi syariah yang bisa menawarkan sebuah sistem yang dapat membangun perekonomian lebih beradab karena menawarkan sisi moral yang selama ini cenderung terabaikan dalam analisis ekonomi dan sering kali menyebabkan terjadinya gejolak ekonomi. Selain persoalan moralitas, ekonomi syariah menitikberatkan pada persoalan fungsi uang yang hanya bermotif transaksi dan motif berjaga-jaga tanpa adanya motif spekulasi.
Konsep ekonomi ini melarang memperdagangkan uang karena dapat menyebabkan fungsi untuk bertransaksi berjalan tidak baik. Kondisi tersebut menyebabkan sektor moneter tidak selalu menggambarkan kondisi ekonomi riil dan perekonomian secara keseluruhan dapat diguncang.
Sejak tahun 1960-an, telah banyak negara yang menerapkan ekonomi syariah. Negara-negara yang turut memakai sistem ekonomi Islam dalam pengoperasian usaha perbankan tersebut di antaranya Malaysia, Indonesia, Singapura, Arab Saudi, Mesir, Sudan, Pakistan, Inggris, dan Jerman. Bahkan, dalam perkembangannya hingga saat ini, berdasarkan Islamic Finanace Development Report 2018 dari Thomson Reuters, total aset perbankan syariah global pada 2017 mencapai US$1,77 triliun, dengan pasar global perbankan syariah didominasi oleh Iran, Saudi Arabia, Malaysia, Uni Emirat Arab, dan Qatar.
Sistem ekonomi syariah di Indonesia mulai muncul pada 1960. Saat itu, pengharaman riba (bunga) menjadi isu yang banyak didiskusikan di kalangan masyarakat muslim. Ada dua pandangan utama mengenai riba. Pertama, interpretasi riba seperti yang terdapat dalam fikih (hukum Islam) sebagai interpretasi yang tepat dan harus diikuti. Dalam hal ini, fikih menggunakan prinsip bahwa setiap tambahan yang ditetapkan dalam suatu transaksi pinjaman melebihi dan di atas pokok pinjaman adalah riba. Kedua, pengharaman riba dipahami dalam kaitannya dengan eksploitasi atas adanya jurang pemisah di masyarakat yang berbeda golongan ekonominya.
Pada 1990, muncul prakarsa pendirian bank Islam di Indonesia. Majelis Ulama Indonesia (MUI) membentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia. Pada tanggal 18–20 Agustus 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat.
Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22–25 Agustus 1990 yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja yang disebut Tim Perbankan MUI ini bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait.
Hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya bank syariah pertama di Indonesia, yaitu PT Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang, sesuai akta pendiriannya, berdiri pada 1 November 1991. Kemudian, sejak 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp106.126.382.000.
Hal tersebut menjadi langkah awal perkembangan ekonomi syariah di Indonesia, apalagi setelah adanya amendemen Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang memberikan landasan operasi yang jelas terhadap perbankan syariah.
Perubahan undang-undang tersebut menegaskan keberadaan bank syariah di Indonesia dan memperkenankan bank konvensional memiliki unit yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah (unit usaha syariah atau UUS). Sejak pemberlakuan undang-undang tersebut, kini perbankan syariah di Indonesia berubah dari dual banking system menjadi dual system bank.
Peluang ini disambut baik di sektor perbankan, ditandai dengan berdirinya beberapa Bank Islam lain, yakni Bank IFI, Bank Syariah Mandiri, Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar, dan BPD Aceh.
Menurut Sofyan (2016), pembangunan sektor keuangan pada dasarnya memang diharapkan mampu membawa perubahan positif bagi perekonomian nasional. Oleh karena itu, eksistensi lembaga keuangan, khususnya sektor perbankan, menempati posisi sangat strategis dalam menjembatani kebutuhan modal kerja dan investasi di sektor riil dengan pemilik dana (agent of economic development).
Arah pengembangan perbankan syariah di Indonesia diarahkan kepada mobilisasi dana masyarakat untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan di sektor-sektor perekonomian nasional. Pengembangan perbankan syariah diarahkan untuk memberikan kemaslahatan terbesar bagi masyarakat dan berkontribusi secara optimal bagi perekonomian nasional.
Hingga saat ini, perkembangan perbankan syariah menunjukkan perubahan yang signifikan. Hal ini ditandai dengan berdirinya Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), dan Bank Perkreditan Syariah (BPRS) di seluruh Indonesia.
Berdasarkan data Statistik Perbankan Syariah 2018, persebaran jumlah BUS sebanyak 478 Kantor Pusat Operasional (KPO), 1199 Kantor Cabang (KC), dan 198 Kantor Kas (KK). Sementara itu, persebaran jumlah UUS sebanyak 153 Kantor Pusat Operasional (KPO), 146 Kantor Cabang (KC), 55 Kantor Kas (KK).
Kemudian, di sisi lain, pasar modal syariah pun sudah diluncurkan pada 14 Maret 2003 dengan memperkenalkan kepada masyarakat sejumlah instrumen syariah di pasar modal, misalnya saham syariah, obligasi syariah, dan reksa dana syariah.
Pasar modal syariah merupakan komponen penting dalam industri keuangan syariah. Dalam pasar modal syariah, apabila suatu perusahaan ingin mendapatkan pembiayaan melalui penerbitan surat berharga, perusahaan yang bersangkutan sebelumnya harus memenuhi kriteria efek syariah sehingga dapat dipahami bahwa kegiatan di pasar modal mengacu pada hukum syariah yang berlaku.
Dalam perkembangannya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan Daftar Efek Syariah (DES) yang memuat saham yang memenuhi kriteria sebagai saham syariah. DES pertama kali diterbitkan pada 2007 sebagai implementasi dari Peraturan Nomor II.K.1 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah.
Selanjutnya, DES dimutakhirkan secara periodik dua kali dalam setahun, yaitu pada akhir Mei dan akhir November. Selain itu, juga diterbitkan DES insidental atas saham emiten yang telah mendapatkan efektif atas pernyataan pendaftarannya dan memenuhi kriteria sebagai saham syariah.
Peluang dan Tantangan Ekonomi Syariah
Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia merupakan pasar potensial bagi hasil industri. Perkembangan industri halal yang semakin pesat tidak hanya pada sektor pangan saja, tetapi juga di sektor-sektor lainnya, seperti keuangan syariah, turisme, fashion, farmasi, dan kosmetik.
Berdasarkan Global Islamic Economy 2018, Indonesia berada di posisi 10, mengacu kepada sektor-sektor tersebut, sedangkan posisi teratas diduduki oleh Malaysia. Di Indonesia, sektor fashion menduduki posisi tertinggi, yaitu di peringkat 2 setelah Uni Emirat Arab.
Malaysia telah lama mengambil langkah-langkah penting untuk membangun ekosistem ekonomi Islam terdepan di dunia. Ekonomi syariah di Malaysia dibangun dengan standar halal yang kuat dan komprehensif serta didukung oleh ekosistem luas yang mencakup zona bebas halal dan produsen produk halal yang berkembang dengan baik. Selain itu, industri keuangan Islam dan ekosistem investor yang kuat, meliputi ekuitas swasta, modal ventura, dan dana kekayaan negara pun menjadi fondasi kuat bagi industri syariah di Maaysia (Thomson Reuters – Dinar Standard, 2018).
Tantangan perkembangan ini juga tidak hanya datang dari negara-negara lainnya di Asia Tenggara, seperti Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam. Secara global, perkembangan industri halal juga dilakukan oleh negara-negara yang pada dasarnya bukan negara muslim, seperti Prancis, Inggris, dan Jepang. Inggris, misalnya, telah menetapkan negaranya sebagai pusat keuangan syariah. Inggris memiliki lima bank yang sepenuhnya syariah yang dilisensikan dengan aset perbankan sekitar US$4,7 miliar. Beberapa di antaranya menawarkan pembiayaan awal untuk UKM (republika.co.id, 28 April 2019).
Saat ini, tantangan perkembangan syariah di Indonesia berdasarkan survei OJK 2016 di antaranya adalah tingkat literasi keuangan syariah (8,11%) dan inklusi keuangan syariah (11,06%). Dengan kata lain, masih banyak masyarakat yang tidak dapat memanfaatkan produk dan jasa keuangan dengan terampil. Tidak adanya wawasan dan keyakinan terhadap lembaga jasa keuangan serta produk dan jasa keuangan juga menjadi kendala saat ini.
Melihat hal tersebut, tak heran jika pertumbuhan keuangan syariah yang belum dapat mengimbangi pertumbuhan keuangan konvensional. Hal ini dapat dilihat dari pangsa pasar (market share) keuangan syariah yang secara keseluruhan masih di bawah 5%.
Selain itu, memang pengembangan ekonomi syariah di Indonesia lebih bersifat market driven dan dorongan botton up dalam memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga pengembangan ekonomi syariah di Indonesia lebih bertumpu kepada sektor riil. Hal ini merupakan suatu kelebihan tersendiri bagi lembaga keuangan syariah di Indonesia (Hidayat, 2018).
Sayangnya, interaksi sektor riil dengan keuangan syariah dinilai masih kurang, padahal pengembangan sektor riil dapat berperan besar terhadap pertumbuhan ekonomi syariah. Pengembangan sektor riil ini dapat memberikan efek berganda terhadap sektor-sektor terkait lainnya.
Akhirnya, demi mengembangkan ekonomi syariah di Indonesia, seiring dengan pertumbuhan positif dalam beberapa tahun terakhir, diperlukan peran semua pihak dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
*) Peneliti Junior Visi Teliti Saksama
Referensi:
Otoritas Jasa Keuangan [OJK]. 2019. Statistik Perbankan Syariah 2018. Otoritas Jasa Keuangan.
Sofyan S. 2016. Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia. Bilancia, 10 (2): 91-112.
Thomson Reuters – Dinar Standard. 2018. State of the Global Islamic Economy Report 2018/19.
https://republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-ekonomi/pqo0dd440/industri-keuangan-syariah-inggris-makin-meningkat [diakses pada tanggal 29 April 2019]
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN