• Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Nasional

MEMBIDIK CUAN DARI TREN BERULANG

Museum Tak Melulu Soal Masa Lalu

Museum yang hanya berorientasi pada objek material koleksi akan sulit berkembang
28 Januari 2020 , 21:00
Sejumlah pelajar mengamati berbagai benda koleksi saat kegiatan belajar di Museum Negeri Sumut di Medan, Sumatera Utara, Rabu (22/1/2020). Kegiatan itu bertujuan untuk menumbuhkan minat berkunjung ke museum sebagai tempat belajar. ANTARAFOTO/Septianda Perdana
Sejumlah pelajar mengamati berbagai benda koleksi saat kegiatan belajar di Museum Negeri Sumut di Medan, Sumatera Utara, Rabu (22/1/2020). Kegiatan itu bertujuan untuk menumbuhkan minat berkunjung ke museum sebagai tempat belajar. ANTARAFOTO/Septianda Perdana

JAKARTA – Bukan hal mudah untuk membersihkan museum dari konotasi-konotasi ‘gelap’ yang selama ini hidup di benak sebagian masyarakat. Museum seringkali dikonotasikan dengan kekunoan, kebosanan. Bahkan, banyak yang mengartikan sekadar gudang barang antik. 

Ada juga masalah sumber daya manusia dan pelayanan dari sisi internal museum yang harus dibenahi. Sebut saja kualitas tata pamer, kompetensi melakukan kurasi, serta teknologi yang digunakan. Begitu pun ada persoalan masyarakat di luar museum yang harus diedukasi.

Kedua sisi masalah ini boleh jadi berkelindan dalam satu duduk perkara, yaitu orientasi museum.

Menurut Museolog Universitas Indonesia, Kresno Yulianto, masih sangat banyak museum di Indonesia yang menitikberatkan benda atau objek material koleksi belaka. Hal ini diperburuk dengan minimnya riset atas objek-objek koleksi itu. Jadi museum-museum ini hanya memiliki koleksi yang 'bertumpuk', tapi tidak bisa bercerita tentangnya. Yang ada hanya data, bukan informasi.

Ujungnya, mereka yang berkunjung ke museum seperti ini seolah hanya menumpang lewat masuk dari bagian depan dan berakhir di belakang museum. Tetapi tak satu pun cerita atau informasi yang nyangkut di kepala mereka.

“Karena dia pikir, ‘Ah enggak relevan dengan kebutuhan saya’. Makanya what the public needs itu mesti diriset. Jadi peran sosial museum itu belum kelihatanlah pokoknya,” kata Kresno kepada Validnews, Senin (27/1).

Museum yang hanya berorientasi pada objek material koleksi, diyakini Kresna, sulit berkembang. Sebab masyarakat kini akan memilih mengunjungi museum yang menjadikan keberadaan mereka sebagai orientasi dari museum tersebut. Artinya, kata Kresno, museum harus memahami apa yang dibutuhkan oleh publik.

Lalu, apa yang dibutuhkan publik? Ya, perlu pengetahuan yang berkesan, sehingga dapat diingat ketika mereka meninggalkan museum. Yang jadi masalah, masih banyak museum hanya menyajikan informasi fisik tanpa interpretasi atau cerita, seperti nama benda dan asal daerah atau tahunnya belaka.

“Banyak cerita di balik koleksi yang tersembunyi yang tidak disajikan, itu namanya hidden story. Padahal itu dibutuhkan masyarakat. Jadi intinya sepanjang masyarakat tidak memperoleh manfaat, ya museum tidak menjadi destinasi utama, tetap saja kalah sama mal,” ujarnya.

 

Tawarkan Pengetahuan
Dia mengatakan, museum harus menjadi inklusif untuk menjawab pertanyaan apa yang bisa diajarkannya kepada masyarakat. Dengan demikian, pengetahuan tentang masa lalu itu memiliki relevansi dengan dunia kekinian. Untuk itulah riset mutlak perlu dikerjakan.

Persoalan orientasi museum ini rupanya disadari oleh Museum Nasional. Kini mereka menata ulang tata pamernya. Tujuannya, agar pengunjung 'rindu' untuk kembali menyambangi Museum Nasional di tahun-tahun mendatang.

“Jadi kami bongkar semua yang lama, artinya terlalu lama dan terlalu jadul barangkali enggak menarik. Tetapi kami bongkar dengan ada konsepnya, jadi tidak asal bongkar. Ada konsep yang kami diskusikan dengan para ahli yang berlangsung sudah beberapa tahun lalu,” ucap Kepala Museum Nasional, Siswanto, kepada Validnews, Minggu (26/1).

Langkah mendesain ulang tata pamer disebut untuk mematahkan mitos-mitos yang selama ini menyelubungi museum dari citra sebenarnya: menyenangkan, penuh ilmu pengetahuan, dan mendorong kecintaan terhadap budaya.

Siswanto mengungkapkan, tata pamer yang baru ini akan menyajikan objek koleksi yang lebih sedikit, namun dengan informasi yang padat. Ini menegaskan fungsi museum yang memang bukan hanya memajang objek koleksi.

Dia mencontohkan. Ketika yang ditampilkan sepuluh buah keris dengan informasi yang sedikit, Siswanto yakin pengunjung tidak bisa mengingat satu per satu keris itu. Tetapi ketika yang ditampilkan hanya satu keris dengan informasi yang lengkap, mereka bisa membawa pulang ingatan dan pengetahuan baru. 

"Jadi secara terpilih koleksinya yang kami pamerkan, sehingga masyarakat atau pengunjung tidak enek melihat koleksi wah-wah-wah tapi enggak ingat. Sampai pulang ya mengertinya hanya banyak saja (koleksinya), tapi tidak bisa mengingat satu per satu apa sebetulnya pesan yang kami pamerkan," tegasnya.

Kini kualitas informasi dinilai lebih penting daripada kuantitas objek koleksi. Diharapkan pengunjung akan tertarik dan berpikir untuk pergi ke museum lainnya, karena ada pengetahuan bertambah.

Teknologi dan Komunitas
Pembenahan lain yang tak bisa dikesampingkan adalah teknologi penyampaian informasi objek koleksi. Ini menjadi penting lantaran hampir semua museum cenderung menargetkan generasi muda sebagai target pengunjungnya, khususnya anak usia jenjang sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA).

Di Museum Nasional, contohnya, beberapa objek sudah ditampilkan dalam bentuk digital, selain bentuk fisiknya. Ada pula objek-objek koleksi yang informasi lengkapnya bisa diperoleh dengan men-scan QR Code. Memang belum semua koleksi karena diakui bahwa digitalisasi merupakan salah satu upaya peningkatan layanan yang berbiaya mahal.

Inovasi lain yang dikembangkan berupa kunjungan virtual yang bisa diakses melalui situs resminya. Dalam fitur ini, siapapun dan di manapun bisa berkeliling ruangan di Museum Nasional. Modalnya hanya sambungan internet.

“Nanti kerja sama mungkin dengan Google untuk pemotretan resolusi tinggi. Mudah-mudahan terlaksana tahun ini. Misalnya, pada prasasti bisa dilihat lekukan-lekukan huruf di prasasti itu karena Google nanti yang memfasilitasi. Kami belum punya fasilitas itu,” bebernya.

Siswanto juga menekankan pentingnya peran komunitas, organisasi, atau asosiasi profesi di bidang kebudayaan dalam meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap museum.

Salah satu cara yang ditempuh Museum Nasional dalam beberapa tahun terakhir adalah dengan membuka ruang bagi mereka untuk mengadakan kegiatan. Artinya, museum diarahkan untuk jadi panggungnya para budayawan, bahkan desainer, atau mungkin juga perancang-perancang pakaian tradisional, batik, dan sebagainya.

“Yang ada hubungannya dengan kebudayaan Indonesia kami berikan tempat. Ini mau diskusi, mengadakan pameran, silakan,” kata Siswanto.

Soal peran komunitas ini disoroti pula oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Hilmar Farid, yang berbincang dengan Validnews, Senin (27/1). Dalam beberapa tahun terakhir, museum bersama komunitas menjalin kerja sama dalam membuat program-program edukasi bagi masyarakat. Bahkan, terkadang komunitas membantu dalam menyosialisasikan inovasi yang telah dilakukan museum. Oleh karena itu, dia mengaku yakin bahwa kemitraan semacam ini dapat pelan-pelan mengikis persepsi miring atas museum dalam masyarakat di tahun-tahun mendatang.

“Kemunculan komunitas-komunitas pecinta museum itu di mana-mana. Tentunya banyak dari mereka mengkritik juga, masih kurang ini masih kurang itu. Tetapi itulah yang mestinya dilakukan,” ucapnya.

Tata Kelola
Kemendikbud memproyeksikan museum-museum yang berada langsung di bawah pengelolaannya akan menjadi Badan Layanan Umum (BLU). Status ini akan membuat museum memiliki otonomi untuk mengatur manajemennya sendiri, sehingga diharapkan mereka akan lebih lincah dalam bekerja sama dengan berbagai pihak untuk peningkatan kualitas pelayanan.

Selama ini, Hilmar menjelaskan, museum di bawah Kemendikbud statusnya hanya sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang dikepalai pejabat eselon 3 dan 4. Akibatnya, pejabat museum tidak bisa merancang program atau kegiatan lebih leluasa, sebab secara struktural terikat dengan Kemendikbud.

“Kalau sekarang yang menjadi kepala museum itu praktis adalah pejabat dari kementerian. Ke depan kami akan bisa buka itu untuk orang dari non-kementerian, dari luar pemerintah, untuk menjadi direktur program, kurator, mengisi fungsi-fungsi yang memang sangat diperlukan di dalam dunia permuseuman,” ujar Hilmar.

Penggodokan status sebagai BLU direncanakan rampung tahun ini, setelah dibahas dengan Kementerian Keuangan. Meski akan memiliki otonomi, Hilmar menegaskan museum tersebut tetap akan diawasi Kemendikbud dalam program maupun kerja sama yang dijalankan.

Sementara untuk mendukung perkembangan museum-museum yang ada di daerah, Kemendikbud tetap memberi Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp1–1,7 miliar kepada masing-masing museum. Dana ini dikucurkan karena pemerintah daerah (pemda) kerap kali tidak memiliki anggaran yang cukup untuk mengelolanya.

Pembantuan kepada museum-museum di daerah juga dilakukan dengan sirkulasi koleksi. Strategi ini berupa koleksi dari satu museum, misalnya Museum Nasional, dapat dipamerkan di museum-museum daerah. Hilmar mengatakan kebijakan ini sebenarnya sudah dilakukan beberapa tahun terakhir, tetapi akan dioptimalkan ke depannya.

Langkah pertama optimalisasi sirkulasi koleksi adalah dengan membuat katalog lengkap seluruh koleksi nasional. Kemudian Kemendikbud akan 'menjahit' cerita-cerita tertentu dari semua koleksi itu. Sebab, ada cerita-cerita sejarah yang sebenarnya objek-objek koleksinya tersebar di berbagai daerah. Diyakini, ini bisa menolong museum yang tak banyak koleksinya. Juga, yang di daerah tak harus ke Jakarta.

Idealnya, kata Hilmar, setiap kabupaten/kota memiliki museum masing-masing, mengingat fungsi museum bukan sekadar tempat rekreasi atau pameran objek masa lalu. Melainkan terkait dengan identitas tiap daerah dengan sejarah atau cerita tersendiri.

Kebutuhan Museum Baru
Keprihatinan terhadap museum diungkapkan budayawan Radhar Panca Dahana. Ia berpendapat pemerintah selama ini hanya memperhatikan museum-museum yang sudah ada dan tidak aktif membangun museum baru. Padahal Indonesia memiliki banyak budaya maupun tokoh mendunia yang bisa menjadi bahan pembelajaran bagi masyarakat.

Sebut misalnya terkait kemaritiman, Radhar menyebut seharusnya ada banyak museum bahari di berbagai daerah karena Indonesia merupakan negara maritim. Setiap daerah boleh jadi memiliki sejarah dan ciri kemaritiman tersendiri.

“Kita sangat minim memperhatikan itu. Padahal itu sarana pembelajaran yang penting supaya kita mengenali diri kita dengan baik. Karena kita enggak mengenali diri kita dengan baik, kita spekulasi,” kata Radhar kepada Validnews, Senin (27/1).

Indonesia juga dipandang memiliki banyak tokoh yang mendunia, di mana rumah atau tempat peristirahatannya bisa dijadikan museum. Namun, kata Radhar, pemerintah cenderung hanya memperhatikan tokoh-tokoh militer dan politik. Sementara ada banyak tokoh sosial, pendidik, budayawan, maupun seniman yang sangat pantas diabadikan dalam sebuah museum.

“Rumahnya Pramoedya Ananta Toer, itu bisa menjadi museum yang orang-orang pasti akan suka datang ke sana. Jadi objek wisata, objek pendidikan bagi generasi-generasi berikutnya,” tuturnya.

Tema lain bisa berupa museum bertema makanan khas. Contohnya, museum gudeg didirikan di Yogyakarta dan museum tongseng atau sate klatak di Solo. Menurut Radhar, ada banyak orang yang berminat untuk mengetahui riwayat makanan tersebut, baik dari segi bahan-bahan masakan sampai teknologi pembuatannya.

Dengan demikian, sebenarnya bisa ada lebih banyak museum di Indonesia. Belanda dengan luas wilayah sedikit lebih kecil daripada Provinsi Jawa Timur saja punya sekitar 697 museum. Sementara, Indonesia berdasarkan Statistik Kebudayaan 2019 yang dirilis Kemendikbud hanya memiliki sekitar 400 museum.

Di kaca matanya, Indonesia sangat minim memperhatikan itu. Padahal, museum punya arti penting untuk melihat juga masa depan.  “Karena kita enggak mengenali diri kita dengan baik, kita berspekulasi. Mereka (pemerintah) itu enggak mengerti, enggak paham, betapa pentingnya museum itu sebagai proses pembudayaan,” tegasnya. (Wandha Nur Hidayat)

  • Share:

Baca Juga

Ekonomi

Emas Antam Melonjak, Emas Global Malah Jatuh

  • 13 Januari 2021 , 10:04
Kultura

Klobot, Pembungkus Tembakau di Masa Lalu

  • 12 Januari 2021 , 17:30
Nasional

Polisi Tangkap Pemalsu Hasil Tes PCR

  • 07 Januari 2021 , 18:36

Tulis Komentar

Lupa Password?

ATAU

MASUK DENGAN

Facebook
Google+
Belum memiliki Akun? Daftar Sekarang

Belum ada komentar.

Vista

Beton Pertahanan Kesebelasan Indonesia


  • Terbaru

Investigasi Efektivitas dan Efisiensi Produksi Pupuk Perlu Dilakukan
18 Januari 2021 , 21:00

Subsidi yang dijalankan tanpa kejelasan data malah akan menyuburkan praktik rente di lapangan

Buah-buahan Yang Bantu Atasi Sembelit
18 Januari 2021 , 21:00

Tetap jaga pola makan sehat dan berserat serta perbanyak minum airĀ 

Bertabur Teman Baru Di Tengah Pandemi
18 Januari 2021 , 21:00

Pembatasan selama pandemi ini rentan memunculkan perasaan keterisolasian

Bertabur Teman Baru Di Tengah Pandemi
18 Januari 2021 , 21:00

Pembatasan selama pandemi ini rentan memunculkan perasaan keterisolasian

Mencari Pengganti Kedelai
16 Januari 2021 , 18:00

Protein nabati pada kedelai paling lengkap. Rasanya membuat sulit tergantikan

Makanan Beku Untuk Kondisi Tak Menentu
15 Januari 2021 , 21:00

Sekitar 60% orang Indonesia lebih banyak ngemil selama pandemi dibandingkan sebelumnya

Upaya Semesta Meredam Kekerdilan
14 Januari 2021 , 21:00

Ibu hamil yang kemungkinan melahirkan anak stunting harus mendapatkan pengawasan ketat

Mendamba Tempe Selalu Di Meja
12 Januari 2021 , 21:00

Kisruh naiknya harga kedelai berulang terjadi. Selama enam tahun terakhir ini kenaikannya pesat

Simalakama Wasit Sepak Bola
11 Januari 2021 , 17:56

Untuk dapat pemasukan, kerja serabutan diandalkan. Perhatian stakeholder utama tak terasa

Dilema Bansos Tunai
09 Januari 2021 , 18:00

Selain tak tepat sasaran, budaya konsumtif penerima juga menjadi masalah

  • Fokus
  • Paradigma

Menelisik Tren Mobil Listrik
18 Januari 2021 , 13:00

Mobil listrik mulai dilirik. Namun baru sebagian kelompok yang mampu menjamahnya. Selain faktor harga, ketersediaan fasilitas pendukung teknologi ini juga jadi pertimbangan calon konsumennya.

Krisis Repetitif Kedelai
15 Januari 2021 , 16:00

Tingkat konsumsi kedelai masyarakat Indonesia mengalami rata-rata pertumbuhan sebesar 7,97 kg/kapita/tahun

GAYA HIDUP

Panen Protein Dari Ikan Sendiri
14 Januari 2021 , 13:05

Harga tahu dan tempe tak lagi murah sejak kedelai melangka. Ikan sebagai sumber panganan dengan kandungan protein tinggi jadi alternatif strategis.

PSBB Total, MRT Lakukan Penyesuaian Operasional
14 September 2020 , 10:47

Ada pembatasan jumlah penumpang menjadi 62 -67 orang dalam satu kereta

BERSAMA BIJAK TANGGAPI BENCANA

Urgensi Ketegasan Dalam Penanganan Covid-19 di Indonesia
27 Maret 2020 , 20:00

Ada indikasi bahwa pemerintah seolah gamang, dalam mengambil tindakan tegas untuk penanganan Covid-19

MENYESAP BAHAGIA DENGAN BERDERMA

Tren Filantropi dan Potensi Kebaikan Hati
03 Februari 2020 , 18:19

Tren Filantropi dan Potensi Kebaikan Hati

 
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Disclaimer & Privacy Policy
  • Kontak
© Copyright validnews.co. All rights reserved.