- Ekonomi
Izin BPR Calliste Bestari Dicabut karena Modal Minimum
13 Agustus 2019 , 16:38

DENPASAR – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhirnya mencabut izin usaha PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Calliste Bestari. Tidak mampunya perusahaan mengangkat modal minimum ke batas 8% yang diimbau otoritas menjadi penyebabnya.
Pencabutan izin usaha BPR Calliste Bestari ditetapkan dalam Keputusan Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor KEP-141/D.03/2019 tentang Pencabutan Izin Usaha PT Bank Perkreditan Rakyat Calliste Bestari. Di mana keputusan tersebut dirilis tanggal 13 Agustus 2019.
“OJK mengimbau kepada nasabah BPR agar tetap tenang karena dana masyarakat di perbankan termasuk BPR dijamin LPS sesuai ketentuan yang berlaku,” ujar Kepala Kantor OJK Regional 8 Bali dan Nusa Tenggara, Elyanus Pongsoda, seperti dilansir dari rilis resminya, Selasa (13/8).
Pencabutan izin usaha yang beralamat di Jalan Raya Denpasar–Tabanan No 7B ini tidak instan dilakukan. Sebelum dilakukan pencabutan izin usaha, OJK sudah menetapkan status BPR Calliste sebagai BPR Dalam Pengawasan Intensif (BDPI). Ini karena kinerja keuangan yang memburuk.
Penyebab BPR Calliste Bestari bermasalah karena ada praktik perbankan yang tidak sehat baik oleh pengurus maupun pemegang saham. Tak ayal, ini membuat kinerja keuangan BPR menjadi buruk. Khususnya terkait rasio kewajiban pemenuhan modal minimum (KPMM) yang tidak memenuhi standar paling sedikit 8%.
Penetapan BDPI tersebut sudah berlaku sejak tanggal 16 Mei 2018—16 Mei 2019. Dalam masa tersebut, pemegang saham dan pengurus diberikan kesempatan melakukan penyehatan.
Sayangnya, kinerja BPR justru semakin anjlok. Rasio kewajiban penyediaan modal minimum makin tergerus hingga berada di bawah 4% per 28 Februari 2019.
“Sehingga memenuhi ketentuan ditetapkan sebagai BPR Dalam Pengawasan Khusus (BDPK) terhitung sejak 29 Maret 2019 sampai 29 Juni 2019,” tegasnya.
Dalam masa pengawasan khusus, BPR Calliste Bestari pun tidak mampu memenuhi rasio kewajiban modal minimum 8% seperti yang ditetapkan OJK. Hal ini membuat perusahaan tidak lagi memenuhi kriteria BPR yang dapat disehatkan.
OJK pun meneruskan penanganannya kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangannya. Dengan pencabutan izin usaha BPR tersebut, LPS akan menjalankan fungsi penjaminan dan melakukan proses likuidasi sesuai Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009.
Dari awal tahun ini, OJK memang terus mendorong Bank Perkreditan Rakyat (BPR) memenuhi modal inti minimum sesuai dengan Peraturan OJK Nomor 5/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum. Deputi Direktur Manajemen Strategis dan Kemitraan Pemerintah Daerah Kantor OJK Regional 3 Jateng dan DIY, Dedy Patria mengatakan, pada aturan tersebut tertulis hingga batas waktu akhir 2019, setiap BPR wajib memenuhi modal inti Rp3 miliar. Selanjutnya hingga akhir tahun 2024, setiap BPR wajib memenuhi modal inti minimal Rp6 miliar.
Pada pendampingannya, OJK berupaya memenuhi beberapa syarat. Salah satunya pemenuhan modal BPR dengan memanfaatkan investor yang sudah ada maupun investor baru.
"Terakhir, jika tidak memungkinkan BPR untuk menambah modal inti, kami mendorong agar mereka melakukan merger," ucapnya seperti dilansir Antara.
Bagi BPR yang tidak dapat memenuhi aturan tersebut, akan ada beberapa konsekuensi yaitu mengalami penurunan tingkat kesehatan. Kondisi ini akan berdampak pada beberapa sanksi, di antaranya larangan membuka jaringan kantor dan larangan melakukan aktivitas penukaran mata uang asing. (Teodora Nirmala Fau)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN