- Ekonomi
MEMBACA POLAH DAN WAJAH DUNIA BELANJA
Minimarket Berkibar, Pesona Kelontong Tak Pudar
20 Desember 2018 , 19:42

JAKARTA – Bagaikan pusat perbelanjaan terbuka, tepi jalanan kota-kota besar kini telah menjadi wadah berbagai gerai kebutuhan sehari-hari. Mulai dari minimarket dengan berbagai brand sampai toko kelontong tenteram bersanding. Ibarat zonasi pusat perbelanjaan yang menawarkan barang kebutuhan sehari-hari, baik minimarket maupun toko kelontong memajang produk yang hampir sama untuk ditawarkan kepada para konsumennya.
Jejeran toko kelontong dan minimarket salah satunya terlihat di kawasan Hankam, Kelapa Dua, Depok. Dua minimarket dengan jaringan terbesar, Indomaret dan Alfamart, tampil gagah berhadapan. Beberapa motor yang terparkir di depan kedua minimarket tersebut menandakan ada beberapa pembeli di dalamnya.
Hanya berjarak sekitar 10 meter dari Alfamart, terdapat pula warung kelontong yang berisikan berbagai produk mirip dengan yang dijual di minimarket-minimarket. Tak kehilangan pesona, beberapa orang tampak sedang membeli di warung tersebut.
Salah satu pembeli di warung kelontong samping Alfamart tersebut bernama Kelly. Perempuan berusia 32 tahun tersebut didapati membeli beberapa kebutuhan rumah tangga, seperti gula dan minyak goreng. Terselip pula dua bungkus makanan ringan.
Kepada Validnews Kelly bercerita, ia memang terbiasa membeli beberapa barang kebutuhan sehari-hari di warung kelontong yang hanya berjarak sekitar 200 meter tersebut dari rumahnya. Hadirnya dua minimarket besar yang jaraknya sangat dekat dengan warung kelontong tersebut tak mengubah kebiasaan Kelly untuk berbelanja di warung yang masih tradisional tersebut.
“Sudah biasa saja sih. Harganya juga sama saja. Sudah kenal orangnya juga jadi ya enak saja belanja di dia. Aku ke Alfa atau Indomaret cuma tertentu saja kalau misalnya yang aku cari enggak ada di warung,” kisahnya di Minggu (16/12) kemarin.
Ia menyebutkan, beberapa produk yang kerap ia beli di minimarket rata-rata adalah kebutuhan kebersihan dan kecantikan. Pasalnya, memang warung kelontong langganannya tidak menyediakan merek yang biasa ia pakai. Namun. kalau sudah berbicara soal kebutuhan sehari-hari dapur—mulai dari gula, minyak goreng, sampai kopi bubuk—Kelly teguh mencarinya di warung kelontong.
Senada, Asti yang tinggal di Cijantung mengatakan lebih sering membelanjakan uangnya di warung kelontong dekat rumah dibandingkan mesti pergi ke minimarket. Maklum saja, jarak rumah dengan warung langganannya hanya berselang dua rumah.
Mulai dari beras sampai susu kental manis pun menjadi langganannya, ketika berbelanja di warung kelontong. Namun, untuk produk kebersihan dan kecantikan, barulah ia pergi ke minimarket.
“Kalau merek yang saya mau ada di warung mah enggak ke minimarket juga. Karena enggak ada jadinya belanja ke sana,” ucap perempuan yang bekerja sebagai apoteker ini kepada Validnews, Kamis (20/12).
Dari pernyataan Kelly maupun Asti, kebutuhan sehari-hari untuk keperluan dapur menjadi langganan mereka ketika berbelanja ke warung kelontong.
Menurut kajian yang dikeluarkan Nielsen, kopi bubuk sampai minyak goreng memang menjadi produk primadona yang dibeli konsumen apabila ke toko kebutuhan sehari-hari.
Kopi bubuk tercatat merajai sebagai produk yang paling dicari konsumen, apabila pergi ke toko kelontong maupun ke minimarket. Setidaknya dari total kedatangan konsumen, 50%-nya kerap memasukkan kopi bubuk dalam daftar belanjaannya.
Menyusul berbagai minuman kemasan, contohnya teh kemasan yang dibeli oleh 47% konsumen serta susu kemasan sebanyak 24%. Makanan ringan seperti biskuit pun menjadi incaran setidaknya 45% konsumen yang berbelanja.
Kurang Berpengaruh
Tersegmentasinya pembelian berbagai produk kebutuhan sehari-hari di warung tradisional maupun minimarket pada kenyataannya mengamankan omzet dari warung-warung kecil. Diungkapkan oleh Euis Kartika, pemilik salah satu warung kelontong yang ada di Cijantung, pendapatan warungnya dirasa tidak tergerus dengan hadirnya minimarket yang semakin banyak dan beragam. Pasalnya, model-model warung kecil seperti miliknya sudah memiliki pelanggan loyal.
“Sama saja pendapatannya. Enggak besar juga, tapi enggak turun-turun juga. Untungnya enggak sampai Rp5 juta juga sebulan,” ujarnya kepada Validnews, Kamis (20/12).
Pengaruh justru baru terasa bagi toko-toko kelontong besar yang berada berdekatan dengan minimarket seperti halnya toko yang dikelola Munzir Ibrahim di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur. Pengaruhnya pun tidak terlalu besar. Penyebab berkurangnya omzet dikarenakan beberapa pembeli yang membeli eceran tergoda oleh promo yang ditawarkan di minimarket.
“Biskuit kan di Alfamart banyak-banyak promo. Kalau bulan-bulan mau Lebaran itu turun (harganya.red). Kalau dulu saya di sini kan sampai ratusan karton kalau biskuit. Sekarang 50 karton aja enggak abis,” ungkap pria yang sudah membuka warungnya sejak tahun 2003 ini kepada Validnews, Kamis (20/12).
Pendapatan warungnya menjadi tertolong karena ia menjual berbagai produk dengan cara grosiran. Justru penjualan disebutkannya ini tidak terpengaruh adanya minimarket modern. Toh, nyatanya dengan hadirnya Alfamart semenjak 2 tahun silam, omzet warungnya tetap mencapai kisaran Rp700 juta per bulan.
Sedikit menurunnya omzet yang berujung pada menipisnya keuntungan warung tradisional pun tergambar dalam penelitian karya Sri Endang Rahaya dkk bertajuk “Studi Komparatif Perubahan Pendapatan Usaha Warung Tradisional Sebelum Dan Sesudah Adanya Warung Ritel Modern Di Kecamatan Medan Timur”. Dalam penelitian tersebut terungkap, penurunan keuntungan warung kelontong karena hadirnya minimarket berkisar 6,5%.
Penurunan ini membuat keuntungan pemilik warung rata-rata hanya Rp4,72 juta tiap bulan. Dari sebelumnya bisa mencapai Rp5,05 juta.
Sedikit menurunnya keuntungan kenyataan tidak membuat kejayaan warung kelontong memudar di nusantara. Hal ini terlihat dari proporsi jumlah warung kelontong yang tetap mendominasi gerai ritel di Indonesia.
Menurut riset yang dilakukan Nielsen, proporsi warung atau gerai ritel tradisional di Indonesia tetap mencapai 58,02% dalam 4 tahun terakhir dari total toko ritel kebutuhan sehari-hari. Sementara itu, proporsi minimarket pada periode yang sama hanya di kisaran 28,02%.
Penurunan proporsi pun nyatanya hanya tampak di tahun 2017 kemarin. Di mana proporsi warung tradisional terhadap total toko ritel kebutuhan sehari-hari menjadi 57,8%. Turun 0,3 poin dibandingkan proporsi di tahun 2016 sebesar 58,1%.
Di sisi lain, gerai minimarket memang cukup berkembang pesat pada tahun 2017 silam. Proporsinya sukses menyentuh 29,6%. Naik 1,1 poin dibandingkan proporsi di tahun 2016 sebesar 28,5%.
Namun, pertumbuhannya justru tidak terlalu berpengaruh pada gerai tradisional. Penurunan proporsi yang jauh lebih besar justru tampak di supermarket yang mengalami penurunan 0,8 poin menjadi 12,6% pada 2017. Dari yang tadinya 13,4% pada 2016.
Pilihan Spontan
Ekonom dari Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih membeberkan, sedikit turunnya pendapatan dari gerai ritel tradisional lebih disebabkan kecenderungan konsumen yang lebih senang mengambil sendiri barang belanjaan. Hal ini yang sulit diterapkan di warung-warung tradisional
“Perubahan preferensi masyarakat ini harus direspons oleh warung-warung. Kalau warung hanya sekadarnya, mereka tidak menjadi pilihan masyarakat. Ada kesenangan tersendiri melakukan itu,” ujarnya kepada Validnews, Senin (17/12).
Dengan model mengambil ini pulalah, penjualan di minimarket bisa terangkat. Banyaknya pilihan membuat konsumen yang datang ke minimarket kerap melakukan pembelian secara spontan.
“Misalnya, tujuannya beli sabun, sampai di Indomaret, ada snack lucu. Snack-nya diambil juga. Sementara kalau di warung, kalau kita butuh sabun ya hanya membeli sabun. Karena di warung kita tidak mendapatkan pilihan lain yang menarik,” tuturnya.
Mengutip data Nielsen, pembelian produk yang sifatnya impulsif memang lebih banyak dijumpai dalam transaksi di minimarket. Dari total transaksi yang terjadi di minimarket, sebanyak 35% pembelian dilakukan secara spontan. Sementara itu, jenis pembelian secara spontan ini di warung kelontong hanya 25% dari total transaksi.
Di warung tradisional, kebanyakan transaksi yang terjadi lebih mengarah kepada pembelian yang mendesak. Persentasenya mencapai 39% dari total pembelian.
Jarak yang lebih terjangkau dengan rumah, menurut Asti, yang membuatnya gemar berbelanja di warung kelontong. Apalagi untuk kebutuhan mendesak, dia bisa segera mendapatkan yang dia inginkan.
“Lagi masak kan kadang garam habis, tinggal beli,” ujarnya perempuan ini.
Kekeluargaan
Terbatasnya pilihan sehingga pembelian spontan di warung kelontong menjadi lebih sedikit dibandingkan di minimarket nyatanya tak bisa pula mengurangi minat masyarakat menyambangi tempat ritel tradisional ini. Apalagi di warung-warung tradisional, ada konsep “kekeluargaan” yang menjadi daya tarik utama bagi konsumen untuk terus melakukan pembelian di sana. Bagi Asti sendiri, daya tolak yang sulit ditolak guna berbelanja ke warung kelontong dikarenakan memungkinkannya skema mengutang dipakai dalam proses belanja.
“Boleh ngutang. Kalau di minimarket, kan enggak bisa. Terus kalau kurang bayar, bisa tetap diambil dulu. Nanti dipasin dari ngambil uang di rumah,” paparnya lagi.
Yang berpikir demikian bukanlah Asti seorang. Setidaknya dalam skripsi buatan Riska yang berjudul “Analisis Motivasi Belanja Konsumen Minimarket dan Warung Kelontong dalam Perspektif Islam” disebutkan, konsep kekeluargaan yang memungkinkan pembeli mengutang ataupun membayar kemudian menjadi motivasi konsumen terus berbelanja ke toko kelontong.
Masih dalam kajian yang ditulis Riska, konsep boleh mengutang ataupun membayar kemudian dapat terjadi dikarenakan antara pembeli dan pemilik warung sudah saling mengenal. Kedekatan warung dengan rumah konsumen yang menjadi alasannya. Hal inilah yang tidak ditemui di minimarket di mana pemilik gerai mengenal langsung konsumen.
Kemitraan
Kecilnya dampak buruk bagi keberlangsungan warung kelontong dengan hadirnya minimarket pun diamini oleh Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Dalam Negeri (Kemendag), Tjahya Widayanti. Alih-alih berujung negatif, ia justru melihat kehadiran ritel modern dapat memberikan dampak positif terhadap keberadaan warung-warung kecil.
Salah satunya lewat model kemitraan yang dikembangkan Kemendag dalam beberapa tahun terakhir.
“Kemitraan yang dilakukan, seperti pemilik warung dapat membeli barang di ritel modern dan menjual barang tersebut dengan harga di bawah harga di ritel modern,” rincinya kepada Validnews, Kamis (20/12).
Kemitraan ini pula diyakini Tjahya sudah diaplikasikan oleh hampir semua ritel modern, tidak terkecuali berbagai minimarket yang menjamur di nusantara. Indomaret dan Alfamaret sebagai pun telah menerapkan konsep kemitraan dengan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ini.
Corporate Affair Director Alfamart, Solihin mengakui, nasib warung-warung di sekitar pendirian gerai ritelnya selalu menjadi perhatian. Memberikan harga yang wajar bagi warung yang telah bermitra dengan pihaknya menjadi salah satu bentuk kepedulian agar warung kelontong dapat tetap bersaing harga ketika menjual produknya.
“Dengan membeli harga wajar dan mengambil keuntungan margin yang wajar secara harga, bisa bersaing dengan toko-toko ritel modern yang ada di sekitarnya. Itu kita lakukan semua,” tutur Solihin kepada Validnews, Rabu (19/12).
Tidak sampai di situ, berbagai pelatihan pun diberikan pihak Alfamart guna bisa ikut mengembangkan warung sekitar yang rata-rata kelasnya hanya usaha mikro. Sampai saat ini, setidaknya 480 ribu warung di seluruh Indonesia telah menjadi anggota kemitraan Alfamart yang kerap mendapat pelatihan lewat berbagai program.
“Itu untuk memberikan pelayanan kepada warung-warung itu, yang pertama untuk pelatihan dan pengelolaan usaha ritel. Kita lakukan kerja sama,” imbuhnya lagi.
Kemitraan yang hampir sama juga dilakukan Indomaret. Hanya saja, jenis minimarket yang telah memiliki 15.394 gerai per akhir Maret 2018 ini tidak terkhusus bekerja sama dengan warung kelontong. Indomaret lebih mengarahkan kerja samanya kepada pengusaha mikro dan kecil sekitar yang produknya berbeda dengan yang dijual di gerainya.
“Kita sediakan tempat untuk mereka berjualan. Yang sifatnya komplemen ke Indomaret, misalnya gorengan atau apa,” ungkap Director PT Indomarco Prismatama (Indomaret), Wiwiek Yusuf kepada Validnews, Rabu (19/20).
Pesona yang masih terus melekat di warung tradisional hingga kemitraan yang memungkinkan warung kelontong berkembang menjadi argumentasi tersendiri dari kecilnya pengaruh buruk keberadaan ritel modern bagi ritel tradisional. Sinergi ini pulalah yang membuat nilai penjualan ritel di Indonesia untuk jenis minimarket maupun warung kelontong terus bertumbuh positif.
Tergambar dalam data USDA Foreign Agricultural Service, rata-rata pertumbuhan nilai penjualan di minimarket dalam periode 2014—2017 mencapai 11,25% tiap tahunnya. Di mana pada 2017 kemarin, nilai penjualan di minimarket Nusantara sudah mencapai US$10,38 miliar dalam setahun.
Sementara itu untuk warung kelontong, pertumbuhannya memang lebih kecil. Rata-rata tiap tahun pertumbuhan penjualan gerai ritel tradisional ini hanya 3%. Namun, angka penjualannya berlipat-lipat lebih besar daripada yang terjadi di minimarket. Pada tahun 2017 saja, total penjualan warung kelontong di Indonesia mencapai US$90,48 miliar.
Perlu Polesan
Pertumbuhan warung kelontong boleh jadi memang tetap positif, meskipun diapit maraknya minimarket. Kemitraan yang ikut mendukung operasional warung-warung pun boleh jadi memang cukup membantu untuk terus meningkatkan ataupun sekadar mengamankan penjualan mereka.
Namun menurut Tjahya, pelaku usaha warung kelontong tetap mesti berbenah. Khususnya terkait penampakan gerai. Terkait hal ini pun, Kemendag sudah menyiapkan program khusus guna bedah warung dan bantuan sarana bagi warung dan kios. Pembenahan dirasa perlu dilakukan guna bisa tetap memukau konsumen.
“Berbenah baik dari sisi tampilan maupun cara pelayanan agar konsumen merasa puas,” tegas sang dirjen.
Lana pun menyetujui pembenahan konsep pelayanan dan ketersediaan ragam jenis produk yang dijual di warung kelontong. Namun ia mengingatkan, pemerintah pun mesti memberikan kemudahan bagi pelaku usaha untuk mendapatkan modal guna pembenahan tersebut.
“Perubahan itu membutuhkan modal. Mereka bisa diberikan bantuan permodalan, seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang bisa mereka manfaatkan untuk mengembangkan warung mereka,” tutur akademisi ini.
Pengamat persaingan usaha, Syarkawi Rauf memiliki pandangan berbeda terkait pembenahan warung kelontong ini. Alih-alih terus bertahan dengan konsep tradisionalnya, ia menyarankan warung-warung kelontong saling bersinergi membentuk koperasi. Dengan demikian, mereka bisa bersama-sama membangun ritel modern yang sekelas minimarket.
“Misalnya dalam satu jalan di situ ada 10 toko kelontong. Nah, 10 itu kan bisa bekerja sama membangun pasar toko modern kayak Alfamart atau Indomaret,” tukasnya kepada Validnews, Rabu (19/12).
Dengan demikian, ia meyakini toko modern tersebut dapat memberikan benefit lebih dibandingkan hanya mengandalkan keuntungan dari warung kelontong yang dikelola secara individual.
Upaya terus memoles dan mengembangkan warung kelontong di tengah himpitan ramainya minimarket memang perlu dilakukan. Pasalnya meskipun saat ini masih bisa terus bertumbuh positif, rata-rata warung kelontong hanya berkategori mikro. (Teodora Nirmala Fau, Zsazya Senorita, Monica Balqis, Shanies Tri Pinasti, Sanya Dinda, Bernadette Aderi)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN