- Megapolitan
Mimpi Swasembada di Ibu Kota
26 November 2020 , 20:04

JAKARTA – Meski titik air hujan turun, Rabu (25/11) sore, Ahmad Zaini tetap bergerak perlahan di area sawahnya yang terletak di Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara. Mengenakan sepatu bot dan jas hujan ditambah caping, dia masuk ke dalam petakan sawah. Kedua kaki berada di sela-sela tanaman padi.
Di usia 60, tubuh renta Ahmad Zaini masih berkelindan dengan tanaman liar yang ada di sekitar padi. Sampah plastik makanan ringan dipungutnya dan diletakkan di pinggir petak sawah yang dia garap.
Sawah seluas 3.000 meter persegi (m2) selesai dia bersihkan. Sesaat, dia berjalan ke pondok untuk beristirahat sejenak sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya itu.
Saat beristirahat, kepada Validnews Zaini bercerita. Sekitar tahun 1982, Jakarta Utara memiliki lahan persawahan yang luas. Kala itu, belum ada pembangunan rumah tinggal di sana. Saat itu, ia mulai bercocok tanam.
Namun waktu yang berjalan, lahan-lahan pertanian mulai berkurang. Penyebabnya, Zaini dan petani lainnya menjual lahan milik mereka ke perusahan atau pun pengembang. Himpitan perekonomian menjadi alasan mereka.
Sawah yang dia garap bukan lagi miliknya. Namun, sudah menjadi milik pengembang, Nusa Kirana Group.
“Puncaknya pada 2005 hingga 2010. Waktu itu, banyak rumah tinggal dibangun. Lahan pertanian kembali menjadi sempit,” kata Zaini, saat berbincang dengan Validnews, Rabu (25/11).
Sekarang, lahan pertanian hanya tinggal sekitar 13.000 m2 saja, termasuk yang digarap Zaini.
Zaini menuturkan, hasil panen padi di kawasan DKI Jakarta sejatinya bisa mencukupi kebutuhan pangan warga ibu kota. Namun saat itu, lahan masih banyak. Kini, hasil panen padi terus menyusut dari tahun ke tahun karena lahan mulai terus berkurang.
Dia mengungkapkan, hasil tanaman padi dalam bentuk gabah kering yang diperolehnya dan para rekan-rekan petani di sana hanya beberapa ratus kuintal saja. Itu pun, belum menjadi bentuk beras. Sebab, gabah kering itu akan dibawa tengkulak untuk diolah menjadi beras di Cianjur, Jawa Barat.
Hasil panen para petani di Jakarta selalu dibawa ke luar daerah untuk diolah. Kemudian dikirim kembali ke ibu kota.
“Artinya, saat panen, sudah banyak ‘calo’ yang nunggu bawa padi. Harga jualnya pun sedikit. Sekarang gabah kering hanya Rp330 ribu per kuintal. Hasilnya, dipotong sewa sawah per panen Rp500 ribu. Terus, modal bibit, pupuk, dan lainnya,” kata Zaini.
Sabeni (55), petani sayur di kawasan itu pun menceritakan hal yang sama. Dulu, sayur-mayur yang dijual para pedagang di pasaran berasal dari kawasan Jakarta Utara. Namun, saat ini, tak banyak sayur yang dihasilkan petani di sana.
Saat musim hujan, kata Sabeni, dia hanya menanam sayur jenis kangkung air. Tanaman sayur ini menguntungkan saat ditanam pada musim hujan. Sebab, debit airnya tergolong stabil. Bila musim kering tiba, dia mengganti tanaman yang ditanamnya di petakan sawah kecil di sana.
“Kalau harga jualnya tidak banyak. Hanya sedikit untung. Lihat saja, harga jual di pasaran juga jatuh,” kata Sabeni.
Milik Swasta
Cerita Ahmad dan Sabeni soal susutnya lahan pertanian di ibu kota diamini Pelaksana Tugas (Plt) Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Perikanan (DKPKP) DKI Jakarta Suharini Eliawati. Dia mengatakan, luas lahan pertanian di ibu kota kini hanya mencapai angka 414 hektare (ha).
Dari ratusan lahan itu, hanya sekitar 4,7 ha saja yang dimiliki oleh Pemerintah DKI Jakarta. Lahan ini disebut sawah abadi yang terletak di dua wilayah. Di Cakung Timur ada seluas tiga ha dan Ujung Menteng seluas 1,7 ha. Sisanya, merupakan milik pengembang yang belum digunakan. Jadi, lahan itu bisa saja menghilang sesuai dengan konsep yang dimiliki para pengembang.
Untuk memfungsikan lahan milik pemerintah, meminta bantuan para petani setempat. Mereka diminta mengolah lahan dan tak asal garap. Tujuannya agar hasil panen bagus dan pengetahuan penggarap pun bertambah. Dinas KPKP juga memberikan sejumlah sarana yang dibutuhkan untuk bercocok tanam kepada para petani di sana.
Bahkan, lanjut Suharini, petani penggarap menerima pengetahuan mengenai varian baru yang muncul di dunia pertanian. Materi ini juga sampai memikirkan apakah varian tersebut layak untuk ditanam lahan milik Pemprov DKI Jakarta itu.
“Untuk saat ini, kami memang sesuai arahan Kementerian Pertanian, DKI dengan luas lahan yang terbatas harusnya menanam varian padi yang fungsional,” kata Suharini, kepada Validnews, Selasa (24/11).
Hal lain yang dibahas adalah prioritas untuk padi yang memiliki daya jual tinggi atau tidak. Misalnya, menghasilkan beras merah atau pun beras hitam. Artinya, pemerintah dan pengelola sama memikirkan, bagaimana nilai hasil panen di sawah terbatas bisa bersaing dengan wilayah lainnya di luar ibu kota.
Suharini menyebutkan, Pemerintah DKI Jakarta tak memberikan upah atau gaji kepada masyarakat yang membantu mengelola lahan itu. Sebab, pemerintah setempat memberikan hasil panen itu kepada masyarakat untuk diolah menjadi beras dan dijual ke pasar.
“Tapi ada bagian kami yang mengelola, itu namanya UPT Pusat Pengembangan Benih. Jadi, ada sebagian yang dikembalikan ke kami untuk dikembangkan,” kata Suharini.
Nah, UPT Pusat Pengembangan Benih itu bertujuan untuk mengembankan benih padi. Kemudian, kembali membagi benih baru ke masyarakat yang mengolah lahan seluas 414 ha tersebut.
Meski memiliki hasil pertanian sendiri, Suharini mengatakan, sebanyak 95% beras ataupun sayuran di ibu kota bergantung dari wilayah lainnya.
Agar pasokan pangan di ibu kota, Pemerintah DKI menyerahkan pada Perusahaan Daerah (Perusda) Dharma Jaya dan Perusda Pasar Jaya. Kedua perusda itu menjalin kontrak dengan berbagai daerah untuk meminta pasokan bahan pokok.
Contohnya, mencukupi pasokan telur, mereka akan meminta pengiriman dari daerah Blitar, Jawa Timur. Pasokan bahan pangan itu akan dihitung sesuai dengan jumlah panen petani lokal. Artinya, meski hasil panennya sedikit, wilayah ibu kota tak akan kurang bahan pangan.
Desain Besar
Untuk ke depan, pemprov kini membuat grand design pertanian ibu kota. Konsepnya, pertanian ibukota tidak berbasis lahan lagi. Melainkan, berbagis ruang.
“Itu yang sekarang dikembangkan. Misalnya, bagaimana orang yang parkirnya kecil berbagi antara parkir motor dan rak tanaman. Yang kami dorong untuk setidaknya mencukupi kebutuhan dia sendiri akan sayuran,” imbuh Suharini.
Ketua Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI, Abdul Aziz pun melontarkan hal serupa. Sejak lama, Dewan telah mendorong Pemerintah DKI Jakarta untuk membuat alternatif pertanian. Misalnya, tanaman hidroponik. Lahan tanaman hidroponik itu, ditanami oleh berbagai macam sayur-sayuran.
Pemerintah DKI Jakarta pun menyerukan hal yang sama. Mereka memerintahkan lurah hingga RT/RW untuk menyosialisasikan program itu kepada seluruh warga ibu kota. Diyakini, kegiatan itu bisa secara perlahan mengurangi jumlah pasokan sayur dari luar daerah. Idealnya, dengan gerakan itu, warga ibu kota bisa mencukupi kebutuhan sayurannya sendiri. Meski menggunakan metode bercocok tanam hidroponik.
“Kami sudah mendorong, khususnya DKPKP untuk memberikan pengetahuan pertanian alternatif itu ke masyarakat. Jadi bukan lagi mengandalkan luas tanah. Tapi bisa mengandalkan tempat apapun yang kurang produktif bisa digunakan,” kata Abdul, kepada Validnews, Rabu (25/11).
Abdul meyakini, hal itu bisa mengatasi kekurangan lahan pertanian di ibu kota. Dewan juga mendesak Pemerintah DKI Jakarta untuk mendata berapa luas lahan tak produktif milik swasta. Sebab, lahan-lahan itu bisa digunakan untuk berbagai kegiatan. Misalnya, membuka lahan perkebunan baru. Bahkan, membuka lahan pertanian padi.
Sistem yang dipikirkan adalah dengan menawarkan sejumlah keringanan pembayaran pajak atas lahan yang digunakan itu. Misalnya, membebaskan pemilik lahan dari Pajak Bumi dan Bangunan dan lainnya.
“Jadikan bisa dibuat apotek hidup, lahan pertanian. Pasti kalau begitu orang akan berlomba-lomba mengurusnya,” lanjut Abdul.
Salah satu yang diharap adalah lahan Perusda Dharma Jaya. DPRD menilik lahan ini yang ternyata cukup luas. Sayangnya, lahan ini belum digunakan karena kebingungan untuk mengolah lahan kosong itu. “Jadi kami bilang, kalau butuh apa-apa bawa ke Pemda atau DPRD. Karena lahan sebesar itu tak digunakan. Namanya pemborosan,” tambah Abdul.
Abdul juga menyarankan Pemerintah DKI untuk mempererat kerja sama antardaerah. Utamanya, Cianjur, Jawa Barat sebagai penghasil padi. Apalagi, kualitas beras di Cianjur sangat baik untuk dikonsumsi. Usulan ini ditujukan agar pengelolaan pertanian di ibu kota lebih professional.
Sesungguhnya, selama masa pandemi ini, wilayah DKI Jakarta telah melaksanakan panen seiring penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Produksi padi Jakarta diperkirakan berpotensi mencapai 4.657,53 ton atau bertambah 1.298,22 ton (27,87%) dibandingkan produksi tahun 2019.
Kepala Bidang Statistik Produksi Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, Favten Ari mengatakan, hasil produksi padi itu dihitung dari luas baku sawah di DKI Jakarta. Untuk mencapai hasil 600 hingga 700 kuintal gabah kering panen maka dibutuhkan luas baku sawah mencapai 300 ha.
“Itu juga panennya bisa mencapai dua hingga tiga kali panen dalam setahun,” kata Favten, kepada Validnews, Kamis (26/11).
Masih dari catatan BPS, berdasarkan realisasi panen periode Januari hingga September 2020 tercatat sebesar 802,87 ha atau meningkat 185,68 ha (23,16%) dibandingkan dengan periode yang sama pada 2019, yang sebesar 617,19 ha.
Sementara itu, potensi panen sepanjang Oktober hingga Desember 2020 diperkirakan sebesar 131,37 ha. Dengan demikian, total potensi luas panen padi pada 2020 diperkirakan mencapai 934,24 ha. Nilai ini bertambah sekitar 311,65 ha (33,36%) dibandingkan tahun 2019 yang sebesar 622,59 ha.
Dari perhitungan BPS, produksi padi di DKI Jakarta periode Januari–September 2020 sekitar 3.779,98 ton Gabah Kering Giling (GKG). Jumlah ini meningkat sebanyak 12,08% dari total panen 2019 sebanyak 3.323,30 ton.
Favten melanjutkan, bila GKG itu dikonversikan menjadi beras, produksi padi mulai Januari–September 2020 mencapai angka 2.216,61 ton beras. Jumlah ini meningkat sebesar 12,08% atau 267,79 ton beras dari total 2019.
Sementara itu, potensi produksi beras sepanjang Oktober hingga Desember 2020 diperkirakan sebesar 514,60 ton. Artinya, potensi produksi beras pada 2020 diperkirakan mencapai 2.731,21 ton. Jumlah ini, bertambah 761,27 ton dibandingkan produksi tahun 2019 yang sebesar 1.969,94 ton beras.
Namun, Favten mengakui, hasil panen itu belum dapat mencukupi kebutuhan pangan ibu kota. Makanya, untuk memenuhi kebutuhan DKI Jakarta, pemerintah setempat meminta pasokan barang dari luar daerah.
“Tapi kalau angka pastinya berapa BPS tidak menghitung. Yang jelas untuk kebutuhan DKI sendiri itu sudah pasti kurang,” tandas Favten. (James Manullang, Muhammad Fadli Rizal)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN