- Nasional
Menunggu Beleid Mustajab Penekan Kekerasan Seksual
21 Juli 2020 , 21:00

JAKARTA – Penanganan isu kekerasan seksual di Tanah Air bak mengurai benang kusut. Sulit selesai. Berlaksa regulasi terkesan tak berdaya menurunkan angka kekerasan seksual. Masih banyak perempuan mengalaminya, entah itu di ruang publik atau rumah sekalipun.
Salah satu perempuan yang mengalaminya bernama Elora (23 tahun, bukan nama sebenarnya). Warga Tangerang ini bercerita pengalaman tak mengenakkan dilecehkan di Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line, dua tahun lalu.
Saat itu, selepas senja, Elora terpaksa berdiri berdekatan dengan seorang pria di KRL yang penuh. Mulanya dia tak menaruh curiga. Namun, ketika hendak sampai di Stasiun Duri, Elona terperanjat. Si pria itu tiba-tiba memegang bokongnya. Sontak Elora berteriak memaki pria itu.
Elora sedih. Tak ada penumpang yang mau membantunya, bertanya pun tidak. Mereka hanya memandangi Elora yang berteriak memaki-maki. Si pelaku juga begitu santai meninggalkan lokasi kejadian. Lolos begitu saja.
Perempuan ini sama sekali tak terpikir untuk melaporkan kejadian tersebut pada petugas setempat. Selain merasa kesulitan membuktikannya, dia terlalu syok dan takut.
Pada hari-hari berikutnya, Elora mau tak mau naik KRL lagi. Tidak ada pilihan lain menuju pulang. “Akhirnya naik KRL lagi, tapi jadi lebih memperhatikan sekitar,” terangnya.
Kejadian yang dialami Elora ini merupakan contoh kecil dari rentetan kasus kekerasan seksual. Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) ada 15 bentuk kekerasan seksual. Selain pemerkosaan dan eksploitasi, pelecehan yang dialami Elora ini juga merupakan bentuk kekerasan seksual.
Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan pun cenderung meningkat. Pada tahun 2019, Komnas Perempuan mencatat total 431.471 kasus, dengan 14.719 di antaranya merupakan kasus yang ditangani oleh lembaga penyedia layanan. Jenis kekerasan yang paling menonjol ditangani adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Angkanya mencapai 11.105 kasus.
Untuk kasus ranah personal, bentuk kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik berjumlah 4.783 kasus (43%), kekerasan seksual 2.807 kasus (25%), kekerasan psikis 2.056 (19%) dan kekerasan ekonomi 1.459 kasus (13%). Beragam kasus tersebut adalah indikator jelas rumitnya kasus kekerasan seksual.
Mirisnya, kerentanan terjadinya kekerasan seksual kini juga muncul ketika masyarakat harus melakukan segala pekerjaan dari rumah (work from home/WFH). Kala warga terpaksa di rumah mencegah penyebaran pandemi covid-19, angka KDRT menunjukkan kenaikan. Rumah belum menjadi tempat yang aman.
Komisioner Komnas Perempuan Siti Amninah Tardi mencatat, sejak Januari hingga Mei 2020, terdapat 542 kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah personal atau KDRT. Sebanyak 170 kasus merupakan kasus kekerasan seksual. Ada juga 226 kasus kekerasan perempuan di ranah komunitas pada periode yang sama. Sebanyak 203 kasus adalah kasus kekerasan seksual.
Aminah menyebutkan, berdasarkan hasil survei, kekerasan selama WFH didominasi oleh faktor ekonomi. KDRT banyak terjadi pada mereka yang memiliki penghasilan sebesar Rp2 juta hingga Rp5 juta per bulan. Singkatnya, persoalan ekonomi kemudian berbuntut KDRT.
“Dampak ekonomi yang menyebabkan perempuan atau suami tidak mendapatkan penghasilan akan mendorong pembatasan pemenuhan kebutuhan keluarga. Hal ini menjadi pemicu pertengkaran atau kekerasan,” ungkapnya kepada Validnews.
Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA) yang ditangani Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat tendensi sama. Ada 2.800 laporan kasus kekerasan perempuan selama enam bulan terakhir. Bahkan, laporan ini meningkat saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai dilakukan secara bertahap di bulan Maret.
Pada Maret, terdapat 480 kasus kekerasan, dengan laporan kekerasan seksual mencapai 63 laporan. Sementara pada April 2020, tercatat 301 kasus, dengan laporan kekerasan seksual sebanyak 32 laporan.
Pada bulan Mei tercatat sebanyak 300 kasus, dengan laporan kekerasan seksual mencapai 48 laporan. Kemudian, pada Juni tercatat 248 kasus kekerasan terhadap perempuan. Angka kekerasan seksualnya sebanyak 51 laporan.
Urgensi RUU PKS
Tendensi ini juga diamati Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK). Tiga bulan belakangan, angkat kekerasan ini terlihat signifikan.
Koordinator Divisi Perubahan Hukum LBH APIK, Khotimun Sutanti mengklaim peningkatan laporan kekerasan pada perempuan sebesar 30% di seluruh kantor LBH APIK selama pandemi. Mayoritas kasus yang dilaporkan berupa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang memiliki unsur pelecehan seksual.
Selain KDRT, kata perempuan yang kerap disapa Imun ini, kekerasan seksual berbasis gender secara daring juga ikut naik selama pandemi. Di wilayah Jabodetabek saja, terdapat 91 kasus kekerasan berbasis gender secara daring. Mayoritas kasusnya adalah kekerasan seksual terhadap perempuan.
Yang membuat miris, selain ini terjadi di mana saja, mayoritas pelakunya adalah orang-orang yang dikenal. Kekasih, saudara, keluarga, dan teman dominan di kalangan pelaku.
Imun yakin solusi terbaik untuk memecah persoalan kekerasan seksual adalah pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Di pandangannya, delik yang ada saat ini belum memadai. Hukum acara pidana yang ada juga tidak mengakomodasi situasi korban kekerasan seksual.
Beranjak dari persepsi ini, dia berharap pemerintah tetap memprioritaskan RUU tersebut. Satu hal yang jadi masalah adalah keseriusan DPR dan pemerintah. Bukannya mempercepat pengesahan, RUU PKS malah digeser ke Prolegnas Prioritas 2021. Waktu pembahasan yang mepet menjadi argumen penundaan.
"Kita agak trauma dengan DPR periode kemarin. Selama lima tahun, bahas judul saja tidak selesai," keluhnya.
Ia mengaku khawatir jika terus terjadi penundaan, terus-menerus ada kekosongan dan kelemahan dalam pengaturan hukum untuk perlindungan korban kekerasan seksual. Hak keadilan, kepastian hukum, bebas diskriminasi, dan bebas dari ancaman pelaku, kurang terjamin dengan perundangan kini berlaku.
Pada saat sama, pegiat anti kekerasan terhadap perempuan, juga mendesak pemerintah juga harus lebih masif mengedukasi kepada masyarakat terkait kekerasan seksual. Masih banyak masyarakat salah kaprah soal kekerasan seksual pada perempuan. Bahkan, banyak yang melakukannya tak paham bahwa yang dilakukannya salah.
Stigma masyarakat pada korban pelecehan seksual harus hilang. Padahal, ketika masyarakat mendukung korban, upaya untuk pulih dari kejadian yang dialami kian cepat terjadi.
Parlemen mengamini adanya penundaan. Namun, anggota Komisi VIII dari Faksi Partai Nasdem, Lisda Hendrajoni, mengaku tetap yakin rancangan itu akan masuk kembali dalam Prolegnas 2020. Ia mengklaim, RUU PKS masih menyisakan evaluasi. Ini memungkinkan untuk bisa memasukkannya kembali dalam daftar Prolegnas 2020.
Lisda mengaku sudah menggalang penandatanganan petisi agar RUU PKS dapat kembali masuk dalam Prolegnas 2020. Ia berupaya menggalang kekuatan dengan bertemu dengan beberapa lembaga perempuan yang sepaham. Upaya lobi juga dilakukan dengan menemui Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Dharmawati Puspayoga. Lisda ingin mengetahui komitmen Menteri Bintang terkait soal RUU PKS.
“Kalau itu sudah ada penandatanganan petisi, saya juga mau bertemu beberapa lembaga perempuan yang ingin bertemu. Intinya mereka ingin mendukung,” ujarnya.
Wakil rakyat ini mendukung RUU PKS harus segera disahkan. Apalagi RUU ini sudah terbengkalai sejak delapan tahun silam. “Jadi sebenarnya sedih sekali kalau sampai sekarang masih begitu-begitu saja,” ucapnya.
Lisda mengakui, ada beberapa kesulitan untuk meyakinkan setiap anggota fraksi. Salah satunya yakni meyakinkan orang yang salah dalam pemahaman. Dia berupaya melibatkan ahli bahasa dalam menyusun kosakata agar tidak lagi ada kekeliruan dalam memahami susunan draf RUU PKS.
“Karena sebenarnya niatnya sama. Sama-sama ingin melindungi perempuan, melindungi anak, tapi ada pemahaman-pemahaman bahasa yang harus kita luruskan,” tuturnya.
Efek WFH
Pendiri perEMPUan, sebuah LSM yang berfokus pada masalah kekerasan seksual di ruang publik, Rika Rosvianti Neqy mengatakan, kekerasan seksual memiliki karakter berbeda dengan kasus lainnya. Kekerasan seksual merupakan kekerasan yang paling sulit dibuktikan, tapi efeknya paling besar di kehidupan korban.
"Bukan hanya rehabilitasi korban, tapi juga rehabilitasi pelaku. Pelaku biasanya dimasukkan ke dalam lembaga pemasyarakatan dan tidak menjadi jaminan bahwa dia setelah keluar tidak lagi menjadi pelaku kekerasan," kata Neqy.
Mengutip data milik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK, Rika mengamati ada lima macam kasus yang mendominasi kekerasan perempuan. Ada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan online, lalu ada pelecehan seksual, dan pidana lainnya.
“Tapi yang perlu di-highlight adalah di mana KDRT meningkat sebagai efek dari kebijakan karantina," paparnya.
Masalahnya, pada masa pandemi ini banyak organisasi tidak bisa maksimal menerima laporan untuk sementara waktu. Padahal, kasus kekerasan seksual di kondisi seperti ini justru malah makin banyak.
Yayasan PULIH Indonesia mengamini ini. Laporan yang diterima saat pandemi covid-19 justru berkurang. Meski tak disebut secara rinci, berkurangnya angka tersebut akibat PULIH masih memberlakukan WFH sampai saat ini.
Direktur PULIH Dian Indraswari mengatakan, pemberlakuan konseling saat pandemi bisa berisiko besar terhadap para psikolog. Sebab saat tatap muka, tak jarang pengadu yang melakukan konseling meneteskan air mata saat menceritakan kejadian yang menimpanya. Hal itulah yang dianggap rentan menyebarkan covid-19.
“Konseling ini kan orang nangis, orang ini kan muncrat ke psikolog kami, kan berisiko. Jadi masih sementara dengan online,” tukasnya.
Walau tetap membuka layanan online selama WFH, itu tak sepenuhnya memudahkan proses pelaporan. Saat pandemi, justru suami mereka berada di rumah, kecil kemungkinan korban mengadu via online.
Dian mengimbau, jika terjadi masalah dalam rumah tangga sebaiknya diselesaikan dulu secara saksama. Namun jika memang dirasa agak sulit, selayaknya bisa mengontak PULIH. Yayasan ini tidak hanya menerima layanan untuk perempuan. Laki-laki yang korban KDRT juga bisa melaporkan.
Nah, soal laki-laki korban KDRT, Dian mengatakan, mereka biasanya sulit untuk bercerita jika mengalami tekanan. Mereka tak mau terkesan lemah jika harus bercerita bebannya kepada orang lain.
Sayangnya, jika beban itu terus bertumpuk, maka cenderung berujung dengan kekerasan. Jika demikian ujungnya, rancangan perundangan PKS itu, juga bisa mengkanalisasi apa yang mereka alami.
“Karena juga biasanya mungkin dia (laki-laki.red) korban dalam artian korban keadaan. Korban ketika tidak dapat penghasilan diomelin, manifestasinya kemudian menjadi kekerasan,” terang Dian. (Faqih Fathurrahman, Maidian Reviani, Herry Supriyatna)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN