• Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Ekonomi

MERAJUT ASA TEKSTIL NUSANTARA

Menolak Sunset, Peta Jalan Industri Tekstil Jadi Harapan

Struktur biaya tinggi membuat industri tekstil nusantara kalah bersaing, di tengah adanya kesempatan untuk memanfaatkan adanya perang dagang
01 Agustus 2019 , 18:24
Buruh pabrik memproduksi tekstil di Sukoarjo, Jawa Tengah. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Buruh pabrik memproduksi tekstil di Sukoarjo, Jawa Tengah. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

JAKARTA – Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) yang mulai berkembang di Indonesia hampir seabad lalu, tepatnya sekitar tahun 1929, sempat mengalami masa kejayaannya pada era Orde Baru. Pada masa itu, pemerintah memang tengah fokus pada pembangunan industri nasional demi membangun ekonomi yang sempat terpuruk pada awal-awal kemerdekaan.

Untuk membangun industri nasional, pemerintah menganut dua strategi industrialisasi yang diawali dengan substitusi impor. Pada strategi ini, pemerintah menitikberatkan pada pengembangan industri padat karya termasuk tekstil dan produknya seperti pakaian jadi dan alas kaki.

Menginjak awal dekade 80-an, barulah pemerintah menggeser fokus ke promosi ekspor. Strategi kedua ini berfokus pada pengembangan industri padat karya yang berorientasi mengirim barang ke luar negeri.

Namun kini, industri TPT justru kerap digolongkan sebagai industri sunset. Sinarnya hampir meredup tersisihkan kemajuan teknologi.

Mesin-mesin yang tua dan usang, teknologi yang terbatas dan minimnya skill tenaga kerja, menghantui dunia tekstil tanah air. Belum lagi, TPT impor dari negara-negara yang industrinya mengandalkan teknologi terkini lincah menyerbu.

Citra industri TPT dalam golongan industri sunset ini dikarenakan industri TPT tergolong berisiko tinggi dalam hal penyaluran kredit. Alarm industri keuangan pun kian berdering kencang saat kabar salah satu raksasa tekstil Indonesia, Duniatex, mengalami kesulitan likuiditas. 

Kesulitan likuiditas ini ditandai dengan dipangkasnya peringkat obligasi yang dijual salah satu anak usaha grup Duniatex, PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT) oleh Standard & Poor (S&P) Ratings. Tak tanggung-tanggung, peringkat dipangkas hingga enam level, dari BB- menjadi CCC-.

S&P melihat likuiditas Duniatex yang lemah akan berpengaruh terhadap bisnis DMDT. Dampak seretnya likuiditas Duniatex ini tampak pada kasus gagal bayar untuk kupon pinjaman dolar AS perusahaan anakan Duniatex lainnya, yakni PT Delta Dunia Sandang Tekstil (DDST), yang jatuh tempo pada 10 Juli kemarin sebesar US$11 juta.

"Kami meyakini likuiditas yang lemah di induk usaha Duniatex ini akan juga berpengaruh terhadap DMDT," tutur Analis S&P Global Ratings, Harshada Patwardhan, seperti dikutip dari laman resminya.

Dalam laporannya, S&P menyebutkan, kasus gagal bayar utang atas obligasi yang diterbitkan DMDT itu, merupakan dampak tidak langsung dari ketegangan perang dagang Amerika Serikat dan China.

“Ketegangan perdagangan AS–Cina yang sedang berlangsung, secara signifikan merugikan pasar tekstil Indonesia,” tulis S&P seperti dikutip dari Bloomberg.

Direktur Utama Bank BCA Jahja Setiaatmadja dalam satu kesempatan beberapa waktu lalu, sempat menyinggung tingginya risiko dari industri tekstil dalam penyaluran kredit. Menurutnya, industri tekstil tanah air sebenarnya tengah menangkap peluang ekspor dengan adanya perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China.

Adanya perang dagang membuat AS kini tak mengizinkan produk China masuk.

"Mereka (industri tekstil) dapat new order dari AS, karena AS enggak bisa impor dari China. Jadi mereka mencari yang lain," ungkapnya beberapa waktu lalu. 

Sayangnya, di tengah usaha memenuhi pasar yang tak bisa dimasuki China, sektor industri seperti spinning (pemintalan) justru mengalami nasib buruk dengan kenaikan harga katun beberapa waktu lalu.

Jahja menceritakan, ada beberapa perusahaan yang menyetok katun dalam jumlah besar, sebagai langkah antisipatif di tengah kenaikan harga katun. Sayangnya, kondisi ini tak berlangsung lama. Katun ternyata turun harga. Alhasil, perusahaan yang salah stok tersebut jadi kurang kompetitif.  

"Cost dia lebih mahal dari teman-teman yang enggak stok barang (katun.red)," cetusnya. 

Namun, Bos BCA tidak mau memukul rata semua bidang usaha tekstil bernasib buruk. Menurutnya, hal itu bergantung pada daya tahan dunia usaha tekstil itu sendiri.

"Ada yang bagus, ada yang jelek," cetusnya. 

Direktur APINDO Research Institute Agung Pambudhi pun memaparkan sejumlah tantangan yang harus dihadapi industri TPT. Salah satunya, ketergantungan industri pada impor kapas. Menurutnya, impor kapas memang tidak bisa dinafikan karena secara teknis tanah dan cuaca Indonesia tak memungkinkan bagi kapas kualitas baik dapat tumbuh.

"Persoalan utamanya adalah ketergantungan kita pada kapas yang 95% impor, lebih malah," ungkapnya kepada Validnews melalui sambungan telepon, Rabu (31/7). 

Selain itu, Agung mengakui lambatnya perusahaan tekstil meremajakan mesin menjadi persoalan tersendiri. Pasalnya, hal ini berpengaruh pada produktivitas pabrik yang pada ujungnya akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi. 

Masalah lain yang juga tak kalah pelik dan juga hinggap di industri lain adalah masalah kepabeanan, yakni lamanya masa Terminal Handling Cost atau biaya bongkar barang di pelabuhan. Juga, upah tenaga kerja, biaya energi, dan serbuan produk TPT impor.

Belum lagi persoalan dunia usaha yang juga harus mengikuti teknologi terkini dan permintaan pasar yang berubah-ubah dengan cepat. Ia menilai, sumber daya manusia dunia tekstil harus terus meningkatkan ilmu di industri ini.

Karenanya, dia pun sangat mengharapkan insentif pajak berupa super deductible tax bagi industri yang mengembangkan pendidikan bagi SDM, riset, dan inovasi benar-benar terealisasi.

"Sangat berpengaruh kalau insentif pajak sampai 200% sangat menjanjikan. Kita harap bisa dilaksanakan," tambahnya. 

Hal senada diungkapkan Pengamat Ekonomi dari Institute for Development Economic and Finance Eko Listiyanto. Menurutnya, produk TPT Indonesia berkualitas bagus, namun kalah saing dalam hal harga. Hal ini tak lepas dari tingginya biaya produksi seperti biaya upah buruh yang mencapai 35% dari biaya produksi.

"Tenaga kerja kita memang UMR, lebih mahal dari China," ungkapnya kepada Validnews, Senin (29/7).

Selain itu, biaya energi seperti listrik juga tinggi. Belum lagi persoalan tidak menyatunya pusat-pusat garmen dengan beberapa industri antara yang memasok kain. Ini menyebabkan biaya logistik yang juga tinggi. Terakhir, Eko menambahkan, industri TPT juga menghadapi suku bunga kredit investasi yang tinggi.

"Ini komponen-komponen yang memungkinkan harga TPT kita lebih mahal," ungkapnya. 

Pemandu Jalan
Industri tekstil sebenarnya tak tinggal diam menghadapi kondisi yang menimpa. Kalangan industri berinisiatif menyusun peta jalan (roadmap) industri tekstil ke depan. Terutama dalam menyambut era industri 4.0 dengan segala kebaruannya. 

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menyatakan, pihaknya tengah menyusun berbagai konsep dalam roadmap industri tekstil. Tujuan utamanya adalah mendongkrak ekspor tekstil dan garmen dalam 10 tahun ke depan. 

"Agreement dengan Eropa harus selesai. Kalau itu selesai, kita ada peluang untuk meningkatkan ekspor kita tiga kali lipat dalam kurun waktu 10 tahun paling tidaknya," katanya ketika dihubungi Validnews melalui sambungan telepon, Rabu (31/7).

API memandang industri tekstil dan produk tekstil (TPT) perlu peta jalan agar industri tak salah arah dan segera berbenah. Menurutnya, peta jalan diharapkan menjadi acuan agar industri semakin massif memasarkan produk di pasar global.

Salah satu contoh langkah konkretnya adalah melibatkan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) beserta atase perdagangan di negara-negara tujuan ekspor, untuk mempromosikan produk TPT Indonesia.

"Barangkali sekarang ini hampir seluruh KBRI dan atase perdagangan di luar itu sudah memiliki tugas pokok sebagai pedagang perantara, istilahnya tukang promosi. Itu kan sudah bagus itu road map-nya," tambah Ade. 

Indonesia juga berupaya menyusun perjanjian free trade agreement yang saling menguntungkan dengan beberapa negara. Setidaknya, juga berusaha ikut menengguk kesempatan di tengah perang dagang dua negara raksasa, AS dan China.

Perseteruan sengit kedua negara, bukan hanya membuat China sulit memasukan produk tekstilnya ke AS, sebaliknya AS sebagai produsen kapas, juga kesulitan masuk ke pasar negara Tirai Bambu.

"Amerika sebagai produsen kapas sedang kesulitan menjual ke China. Indonesia sanggup membeli itu, tapi Indonesia tidak sanggup menjual barang jadinya. Maka, kita minta Amerika meminta barang jadi kita," paparnya.

Ade menambahkan, ekspor RI untuk TPT yang tahun ini ditargetkan US$4,6 miliar bisa naik 10 kali lipat hingga mencapai US$40 miliar pada tahun 2035 menyusul adanya roadmap tersebut. 

Wakil Ketua Umum API Bidang Perdagangan Luar Negeri Anne Patricia Sutanto menambahkan, secara garis besar, roadmap industri tekstil memang dirancang untuk menggenjot kinerja ekspor TPT.

"Roadmap ITPT (industri tekstil dan produk tekstil.red) Indonesia dirancang agar dapat memenuhi target ekspor kita," jawabnya dalam surat elektronik yang diterima Validnews, Rabu (31/1).

Dia memaparkan, roadmap akan merinci mulai dari harmonisasi antar supply chain industri TPT Indonesia dalam rangka penyediaan barang baku hingga percepatan proses produksi. Roadmap juga membahas pengembangan industri yakni restrukturisasi permesinan dan penyediaan insentif pendukung produksi.

Lebih lanjut, pasar produk tekstil juga diperjelas dengan program percepatan perdagangan dan atau penyediaan marketplace. Setelah memastikan pasar industri TPT, roadmap juga mengatur perbaikan proses distribusi, yaitu dengan percepatan lead time distribusi ekspor-impor.

"Ini dengan membuat perjanjian antar negara sebagai tujuan perdagangan dan juga pada negara penyedia bahan baku," ungkapnya. 

Terkait hal tersebut, Anne mengaku ada langkah maju dengan AS. Sebanyak 20 dari industri TPT terutama perusahaan TPT di upstream dan midstream mendapatkan undangan dari CCI (Cotton Council International) dalam Special Trade Mission, untuk bertemu dengan stakeholder kapas AS, baik petani maupun pedagang kapas.

Dalam pertemuan tersebut, Indonesia memberikan inisiatif solusi berupa peningkatan pembelian kapas AS. Salah satu caranya adalah dengan penambahan pembelian pakaian jadi dari Indonesia dengan komponen mayoritas kapas.

“API mengusulkan free, fair, mutual reciprocal trade relationship antara AS dan Indonesia di mana Cotton USA made in Indonesia adalah solusi bersama,” jelasnya.

Lewat Cotton USA made in Indonesia, Indonesia dapat meningkatkan pembelian kapas AS, bahkan bisa menjadi pembeli kapas terbesar. Di sisi lain, AS membeli garmen produksi Indonesia yang menggunakan kapas tersebut, dengan tarif impor yang rendah atau bahkan bebas tarif.

Kementerian Perdagangan, lanjut Anne, bekerja sama dengan sektor TPT sudah menginisiasi perjanjian mengenai penyediaan kapas dari AS sejak Juli 2018 lalu. Prosesnya terus bergulir hingga pekan lalu, tepatnya pada 19 Juli 2019, Indonesia kembali mengadakan roundtable meeting dengan AS guna semakin memperkuat sinergi TPT dan kapas.

“Dari dua kali pertemuan yang telah diselenggarakan, saya dapat melihat bahwa para pengusaha dari sektor penyedia kapas AS menunjukkan ketertarikan untuk dapat lebih bekerja sama dengan Indonesia,” jelasnya.

Diakui Anne, masih diperlukan perbaikan dalam beberapa hal agar perjanjian ini bisa diketok. Karena itu, API tengah berfokus pada upaya tindak lanjut agar perjanjian dengan AS terkait kapas ini dapat membuahkan hasil lebih cepat.

Anne menceritakan penyusunan roadmap ITPT bergulir sejak tahun 2018 dalam rapat koordinasi API dan para anggota di Surakarta dan Bandung. Saat ini, API sendiri tengah memetakan regulasi yang menghambat dan juga regulasi yang membuat industri TPT kurang kompetitif dibandingkan negara lain.

"Kami sudah dan terus menerus akan memberi masukan kepada pemerintah hal-hal yang dapat mempercepat pertumbuhan TPT Indonesia," tambahnya. 

Di sisi lain, API juga terus memperkuat kondisi internal para anggotanya untuk melakukan perubahan dan perbaikan secara terus menerus sesuai dengan perkembangan pasar dunia. 

Benahi Hulu
Anne Patricia Sutanto yang juga menjabat sebagai Vice Chief Executive Officer PT Pan Brothers Tbk menilai, roadmap ini juga mengandung berbagai aspek kebutuhan ITPT Indonesia, mulai dari reformasi teknologi sampai penyediaan bahan baku.

Roadmap industri TPT yang akan terbentuk nantinya diharapkan menjadi rantai penyambung antar sektor dari hulu hingga hilir. Dengan begitu, semua sektor bisa terintegrasi dalam keseluruhan industri TPT di Tanah Air. 

"Tentu saja, melalui roadmap ini, industri kain akan memiliki segala kebutuhannya yang cukup untuk berproduksi karena dari hulu (upstream) sudah terpenuhi kebutuhan bahan bakunya," ungkapnya. 

Menurutnya jika segala kebutuhan produksi baik berupa bahan baku, permesinan, insentif hingga biaya energi yang memadai sudah terpenuhi, kapasitas produksi TPT akan meningkat. Sebagai pemain di skala hilir, yakni garmen, Anne mengaku jika kapasitas produksi meningkat dan ditambah dengan berbagai perjanjian antarnegara yang terbentuk akan berimbas positif.

"Dapat kita pastikan, akan semakin banyak negara yang tertarik untuk membeli dari kita," ungkapnya. 

API, lanjutnya, juga telah mengajukan permintaan kepada pemerintah untuk menerapkan safeguard pasar dalam negeri, sekaligus membuka akses pasar dengan melakukan trade agreement dengan negara-negara tujuan ekspor API. Diharapkan, pembukaan pasar ini akan memberikan skala keekonomian yang cukup untuk industri kain untuk berekspansi.

Pemerintah juga diminta untuk mengundang foreign direct investment di industri kain di Indonesia. Hal ini untuk memenuhi kekurangan industri kain.

“Kesempatan pasar yang luas dan dengan banyaknya permintaan domestik dapat mempercepat peningkatan investasi industri kain,” pungkas Anne.  

Saat ini, Agung Pambudhi menyebutkan, industri TPT Indonesia mengalami kemajuan di sektor garmen atau produk pakaian jadi. Sementara sektor hulu dan antara masih kurang bersaing baik di pasar dalam negeri maupun pasar global.

"Yang menengah output-nya kain, menengah itu kapas menjadi benang, benang menjadi kain, kain polos yang diwarnai dan di-printing warna dan desain, itulah industri tengah, tapi orang sering sebut ini hulu," paparnya.

Dia menambahkan, sektor hulu adalah produk serat sintetis maupun serat alami yang diuntai menjadi benang. Perusahaan yang berinvestasi di kedua sektor ini, hulu dan menengah, memang terbilang tak banyak. 

Sementara itu, Ekonom Eko Listiyanto menambahkan, utilisasi produksi di sektor antara cukup rendah. Akibatnya, produksi pun berkurang sehingga industri tekstil antara tidak bisa memasok kain ke sektor garmen secara kontinu. 

"Jadi, yang terjadi adalah ada kain impor masuk begitu besar, massif terutama selama 3 tahun terakhir 2016-2018. Nah, di sisi lain ekspor garmen kita enggak besar," ungkapnya. 

Eko menilai, industri garmen di tanah air menggunakan kain impor karena produksi kain lokal yang terbatas.

Menilik data utilisasi permesinan di sektor Industri perantara memang rendah. Dari data yang dikutip Eko, pada 2013 utilisasi produksi tekstil masih sekitar 73%. Kebergantungan pada kain impor berlanjut sehingga angka utilisasi semakin mengecil menjadi hanya 49,7% pada tahun 2019.

"Ini artinya mesin tidak terpakai karena kain impor yang banjir di industri," cetusnya. 

Eko pun menyarankan agar industri TPT melihat pangsa pasar lokal terlebih dahulu mengingat permintaannya yang cukup signifikan. Tak lupa, pemerintah pun harus turun tangan untuk melindungi produk lokal dari gempuran produk impor yang membuat daya saing jatuh.

Dia juga menyarankan agar industri TPT ini diberi kelonggaran dalam kebijakan terkait isu lingkungan agar tak membebani industri itu sendiri. Di samping itu, insentif lainnya juga diperlukan seperti energi yang murah hingga akses pembiayaan yang mudah. 

 

Industri 4.0
Tak mau ketinggalan dalam upaya meningkatkan kinerja industri ITPT, pemerintah pun ikut mengambil langkah dalam penyusunan peta jalan. Pada Senin (22/7) kemarin, Kemenperin dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) membuat MoU penyusunan roadmap ITPT Indonesia. 

Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian Muhdori menekankan, roadmap ini nantinya akan menjadikan TPT Indonesia lebih mandiri dan kompetitif di pasar dunia. Dengan peta jalan ini, diharapkan pada 2030 mendatang, ekspor TPT meningkat 100% dari US$13 miliar pada tahun lalu menjadi US$26 miliar.

"Di mana TPT Indonesia bisa memberi kontribusi kepada devisa negara dan juga meningkatkan lapangan kerja di Indonesia," jelasnya, dikutip dari rilisnya akhir pekan lalu.

Muhdori menyatakan, dengan adanya MoU tersebut, daya saing industri TPT nasional diharapkan dapat meningkat. Salah satunya, dengan pengembangan dan pemanfaatan teknologi berbasis industri 4.0.

“Dengan demikian, kita bisa mengetahui parameter seperti apa yang akan diterapkan oleh industri 4.0 pada sektor TPT, karena nanti yang menetapkan definisi industri 4.0 untuk sektor TPT adalah BPPT,” jelas Muhdori.

Berdasarkan peta jalan Making Indonesia 4.0, industri TPT merupakan satu dari lima sektor manufaktur yang sedang diprioritaskan pengembangannya sebagai sektor pionir dalam penerapan industri 4.0. 

"Aspirasi besar yang akan diwujudkan Indonesia adalah menjadikan industri TPT nasional masuk jajaran lima besar perusahaan kelas dunia pada tahun 2030," ungkapnya. 

Saat ini, lanjut Muhdori, potensi industri TPT nasional didukung dari sektor hulu, yakni sebanyak 33 industri dengan kapasitas produksi 3,31 juta ton per tahun. Kemudian di sektor antara (midterm) ditopang melalui 294 industri untuk pemintalan (spinning) dengan kapasitas produksi 3,97 juta ton per tahun.

Industri TPT juga ditunjang dari sektor weaving, dyeing, printing dan finishing sebanyak 1.540 industri skala besar serta 131 ribu industri kecil dan menengah (IKM). Adapun total kapasitas produksi 3,13 juta ton per tahun.

Sementara itu, di sektor hilir, terdapat produsen pakaian jadi dengan jumlah 2.995 industri skala besar dan 407 ribu IKM. Total kapasitas produksi mencapai 2,18 juta ton per tahun. Adapun produsen tekstil lainnya dengan jumlah 765 industri dan kapasitas produksi 0,68 juta ton per tahun.

Muhdori pun optimistis, industri TPT nasional akan semakin kompetitif di kancah global karena telah memiliki daya saing tinggi. Menurutnya, hal ini lantaran struktur industrinya sudah terintegrasi dari hulu sampai hilir dan produknya juga dikenal memiliki kualitas yang baik di pasar internasional.

Selain itu, pemerintah juga berupaya membuat perjanjian kerja sama bilateral dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk memperluas pasar ekspor TPT lokal. Ini penting untuk meningkatkan level kompetitif, mengingat bea masuk ekspor produk tekstil Indonesia masih dikenakan 5-20%. Sedangkan ekspor Vietnam ke Amerika dan Eropa sudah nol persen. 

Sementara itu, peneliti Utama BPPT Sudirman Habibie menyatakan, peta jalan yang akan dibuat selama enam bulan ke depan ini diharapkan dapat menjadi motor sekaligus roh industri TPT nasional. Pasalnya, teknologi yang digunakan oleh industri TPT nasional sudah tertinggal beberapa generasi, jika dibandingkan dengan negara-negara pesaing, seperti Bangladesh dan Vietnam.

Buktinya, kata dia, bisa dilihat dari kondisi industri TPT nasional yang stagnan selama 30 tahun. Adapun negara pesaing maju dengan cepat dan akhirnya menyisihkan Indonesia.

“Sejak 30 tahun lalu, ekspor TPT masih US$13 miliar, sama seperti 2018,” hitungnya sebagaimana dilansir dari laman situs Kemenperin. 

Dia pun menyimpulkan industri TPT nasional tidak memiliki kemajuan yang berarti. Alasannya, industri ini terlambat melakukan pembaruan teknologi.

Hal lainnya, Sudirman menilai, MoU yang diteken ini merupakan momen penting untuk menempatkan industri TPT nasional sebagai industri primadona. Industri yang sudah ada sejak era 1920-an pun diharapkan kembali jaya. Caranya, tak lain dengan mengejar ketertinggalan melalui industri 4.0 di sektor TPT.

"Saya yakin ketertinggalan TPT nasional dengan negara-negara pesaing dapat kita kejar. Bahkan, bisa kita lampaui. Namun dengan catatan, roadmap yang dihasilkan dari MoU ini harus benar-benar diterapkan oleh seluruh pemangku kepentingan,” ingatnya. 

Dia meminta pemerintah dan kalangan perbankan tidak setengah hati memberi bantuan kepada sektor industri TPT nasional.

“Kita akan buktikan industri TPT yang sempat disebut sebagai sunset industry tidak benar,” janji Sudirman.

Menurutnya, jika peta jalan itu direspons positif oleh semua pemangku kepentingan maka kenaikan ekspor pun bukan sesuatu yang mustahil. Bahkan, lonjakannya bisa mencapai 2 hingga 3 kali lipat dari nilai ekspor saat ini US$13 miliar. 

“Saya yakin betul itu terjadi pada 2030. Kejayaan industri TPN nasional akan bersinar kembali meninggalkan Bangladesh dan Vietnam. Tetapi, ini dengan syarat roadmap yang disusun lewat MoU ini harus benar-benar dijalankan,” ujarnya optimis.

Di sisi lain, dia meminta pelaku industri TPT dalam negeri menjaga kekompakan, antara produsen hulu, antara, hingga hilir. Dengan demikian, Indonesia bisa kembali diperhitungkan di kancah global TPT. 

Empat strategi
Pada kesempatan berbeda, Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil, (IKFT) Kemenperin Achmad Sigit Dwiwahjono menegaskan, pemerintah berupaya memacu industri TPT nasional agar lebih berdaya saing di kancah global. Kemenperin mengusulkan empat strategi yakni mengajukan anggaran restrukturisasi mesin, penerapan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) atau safeguard, penurunan harga gas industri, dan pengaturan tata niaga untuk kemudahan terhadap akses bahan baku.

"Kami tidak bisa sendiri dalam menjalankan strategi tersebut. Sebab, strategi ini terkait dengan kebijakan kementerian lain. Oleh karena itu, perlu koordinasi dan kolaborasi yang kuat,” tegasnya.

Asal tahu saja, selain sejumlah perbaikan, sektor industri TPT saat ini sangat membutuhkan harga energi seperti gas dan listrik yang kompetitif. Hal ini sudah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.

"Kami terus minta agar perpres itu segera diimplementasikan, agar seluruh industri termasuk TPT bisa mendapatkan harga energi terjangkau, sebesar US$6 per MMBTU,” ujarnya.

Adapun untuk memperbesar nilai ekspor industri TPT, dia menambahkan salah satu langkahnya adalah peremajaan mesin-mesin, khususnya di sektor industri TPT antara atau intermediate.

“Kalau kita remajakan mesinnya, kapasitasnya tentu bisa naik sekaligus bisa menekan impor,” tandasnya. (Kartika Runiasari, Fin Harini, Agil Kurniadi, Zsazya Senorita)

  • Share:

Baca Juga

Kultura

Personel Black Eyed Peas Jualan Masker

  • 09 April 2021 , 10:25
Ekonomi

Kemenperin Luncurkan JARVIS, Jaring Talenta Industri Potensial

  • 07 April 2021 , 09:00
Ekonomi

Penerapan Industri 4.0 Tarik Investasi Manufaktur

  • 06 April 2021 , 08:00

Tulis Komentar

Lupa Password?

ATAU

MASUK DENGAN

Facebook
Google+
Belum memiliki Akun? Daftar Sekarang

Belum ada komentar.

Vista

Napas Panjang Ahli Pemberdayaan


  • Terbaru

Legislator Harap IE-CEPA Perkuat Kinerja Ekspor Nasional
10 April 2021 , 18:00

Legislator juga berharap kerja sama dengan negara-negara EFTA ini bisa segera membantu persoalan ekspor kelapa sawit Indonesia

Pemuda dan Bujukan ‘Syurga’
10 April 2021 , 18:00

Perempuan cenderung lebih emosional dibandingkan laki-laki sehingga lebih mudah direkrut oleh kelompok ekstremis

Tips Dekorasi Ruangan Agar Lebih Meriah Sambut Ramadan
10 April 2021 , 17:58

Sebelum pandemi, tema nuansa Timur Tengah seperti 1001 malam hingga Arabian Nights mewarnai setiap rumah dan proyek

Pemuda dan Bujukan ‘Syurga’
10 April 2021 , 18:00

Perempuan cenderung lebih emosional dibandingkan laki-laki sehingga lebih mudah direkrut oleh kelompok ekstremis

PELUANG USAHA

Masih Ada Sinar Jadi Tukang Gambar
09 April 2021 , 21:00

Profesi ‘Tukang Gambar’ handmade pada era download dan repost masih punya peluang besar. Banyak orang yang mulai kembali melirik manual illustration, sejak 2017 hingga saat ini

Pencegahan Menyusut, Teror Berlanjut
08 April 2021 , 21:00

Program deradikalisasi mantan napi terorisme di luar lapas, tak sebaik yang dilakukan di dalam lapas. Padahal, BNPT sendiri kewalahan untuk mencegah penyebaran paham radikal melalui internet

Menjaga Yang Pernah Tersesat Dengan Pundi Kuat
06 April 2021 , 21:00

Kesulitan ekonomi kerap menggiring mantan narapidana teroris (napiter) untuk kembali ke jalan yang salah

Tugas Berat Di Tanah Pusara
05 April 2021 , 21:00

Penggali kubur sering kali menjadi pelampiasan emosi keluarga jenazah covid-19

Wajah Kekinian Film Kita
03 April 2021 , 18:00

Kejayaan film Indonesia diyakini bisa berulang

Film Nasional Di Titik Nadir
01 April 2021 , 21:00

Pandemi covid-19 membuat masalah yang selama ini terjadi di industri perfilman nasional menjadi lebih parah

  • Fokus
  • Paradigma

SENI & BUDAYA

Ledekan Dalam Lawakan
07 April 2021 , 15:38

Setiap orang punya keunikan masing-masing yang bisa digali dan menjadi materi roasting.

Mengerek Harga Pantas Atas Karbon Indonesia
29 Maret 2021 , 19:05

Perdagangan karbon jelas dapat mendukung kelestarian hutan Indonesia

SENI & BUDAYA

Mengapa K-Pop Begitu Mendunia?
26 Maret 2021 , 17:00

Meski masih banyak yang tak suka dengan keberadaannya, musik dan aneka hiburan yang ditawarkan berbagai kelompok vokal asal Korea Selatan ini terbukti punya pengaruh besar di ranah internasional.

Fokus Ke Asia, Michelin Tingkatkan Kapasitas Produksi 22%
10 April 2021 , 11:00

Pasar Asia berkontrubusi 18% dari total serapan kapasitas produksi Michelin

PSBB Total, MRT Lakukan Penyesuaian Operasional
14 September 2020 , 10:47

Ada pembatasan jumlah penumpang menjadi 62 -67 orang dalam satu kereta

BERSAMA BIJAK TANGGAPI BENCANA

Urgensi Ketegasan Dalam Penanganan Covid-19 di Indonesia
27 Maret 2020 , 20:00

Ada indikasi bahwa pemerintah seolah gamang, dalam mengambil tindakan tegas untuk penanganan Covid-19

 
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Disclaimer & Privacy Policy
  • Kontak
© Copyright validnews.co. All rights reserved.