- Nasional
Menkes Pertimbangkan Beri Sertifikat Buat Penerima Vaksin
14 Januari 2021 , 20:31

JAKARTA – Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin menilai, pemberian insentif kepada warga yang mau divaksinasi menjadi cara yang lebih baik. Ketimbang harus menakut-nakuti warga dengan konsekuensi sanksi pidana atau denda apabila mereka menolak divaksinasi.
Budi pun akan mempertimbangkan pemberian sertifikat khusus kepada warga yang sudah divaksin. Sertifikat ini rencananya dirancang dalam bentuk digital atau elektronik, sehingga bisa disimpan dan dibawa melalui aplikasi dompet elektronik atau e-wallet.
"Ada ide yang bagus dan saya rasa ini akan saya pakai. Misalnya, kalau yang sudah vaksin kita akan kasih sertifikat. Cuma sertifikatnya bukan sertifikat fisik, tetapi sertifikat digital yang bisa ditaruh di Apple Wallet atau Google Wallet," ujarnya saat Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR, Kamis (14/1).
Dengan sertifikat elektronik itu, orang yang sudah divaksin tidak perlu lagi menunjukkan hasil tes PCR atau antigen ketika bepergian. Pasalnya sertifikat ini akan diintegrasikan dengan sistem lain sebagai syarat untuk menggunakan layanan transportasi umum.
"Dengan electronic health certification itu bisa langsung lolos dan itu terintegrasi. Ide ini saya rasa bagus dari Komisi IX. Nanti saya akan bicarakan dengan Kemenhub. Jadi sifatnya lebih insentif yang diberikan ke masyarakat kalau mereka melakukan vaksinasi," ucap Budi.
Dia menuturkan sertifikat elektronik ini juga mungkin bisa dipakai sebagai syarat protokol di industri lain. Misalnya, ketika orang tersebut mengunjungi pusat perbelanjaan, pergi ke pasar swalayan, menggelar pengajian, atau hendak menonton konser.
Menurut Budi, cara tersebut bisa menjadi mekanisme screening covid-19 yang baik, sebab bisa dilakukan juga secara daring. Adapun aplikasi untuk media penyimpanan sertifikat elektronik ini diharapkan dapat dirancang oleh anak muda dalam negeri.
663 Juta Dosis Vaksin
Dia menjelaskan sebenarnya pemerintah telah mengamankan 663 juta dosis vaksin covid-19. Jumlah itu melebihi kebutuhan 426 juta dosis untuk memvaksinasi 181,5 juta penduduk, dengan hitungan setiap orang mendapat dua kali vaksinasi dan adanya vaksin cadangan.
"Jadi sisanya itu kami amankan untuk skenario kalau saja, misalnya, satu jenis vaksin tidak lolos di BPOM. Atau misalnya mereka gagal berproduksi. Atau misalnya produksinya oleh negara yang bersangkutan di-lockdown, itu bisa kejadian juga," ungkap dia.
Sebagian dari 663 juta dosis itu masih bersifat opsional. Artinya, sudah pasti bisa didapatkan tetapi bisa diambil ataupun tidak. Jika diambil, pemerintah harus membayarnya, tetapi apabila tidak diambil tidak perlu dibayarkan.
Lebih lanjut, Budi mengaku terbuka dengan vaksin yang diproduksi berbagai perusahaan farmasi selain yang sudah dipesan pemerintah saat ini. Asalkan vaksin tersebut sudah masuk dalam daftar vaksin covid-19 di WHO dan sudah mendapat persetujuan dari BPOM.
"Jadi kalau untuk jenis-jenis vaksin yang lain, ada yang Sputnik V dari Rusia, itu ada di WHO List. Kalau ternyata memang bisa cepat dan BPOM menyetujui, kami terbuka. Ada lagi juga Janssen Pharmaceutical (dari Belgia), itu juga ada di WHO List," jelas Budi.
Bagi Budi yang terpenting adalah ada di daftar WHO, sudah mendapat Emergency Use Authorization (EUA) dari BPOM, dan bisa cepat diproduksi. Dengan syarat-syarat ini, Budi pun terbuka pada pengembangan vaksin yang berbasis teknologi dendritic cell.
Meskipun vaksin dengan teknologi itu sampai saat ini belum masuk sebagai platform utama dari teknologi-teknologi pembuatan vaksin massal. Budi mengaku sudah mendiskusikan hal ini dengan ahli di Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI).
"Kami sudah mendengar mengenai dendritic cell vaccine yang dilakukan satu startup di Amerika Serikat. Kemudian mendapat akses ke satu pengusaha di Indonesia untuk dibawa masuk ke sini," kata dia. (Wandha Nur Hidayat)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN