• Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Ekonomi

MERAJUT ASA TEKSTIL NUSANTARA

Menggigil karena Tersentil Impor China

Nilai impor pakaian dari Chia tumbuh 59,19% tiap tahunnya dalam periode 2016—2018
31 Juli 2019 , 18:58
Pengunjung berbelanja kebutuhan Lebaran di Pasar Tanah Abang, Jakarta, MInggu (26/5/19). ANTARAFOTO/Puspa Perwitasari
Pengunjung berbelanja kebutuhan Lebaran di Pasar Tanah Abang, Jakarta, MInggu (26/5/19). ANTARAFOTO/Puspa Perwitasari

JAKARTA – Warna-warni kemeja terjajar rapi di sudut kiri bagian depan toko pakaian di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta. Baju-baju bernuansa salem itu menarik perhatian sejumlah perempuan yang berhasil menerawang keberadaan kemeja dari kaca transparan besar depan toko.

Dilihat lebih dekat, jajaran kemeja tersebut dipasangi tanda. Tertulis jelas, ada diskon hingga 65%. Harga jualnya menjadi Rp97.500 per potong.

“Wah, di bawah seratus ribu,” ujar seorang calon pembeli, di salah satu mal kawasan Jakarta Selatan tersebut, Minggu (28/7).

Kemeja-kemeja itu menarik pengunjung. Ada dua yang menarik mata mereka; harga murah dan model yang menarik. Jika diamati lebih teliti, tertulis “made in China” di bagian leher dalamnya. Selain itu, tentu ada juga keterangan ukuran, dan cara perawatan baju.

Beredarnya produk tekstil buatan China di Indonesia bukanlah hal asing atau baru. Beby Ayu Lasrowati (26), seorang karyawan perusahaan swasta yang berkantor di bilangan Jakarta Barat, mengaku selalu mencari pakaian-pakaian impor dari negeri Tirai Bambu. Beby terang menyebutkan, salah satu alasannya, adalah harga miring yang ditawarkan. Ia bukan saja rajin menyambangi toko, tapi juga kerap berburu produk tekstil China lainnya di toko penjualan dalam jaringan (online).

“Selain baju, segala jenis baju ya dari kemeja, kaus, tunik, jaket, sampai sepatu, saya sering dapat di bawah Rp100 ribu. Kalau sepatu Rp200 ribu sudah lumayan bagus banget,” papar Beby kepada Validnews, Senin (29/7).

Ia mengaku, beberapa barang pesanan ada yang dikirim langsung dari negara asalnya, yakni China. Terhadap kiriman ini, ia tak membeli di luar negeri.  Yang dilakukan adalah membeli pada e-commerce Indonesia.

“Jadi kalau di e-commerce berlogo warna oranye itu ya, nanti ada keterangan bahwa barang merupakan produk impor, buatan China,” sambung Beby.

Masuknya barang-barang dari negeri lain yang tidak tercatat dalam arus dagang luar negeri Indonesia diniscayakan pula oleh Bank Indonesia. Pada awal tahun ini, sebagai salah satu otoritas yang juga bertugas mengumpulkan data arus barang impor dan ekspor untuk menghitung devisa sebenarnya telah mengakui, adanya pergerakan barang dari luar negeri yang tak tercatat.

Direktur Eksekutif Kepala Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan BI, Farida Peranginangin menyebutkan, catatan nilai ekspor dan impor Indonesia masih belum mencakup nilai impor dari barang masuk melalui penjualan e-commerce antarnegara. Saat ini catatan ekspor dan impor yang ada di BI, masih berpatok pada Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) dan Pemberitahuan Impor Barang (PIB).

“Jadi kalau kalian beli kosmetik, itu ya enggak berasa ya bahwa masing-masing ini sedang melakukan impor kosmetik, belum lagi jastip (jasa titip),” ujar Farida, Senin (7/1).

Ia bahkan mensinyalir bahwa catatan impor Indonesia yang pertumbuhannya lebih tinggi dibandingkan ekspor, nyatanya masih di bawah nilai sebenarnya. Alias, nilainya bisa lebih besar lagi jika arus masuk barang dari e-commerce antarnegara tercatat.

China Menyerbu
Gempuran baju-baju dari luar negeri yang bisa langsung dibeli lewat e-commerce menjadi momok bagi rantai tekstil di Indonesia. Dari bagian hilir, Ketua Umum Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah mengeluhkan penurunan penjualan produk fashion di tingkat ritel pusat perbelanjaan yang diperparah oleh ramainya pembelian fashion dari luar negeri lewat e-commerce.

Ia mengakui, turunnya pembelian produk tekstil jadi atau pakaian diakibatkan pergeseran konsumsi masyarakat dari sektor food and beverage atau makanan dan minuman (mamin). Namun, sumbangsih peningkatan penjualan pakaian dari negara lain melalui e-commerce pun tidak bisa dipandang remeh dalam “melesukan” perdagangan fashion yang ada di pusat-pusat perbelanjaan.

“Karena banyak sekali masuk barang dari luar negeri via online yang sumber barangnya dari luar negeri masuk langsung ke Indonesia. Kalau belinya di dalam negeri sih enggak apa-apa, tapi mereka ini belinya dari online luar negeri,” seru Budi kepada wartawan, Kamis (25/7).

Tak mau diam di tempat, saat ini Hippindo bersama Asosiasi Pengusaha Garmen Indonesia (Apgai) dan pengusaha tekstil pun menyampaikan keluhan kepada pemerintah. Mereka berharap, pemerintah membuat regulasi yang mengamankan perdagangan tekstil Indonesia.

Wajar jika pengusaha lokal merasa khawatir dan terancam. Gempuran pakaian dari luar negeri ini menyeruak sejak tahun 2016. Sejak tiga tahun lalulah, nilai impor dari produk-produk berkode HS 62 ini mulai melambung.

Dalam data yang terlampir di UN Comtrade, statistik perdagangan resmi milik PBB, rata-rata pertumbuhan nilai impor pakaian dunia ke Indonesia pada periode tersebut menyentuh 34,98% tiap tahunnya.

Pada tahun 2016, nilai impor pakaian Indonesia secara keseluruhan berada di angka US$238,70 juta. Namun pada tahun 2018, nilainya sudah melonjak menjadi US$434,85 juta.

Kenaikan nilai impor pakaian dari China bahkan lebih parah. Masih dari data yang sama, nilai impor pakaian dari Negeri Tirai Bambu ke nusantara mencapai 59,19% tiap tahunnya dalam periode 2016—2018. Pertumbuhan tersebut hampir dua kali lipat dibandingkan pertumbuhan impor pakaian dari dunia ke tanah air.

Nilai impor produk berkode HS 62 China pada tahun 2016 berada di angka US$94 juta. Nilainya melambung ke angka US$238,20 juta, pada tahun 2018.

Pertumbuhan impor dari China ini pulalah yang disinyalir menjadi penyebab melambungnya nilai impor pakaian ke Indonesia. Pasalnya dalam tiga tahun ke belakang, impor pakaian dari China berkontribusi rata-rata 47,03% dari total nilai impor berkode HS sama. Bahkan pada 2018 kemarin, sebesar 54,78% dari total nilai impor pakaian ke Indonesia berasal dari Negeri Panda.

Itu baru impor terkait pakaian, belum termasuk tekstil dan produk tekstil (TPT) lainnya. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyatakan, sampai tahun 2017 saja total nilai tekstil secara keseluruhan sudah menyentuh angka US$8,04 miliar.

Imbas Perang Dagang
Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listyanto menilai, serangan impor produk tekstil itu turut disebabkan perang dagang dua raksasa; China versus Amerika. Serbuan impor tekstil China ke Indonesia tak lain merupakan peralihan arus perdagangan tekstil China yang saat ini sudah sulit masuk pasar Amerika.

Belum lagi, tambah Eko, daya saing produk tekstil Indonesia kalah dengan produk tekstil China. Harga tekstil yang lebih murah tak kuasa menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat.  “Sebenarnya tekstil kita kualitasnya relatif bagus. Tetapi memang sepertinya kalau saya lihat kurang mampu bersaing merebut pangsa pasar domestiknya,” ujar Eko kepada Validnews, Senin (29/7).

Ada juga faktor lain; yakni persaingan perdagangan bebas yang tidak adil.  China memberikan subsidi eskpor sebesar 8%, sementara negara-negara lain tidak. Hal inilah yang menjadikan harga produk tekstil China lebih murah dari pada harga produk tekstil Indonesia.

“Sebenarnya yang tidak logis di kita adalah jumlah penduduknya besar 267 juta jiwa secara kalkulasi kasar kan semua butuh sandang dan pasti itu harusnya bisa kita cukupi,” tandas Eko.

Ketua API, Ade Sudrajat, mengamini analisis ini. Gempuran tekstil China ke Indonesia juag terpengaruh perang dagang. “Kalau dua raksasa bertempur, pasti ya korbannya Indonesia, Thailand, negara-negara begitu lah. Artinya, kita dituntut harus lebih berinovasi. Kita dituntut harus bekerja lebih efisien, lebih keras lagi,” terang Ade kepada Validnews, Rabu (31/7).

Ade pun mengamini daya saing produk tekstil China lebih unggul. Pabriknya dikelola secara efisien dan menggunakan teknologi terbaru. Sementara di Indonesia, teknologi pada pabrik tekstil masih menggunakan teknologi sama sejak 30 tahu lalu. Ada pula dukungan birokrasi pemerintah yang mempermudah ekspor. Sementara hal itu tidak terjadi di Indonesia.

“Zaman sekarang untuk memenangi daya saing itu harus efisien, baik teknologi, produksi maupun pelayanan publiknya. Jadi, pabrik harus efisien, pemerintah harus efisien, baru kita akan memenangi. Salah satu tidak efisien, kita kalah,” tegas Ade.

Duniatex Terpukul
Serbuan produk tekstil dari China, menurut peneliti Indef  Eko Listiyanto, menjadi salah satu penyebab melemahnya salah satu perusahaan tekstil raksasa Indonesia, yakni Duniatex. Dua pekan lalu, tepatnya 16 Juli 2019, peringkat obligasi yang dijual anak usaha grup Duniatex, PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT), sudah dipangkas oleh Standard & Poors (S&P) Ratings. Tak tanggung-tanggung, peringkat obligasi yang dijual DMDT dipangkas hingga 6 level, dari BB- menjadi CCC-.

Peringkat CCC- menandakan kondisi perusahaan tengah goyah dan sangat bergantung pada kondisi ekonomi yang menguntungkan agar dapat memenuhi kewajibannya. Sementara BB- menandakan kondisi perusahaan dalam memenuhi kewajibannya cukup memuaskan.

Melansir Bloomberg, persoalan dipangkasnya rating DMDT, bermula ketika perusahaan menerbitkan obligasi dalam bentuk dolar AS sebesar US$300 juta di Maret 2019. Surat utang global bertenor lima tahun itu memiliki kupon sebesar 8,62%.

Surat utang DMDT awalnya mencapat sambutan positif oleh investor global. Permintaan untuk obligasi tersebut bahkan dikabarkan sempat mencapai US$1 miliar atau sekitar tiga kali lipat dari nilai obligasi yang disebar perseroan. Namun empat bulan kemudian, peringkat obligasi DMDT justru turun menjadi CCC-.

Selain karena faktor potensi gagal bayar, S&P melihat likuiditas Duniatex yang lemah akan berpengaruh terhadap bisnis DMDT. Dampak seretnya likuiditas Duniatex ini tampak pada kasus gagal bayar untuk kupon pinjaman dolar AS perusahaan anakan Duniatex lainnya, yakni PT Delta Dunia Sandang Tekstil (DDST), yang jatuh tempo pada 10 Juli kemarin sebesar US$11 juta.

"Kami meyakini likuiditas yang lemah di induk usaha Duniatex ini akan juga berpengaruh terhadap DMDT," tutur Analis S&P Global Ratings, Harshada Patwardhan, seperti dikutip dari laman resminya.

Dalam laporannya, S&P menyebutkan bahwa kasus gagal bayar utang atas obligasi yang diterbitkan DMDT itu, merupakan dampak tidak langsung dari ketegangan perang dagang Amerika Serikat dan China.

“Ketegangan perdagangan AS–Cina yang sedang berlangsung, secara signifikan merugikan pasar tekstil Indonesia,” tulis S&P seperti dikutip dari Bloomberg.

Setelah pemangkasan peringkat Duniatex oleh S&P, berdasarkan data yang sama, harga terendah obligasi DMDT anjlok ke level US$34,64 sen. Padahal sehari sebelum dinyatakan gagal bayar, obligasi ini diperdagangkan di atas US$103 sen.

Tidak hanya S&P, Fitch Ratings juga memangkas skor kredit DMDT. Rating DMDT ditekan menjadi B- dari sebelumnya BB-.

Langkah Pemerintah
Perang dagang antara Amerika dan China nyatanya saat ini terlihat berimbas negatif bagi Indonesia, lantaran produk tekstil China yang sulit masuk pasar Amerika justru mengalir ke Indonesia. Padahal perang dagang dua negara ekonomi besar tersebut sebelumnya diyakini dapat meningkatkan penjualan Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia.

Mengamati bahayanya perdagangan produk tekstil China yang harganya lebih rendah dari produk tekstil Indonesia, Direktur Pengamanan Perdagangan Ditjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), Pradnyawati menyatakan, pemerintah Indonesia sudah memiliki Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI), yang bertugas melindungi penjualan industri dalam negeri. KPPI bisa mengenakan safeguard ketika Komite pengamanan perdagangan Indonesia dan mengganggu produsen produk serupa dalam negeri.

Lonjakan impor produk tekstil dari China bisa dikenakan safeguard. Namun dengan syarat, lonjakan impor itu memang menyebabkan injury di dalam negeri. Produsen dalam negeri pun harus mengajukan filling complain ke KPPI untuk diproses.

“Negara lain mainannya seperti itu. Kalau dari China itu dicurigai harganya harga dumping, artinya mereka menjual ke sini dengan harga lebih murah itu, kita bisa kenakan bea masuk antidumping,” ujar Pradnyawati kepada Validnews, Senin (29/7).

Jika pasar tekstil dalam negeri terbukti terganggu dengan masuknya barang tekstil dari China, KPPI bisa seperti Uni Eropa melakukan inisiasi penyelidikan. Selanjutnya, penyelidikan berproses, disusul pengisian kuesioner, verifikasi, pengeluaran bea masuk sementara untuk menghentikan barang tekstil China masuk. Barulah keluar bea masuk final.

“Seperti itu, sama prosenya, di mana-mana. Karena memang di-guide oleh WTO,” tandas Pradnyawati.

Ketua API, Ade Sudrajat mengaku, saat ini Asosiasi Pertekstilan Indonesia dan sejumlah rekan pengusaha serta asosiasi di bidang sama sedang merumuskan laporan tentang gempuran produk tekstil China di Indonesia. Hal ini dilakukan untuk mengamankan pasar tekstil Indonesia.

“Untuk berdaya saing, kita diperkenankan oleh WTO mengambil langkah yang namanya pengamanan pasar dalam negeri. Itu kita lakukan. Setuju atau tidaknya nanti kita buktikan,” tandas Ade. 

Langkah ‘perlawanan’ bisa saja mulai diambil. Namun, jika bea final baru telah ditetapkan karena impor dari China sudah mengganggu, patut diingat kondisi tersebut hanya berlaku bagi impor legal. Lantar, bagaimana dengan pengiriman produk tekstil dari China yang bisa diakses lewat e-commerce? (Zsazya Senorita, Kartika Runiasari, Agil Kurniadi)

  • Share:

Baca Juga

Kultura

Mengenal Herpes Zoster Atau Cacar Api

  • 08 April 2021 , 16:15
Kultura

Mengenal Sederet Manfaat Diet Flexitarian

  • 29 Maret 2021 , 08:07
Nasional

Densus 88 Tangkap 22 Terduga Teroris Kelompok Jamaah Islamiyah

  • 22 Maret 2021 , 15:08

Tulis Komentar

Lupa Password?

ATAU

MASUK DENGAN

Facebook
Google+
Belum memiliki Akun? Daftar Sekarang

Belum ada komentar.

Vista

Napas Panjang Ahli Pemberdayaan


  • Terbaru

Legislator Harap IE-CEPA Perkuat Kinerja Ekspor Nasional
10 April 2021 , 18:00

Legislator juga berharap kerja sama dengan negara-negara EFTA ini bisa segera membantu persoalan ekspor kelapa sawit Indonesia

Pemuda dan Bujukan ‘Syurga’
10 April 2021 , 18:00

Perempuan cenderung lebih emosional dibandingkan laki-laki sehingga lebih mudah direkrut oleh kelompok ekstremis

Tips Dekorasi Ruangan Agar Lebih Meriah Sambut Ramadan
10 April 2021 , 17:58

Sebelum pandemi, tema nuansa Timur Tengah seperti 1001 malam hingga Arabian Nights mewarnai setiap rumah dan proyek

Pemuda dan Bujukan ‘Syurga’
10 April 2021 , 18:00

Perempuan cenderung lebih emosional dibandingkan laki-laki sehingga lebih mudah direkrut oleh kelompok ekstremis

PELUANG USAHA

Masih Ada Sinar Jadi Tukang Gambar
09 April 2021 , 21:00

Profesi ‘Tukang Gambar’ handmade pada era download dan repost masih punya peluang besar. Banyak orang yang mulai kembali melirik manual illustration, sejak 2017 hingga saat ini

Pencegahan Menyusut, Teror Berlanjut
08 April 2021 , 21:00

Program deradikalisasi mantan napi terorisme di luar lapas, tak sebaik yang dilakukan di dalam lapas. Padahal, BNPT sendiri kewalahan untuk mencegah penyebaran paham radikal melalui internet

Menjaga Yang Pernah Tersesat Dengan Pundi Kuat
06 April 2021 , 21:00

Kesulitan ekonomi kerap menggiring mantan narapidana teroris (napiter) untuk kembali ke jalan yang salah

Tugas Berat Di Tanah Pusara
05 April 2021 , 21:00

Penggali kubur sering kali menjadi pelampiasan emosi keluarga jenazah covid-19

Wajah Kekinian Film Kita
03 April 2021 , 18:00

Kejayaan film Indonesia diyakini bisa berulang

Film Nasional Di Titik Nadir
01 April 2021 , 21:00

Pandemi covid-19 membuat masalah yang selama ini terjadi di industri perfilman nasional menjadi lebih parah

  • Fokus
  • Paradigma

SENI & BUDAYA

Ledekan Dalam Lawakan
07 April 2021 , 15:38

Setiap orang punya keunikan masing-masing yang bisa digali dan menjadi materi roasting.

Mengerek Harga Pantas Atas Karbon Indonesia
29 Maret 2021 , 19:05

Perdagangan karbon jelas dapat mendukung kelestarian hutan Indonesia

SENI & BUDAYA

Mengapa K-Pop Begitu Mendunia?
26 Maret 2021 , 17:00

Meski masih banyak yang tak suka dengan keberadaannya, musik dan aneka hiburan yang ditawarkan berbagai kelompok vokal asal Korea Selatan ini terbukti punya pengaruh besar di ranah internasional.

Fokus Ke Asia, Michelin Tingkatkan Kapasitas Produksi 22%
10 April 2021 , 11:00

Pasar Asia berkontrubusi 18% dari total serapan kapasitas produksi Michelin

PSBB Total, MRT Lakukan Penyesuaian Operasional
14 September 2020 , 10:47

Ada pembatasan jumlah penumpang menjadi 62 -67 orang dalam satu kereta

BERSAMA BIJAK TANGGAPI BENCANA

Urgensi Ketegasan Dalam Penanganan Covid-19 di Indonesia
27 Maret 2020 , 20:00

Ada indikasi bahwa pemerintah seolah gamang, dalam mengambil tindakan tegas untuk penanganan Covid-19

 
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Disclaimer & Privacy Policy
  • Kontak
© Copyright validnews.co. All rights reserved.