- Nasional
Menelisik Tren Mobil Listrik
18 Januari 2021 , 13:00

Oleh Kevin Sihotang*)
“The FIRST #teslamodel3 midnight silver in Indonesia Finally Arrived!! Rasanya kaya nyetir SMARTPHONE... Also.. The first Car yg ga kena Ganjil Genap.. A.. Ha... Ha.... Damn love it.”
Begitu unggahan Deddy Corbuzier dalam akun instagramnya @mastercorbuzier pada 26 September 2019 silam, usai mendapatkan mobil listrik pesanannya, Tesla Model 3.
Setelah itu, diketahui ternyata banyak selebritas dan pejabat yang juga memiliki beragam model Tesla. Sebut saja nama Raffi Ahmad dan Dian Sastro Wardoyo, lalu politisi sekaligus pengusaha Ahmad Sahroni dan Bambang Soesatyo. Sampai akhir Desember 2019, sekitar 50-an pemilik Tesla dari berbagai model membentuk satu komunitas pertama di Indonesia bernama Tesla Club Indonesia (TCI).
Setahun kemudian, pada akhir 2020, mobil listrik Tesla sudah bisa dibeli lewat daring dari salah satu marketplace Tokopedia. Bahkan, Prestige Motorcars selaku importir umum Tesla di Indonesia, memberi penawaran menarik berupa diskon Rp50 juta.
Ya, beberapa tahun belakangan, eksistensi mobil listrik di Indonesia makin menguat. Meskipun belum bisa menggantikan eksistensi mobil konvensional bermesin bakar, konsumen sudah mulai akrab dengan kendaraan bertenaga listrik atau hybrid.
Sejatinya, tak hanya Tesla yang menjadi mobil listrik yang dijual di Indonesia. Mengutip data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), sudah ada beberapa kendaraan bertenaga listrik yang ditawarkan di Indonesia.
Saat ini, mobil listrik yang paling banyak terjual adalah Hyundai Ioniq. Pada awal 2020, Hyundai Ioniq diimpor dari Korea Selatan untuk memenuhi armada taksi online Grab. Baru mulai November 2020, Hyundai resmi meluncurkan Ioniq untuk konsumen umum.
Total, selama 2020 (Januari—November 2020) Hyundai menjual mobil listrik Ioniq sebanyak 71 unit. Sampai saat ini, Ioniq menjadi mobil listrik murni (Battery Electric Vehicle/BEV) yang paling murah di Indonesia. Hyundai Ioniq Prime dijual dengan harga Rp624,8 juta dan Hyundai Ioniq Signature dibanderol Rp664,8 juta.
Hyundai juga menjual Kona Ev yang berbentuk SUV. Kona EV menjadi mobil listrik terlaris kedua di Indonesia tahun 2020 yang terjual sebanyak 38 unit dengan harga per unit Rp674,8 juta.
Selain mobil-mobil asal negeri gingseng, beberapa mobil listrik, baik BEV maupun hybrid yang juga sudah mulai dilirik konsumen Indonesia adalah BMW i3s, Lexus UX 300e, Toyota Corolla Cross Hybrid, dan Nissan Kicks e-POWER.
Seiring dengan waktu, banyak orang termasuk pemerintah memang akhirnya mulai menerima kendaraan listrik sebagai keniscayaan yang tak bisa dihindari di masa depan. Tak hanya sebagai bentuk antisipasi makin habisnya minyak bumi sebagai bahan bakar, tetapi juga jadi tren global yang hemat dan ramah lingkungan.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Tohir sempat berujar, penggunaan mobil listrik akan lebih hemat biayanya ketimbang memakai mobil berbahan bakar minyak. Hal itu ia sampaikan setelah tim dari PLN melakukan uji coba mengendarai mobil listrik dari Jakarta ke Bali.
Dari perjalanan tersebut, ongkos yang harus dikeluarkan hanya sebesar Rp200 ribu. Jauh lebih irit ketimbang ongkos membeli bensin pada mobil konvensional yang mencapai sebesar Rp 1,1 juta.
Mahal di Awal
Hanya saja, meski dikenal irit dalam operasionalnya, kendaraan listrik hingga kini masih dibanderol lebih mahal dari mobil konvensional kelas sejenis. Di pasar Indonesia saja, belum ada mobil listrik yang dilego dengan harga di bawah Rp500 juta. Satu masalahnya, biaya produksi baterai yang masih mahal.
Sebenarnya, problem ini sudah ada lebih dari seabad lalu. Sedikit cerita, kala itu Thomas Alva Edison pada penghujung abad ke-19 sudah yakin, mobil tenaga listrik kelak akan menjadi sebuah kendaraan di masa depan.
Karenanya, ia mulai menciptakan baterai yang dapat bertahan lama untuk digunakan di mobil komersial. Ia pun menggandeng Henry Ford untuk mengembangkan mobil listrik dengan harga murah pada tahun 1914.
Namun, nyatanya mobil listrik belum jadi pilihan karena harganya yang tinggi. Pada 1912, harga mobil berbahan bakar bensin dilego sekitar US$650, sementara mobil tenaga listrik di jual sekitar US$1.750. Kondisi ini membuat pengembangan mobil listrik pun mandek.
Dikutip dari Bloomberg, baterai dalam mobil listrik sangat mahal karena komponen-komponen yang ada di dalamnya. Komponen termahal yaitu cathode atau katode, salah satu dari dua elektroda yang menyimpan dan melepaskan muatan listrik.
Bahan yang digunakan untuk memproduksi katode, sejauh ini masih sangat mahal karena katode tersebut harus bisa menyimpan energi yang besar. Katode dibuat dengan menggunakan logam seperti kobalt, nikel, litium, dan mangan. Logam-logam ini perlu ditambang, diproses, dan diubah menjadi senyawa kimia dengan tingkat kemurnian tinggi.
Biaya rata-rata yang diperlukan untuk memproduksi baterai mobil listrik disebut-sebut mencapai sekitar US$7.350. Itu pun sudah turun banyak sekitar 87% dalam sepuluh tahun terakhir.
Asal tahu saja, saat ini harga per kilowatt hour (kWh) yang dihasilkan mobil listrik sekitar US$156. Nah, pada 2010 dulu, biaya per kWh masih mencapai US$1.183. Padahal, hitung punya hitung, agar bisa menyesuaikan dengan biaya produksi mobil berbahan bakar dalam (bensin), biaya produksi baterai setidaknya menyentuh di kisaran US$100.
Sayangnya, para peneliti BloombergNEF memperkirakan harga tersebut kemungkinan besar tidak akan turun dalam waktu dekat ini.
Sekadar informasi, agar mesin terawat, mobil listrik mengharuskan pemiliknya menempuh jarak 15.000 mil atau sekitar 24.100 km per tahunnya. Untuk jarak tempuh sepanjang itu, rata-rata dibutuhkan biaya sebesar US$546. Sementara itu, mobil berbahan bakar bensin juga membutuhkan jarak yang sama per tahunnya, dengan perkiraan biaya sekitar US$ 1.255 atau 130% lebih mahal.
Untuk urusan pemeliharaan, mobil listrik tidak memerlukan perawatan yang serumit mobil bensin. Hal ini karena mobil listrik tidak memerlukan penggantian oli dan filter oli secara rutin.
Situs AAA Auto Repair menghitung, mobil listrik memerlukan biaya US$330 lebih murah ketimbang mobil bensin yang mengharuskan pemiliknya membayar rata-rata biaya sebesar US$949 per tahun.
Masih Khawatir
Selain masalah harga, sejumlah kekhawatiran nyatanya masih menyeruak di tengah masyarakat. Salah satunya adalah masalah akses charging station di luar rumah. Untuk diketahui, baterai mobil listrik saat ini rata-rata hanya mampu diajak jalan sekitar 300—400 km.
Ada sih yang mengklaim bisa mencapai lebih dari 600 km, seperti Tesla model S. Bahkan, produsen otomotif Cina, NIO, membuat gebrakan dengan menghadirkan mobil listrik ET7 yang bisa menempuh jarak hingga 1.500 km. Namun, itu belum jadi kelaziman.
Apalagi, seberapa pun jarak bisa ditempuh, jika stasiun pengisian baterai atau fasilitas sejenis belum banyak ada, tak seperti SPBU, kekhawatiran mobil listrik mati di jalan selalu ada.
Belum lagi dengan waktu pengisian daya yang terbilang lama. Rentang waktu yang dibutuhkan untuk mengisi daya baterai adalah 30 menit hingga 12 jam lebih, tergantung dari ukuran dan kapasitas baterai yang digunakan serta kecepatan perangkat pengisinya.
Kebanyakan pemilik mobil listrik akan mengisi daya baterainya di rumah pada malam hari, sambil ditinggal tidur. Paginya, baterai mobil bisa terisi penuh dan siap untuk kembali diajak ke kantor atau beraktivitas.
Beberapa orang juga masih menganggap biaya pemeliharaan mobil listrik akan jauh lebih mahal, meskipun produsen sudah berupaya memberikan kampanye lewat beragam cara. Selain itu, masih juga ada anggapan, belum banyak bengkel yang bisa melakukan perawatan mobil listrik.
Ancaman Pejalan Kaki
Dari semua informasi yang beredar, mobil listrik memang diyakini bebas emisi, baik udara maupun suara. Akan tetapi, di balik “keunggulannya” tersebut, justru ada “kekurangan” yang bisa menimbulkan masalah serius.
Kondisi nirsuara ini, berpotensi membuat sejumlah orang tak mengetahui kehadiran mobil listrik. Terlebih para tuna netra dan orang-orang yang sedang mengalami gangguan penglihatan.
Sebuah penelitian di Inggris mengatakan bahwa jumlah pejalan kaki tertabrak oleh mobil listrik dan mobil hybrid 40% lebih banyak ketimbang yang tertabrak mobil bensin. Lalu, 93% dari pejalan kaki tuna netra dan pejalan kaki dengan gangguan penglihatan yang disurvei, merasa terancam dengan keberadaan mobil listrik.
Karena itulah, di Eropa, perusahaan produsen mobil listrik dan mobil hybrid diwajibkan menyertakan teknologi suara buatan untuk mengatasi masalah ini. Sebelumnya, pemasangan teknologi itu hanya bersifat imbauan dari Komisi Eropa. Kini, sifatnya wajib, termasuk untuk mobil-mobil listrik yang sudah lebih dulu terjual.
Beragam pengetatan aturan dan penyempurnaan ini pun alhasil membuat mobil listrik makin diterima pasar. Sepanjang 2020, lebih dari 500.000 unit mobil listrik telah terjual di Eropa.
Dilansir dari Statista, pada 2019, Norwegia menduduki peringkat pertama dalam tingkat penjualan mobil listrik, yakni sebesar 55,93%. Islandia berada di peringkat kedua dengan tingkat penjualan mobil listrik sebesar 17,79%, disusul Belanda dengan 15,01%, Swedia dengan 11,35%, Finlandia dengan 6,89%, Portugal dengan 5,67%, dan China dengan 5,62%.
Pada 2020, Norwegia juga jadi negara pertama yang melaporkan tingkat penjualan mobil listrik tertinggi di dunia. Federasi Lalu Lintas di sana melaporkan, penjualan mobil listrik di Norwegia melampaui tingkat penjualan mobil bensin, diesel, dan hybrid, tepatnya sebesar 54,3% dari total penjualan mobil baru secara keseluruhan. Model paling laris dibeli adalah mobil keluaran Volkswagen/Audi e-tron, Tesla Model 3, Volkswagen ID.3, dan Nissan Leaf.
Kini, Norwegia sedang on track menuju dekarbonasi semua kendaraan pada 2025 mendatang. Beberapa kebijakan yang dilakukan pemerintah Norwegia, seperti pembebasan pajak, pembebasan tarif tol, dan insentif lainnya, sangat efektif dalam mendorong tingkat penjualan kendaraan listrik di sana.
Mobil Listrik di Indonesia
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Apakah bisa sedikit merasakan keuntungan euforia dari kendaraan listrik saat ini? Atau, lagi-lagi hanya akan menjadi pasar empuk buat para produsen mobil listrik?
Selain kabar soal pabrik baterai yang akan dibangun sejalan dengan banyaknya pasokan nikel dari Sulawesi, pada 2021 ini, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan PT Hyundai Motor Manufacturing Indonesia (HMMI) yang berlokasi di Cikarang, Jawa Barat, siap memproduksi mobil listrik.
Proyek investasi pabrik mobil Hyundai tersebut merupakan hasil pertemuan Presiden Jokowi dengan Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in di Busan, November 2019 lalu.
Di Indonesia sendiri, pengembangan mobil listrik sebenarnya sudah dimulai sejak 2012. Saat itu, proyek diprakarsai oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan yang menggandeng Ricky Elson, seorang anak muda Indonesia yang ahli di bidang motor listrik untuk mengembangkan mobil listrik buatan Indonesia.
Hasilnya, terciptalah mobil listrik bernama Selo yang dipamerkan saat KTT APEC di Bali pada 2013 dan Danet Suryatama dengan mobil Tucuxi-nya. Namun, sayangnya dengan segala macam kontroversinya, setelah itu pengembangan mobil tenaga listrik di Indonesia mengalami masalah, bahkan terhenti.
Sekitar lima tahun kemudian, ketika mobil listrik mulai jadi tren, cerita soal Dahlan dan Ricky Elson pun kembali menyeruak ingatan. Namun, alih-alih one step ahead, kini kita mungkin sudah two step behind karena potensi yang dulu ada tak digenjot dengan serius.
Atau, jangan-jangan bangsa ini memang sudah di-set sedemikian rupa oleh berbagai kekuatan, hanya boleh menjadi pasar atau arena pertempuran produsen-produsen dunia. Ya, buat menyenangkan hati, paling jadi basis produksi pabrik mobil atau pemasok nikel buat baterai listrik.
Mudah-mudahan, Indonesia juga bisa menjadi produsen mobil listrik, tanpa harus menunggu lagi sampai produsen-produsen dunia itu memproduksi mobil terbang.
*) Peneliti Muda Visi Teliti Saksama
Referensi:
Antara (2020). Jabar terima tiga mobil listrik dari Hyundai. Diakses dari: https://www.antaranews.com/berita/1919336/jabar-terima-tiga-mobil-listrik-dari-hyundai
Antara. (2020). Bahlil: Hyundai siap produksi mobil listrik 2021. Diakses dari: https://www.antaranews.com/berita/1920268/bahlil-hyundai-siap-produksi-mobil-listrik-2021
Bloomberg. (2020). Why building an electric car is so expensive, for now. Diakses dari: https://www.bloomberg.com/news/articles/2020-10-22/why-building-an-electric-car-is-so-expensive-for-now-quicktake
Entrepreneur. (2020). Norway, the first country in the world where the purchase of electric cars exceeds that of other new cars. Diakses dari: https://www.entrepreneur.com/article/362907
NPR. (2020). Nice car, but how do you charge that thing? Let us count the ways. Diakses dari: https://www.npr.org/2020/11/24/938156943/nice-car-but-how-do-you-charge-that-thing-let-us-count-the-ways
Resources for the Future. (2020). Climate Insights 2020: Electric Vehicles. Diakses dari: https://www.rff.org/publications/reports/climateinsights2020-electricvehicles/#:~:text=40%25%20of%20Americans%20said%20they,will%20consider%20buying%20an%20EV.
The Guardian. (2020). More than 500,000 full electric cars sold so far this year in Europe. Diakses dari: https://www.theguardian.com/business/2020/dec/03/more-than-500000-full-electric-cars-sold-in-europe-in-10-months
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN