• Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Ekonomi

Mendamba Tempe Selalu Di Meja

Kisruh naiknya harga kedelai berulang terjadi. Selama enam tahun terakhir ini kenaikannya pesat
12 Januari 2021 , 21:00
Pekerja menyelesaikan pembuatan tahu di Kelurahan Bojongsari, Indramayu, Jawa Barat, Rabu (30/12/2020). Sejumlah produsen tahu dan tempe di Indramayu berencana melakukan aksi mogok produksi mulai 1 Januari hingga 3 Januari 2021 sebagai bentuk protes atas melonjaknya harga kedelai dari Rp7.000 per kg menjadi Rp10.000 per kg. ANTARAFOTO/Dedhez Anggara
Pekerja menyelesaikan pembuatan tahu di Kelurahan Bojongsari, Indramayu, Jawa Barat, Rabu (30/12/2020). Sejumlah produsen tahu dan tempe di Indramayu berencana melakukan aksi mogok produksi mulai 1 Januari hingga 3 Januari 2021 sebagai bentuk protes atas melonjaknya harga kedelai dari Rp7.000 per kg menjadi Rp10.000 per kg. ANTARAFOTO/Dedhez Anggara

JAKARTA – Persepsi warga Indonesia terhadap impor, didominasi rasa antipati. Apalagi yang diimpor adalah bahan pangan. Impor di bidang pangan, kerap dipandang berseberangan dengan nasionalisme. Sentimen begitu menggelora saban pemberitaan impor bahan pangan. Hal itu juga, kerap muncul di jelang pemilu, baik pilpres maupun pilkada.

Namun sejatinya banyak yang tak paham apa saja bahan pangan yang kita impor, dan kenapa impor dilakukan.

Tempe dan tahu, misalnya. Sadarkah masyarakat jika sebagian besar kedelai yang digunakan para perajin tahu dan tempe adalah barang impor? Atau mi instan dan roti, yang gandumnya juga nyaris semuanya impor. Di negeri ini, hampir tak ada yang menanam gandum di Indonesia.

Entah sejak kapan masyarakat Indonesia mengonsumsi tahu tempe. Keduanya bahkan jadi lauk ikonik Indonesia yang terkenal di penjuru dunia. Bule-bule sampai mereka yang dari Asia Timur ketagihan kudapan sehat ini. Popularitas tahu dan tempe tentu bikin hati bangga. Banyak pula yang mengklaim bahwa tahu dan tempe adalah produk asli negeri ini.

Sejatinya, tak demikian. Aspek TKDN atau tingkat komponen dalam negeri kedua makanan itu menyebabkan keduanya tak layak disematkan sebagai 100% produk Indonesia. Kedelai sebagai unsur utamanya, tak ada di Tanah Air nan gemah ripah loh jinawi.

Jangan dikira pilihan untuk menggunakan kedelai impor diambil para perajin tanpa risiko. Mereka selalu menghadapi risiko berulang. Ketersediaan barang impor ini bergantung pada kelancaran produksi di negara produsen. Juga, faktor kemulusan proses impor. Tidak setiap waktu semuanya lancar. Jika ada kendala pada salah satunya, harga kedelai impor di pasar domestik bisa meroket. Belakangan ini terjadi lagi.

Produsen dua makanan ini kerap tertekan saat harga kedelai global meroket. Bagaimana, tidak? Wong, harga kedelai yang biasanya dijual seharga Rp7.000 per kg, naik sampai Rp9.000 per kg, bahkan lebih. Di berbagai daerah mereka kewalahan. Jika pun ada stok, tetap ada dilema. Untuk pasar, harga jual harus tetap terjangkau.

Karena tak bisa menaikan harga secara langsung, Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo), Aip Syarifuddin bersama kawan-kawannya memilih untuk mogok produksi selama tiga hari yakni sejak tanggal 1–3 Januari 2021.

"Lebih kurang 90% dari jumlah perajin tahu tempe di Indonesia mogok produksi. Jumlahnya ada 160.000 perajin," ucap Aip kepada Validnews, Jumat (8/1).

Efek kenaikan, membuat pengusaha mendesakkan kenaikan serta merta harga tempe dan tahu sebesar Rp2.000 per potong. Pasar bereaksi. Warga mempertanyakan lenyapnya tempe dari meja makan mereka.

Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Koperasi bersama merespons. Per tanggal 4 Januari 2021, harga sudah naik. Dari Rp4.000 menjadi Rp5.000 untuk potongan kecil. Sementara, potongan dua kali lipat besarnya kini Rp10.000 dari sebelumnya Rp8.000. Kelangkaan bahan, jadi apologi kenaikan harga.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan mengulas hal ini. Dia meminta pembangunan sektor pertanian mesti dilakukan dengan terobosan dan memanfaatkan teknologi.

 “Menurut saya tidak bisa kita melakukan hal-hal yang konvensional, yang rutinitas monoton seperti yang kita lakukan bertahun-tahun,” kata dia dalam Peresmian Pembukaan Rapat Kerja Nasional Pembangunan Pertanian Tahun 2021, Jakarta, Senin (11/1)

Lahan yang luas dan produktivitas yang tinggi, menurutnya akan menyelesaikan masalah-masalah pertanian yang ada. Persoalan kedelai dinilai tak perlu berulang ke depannya.

“Lahan kita masih, cari lahan yang cocok untuk kedelai. Tapi jangan hanya sehektare dua hektare. Cari sampai 10 hektare, 100 hektare, 300.000 hektare, 500.000 hektare, 1 juta hektare,” tegasnya.

Terhadap kelangkaan kedelai, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo melakukan stabilisasi pasokan dan harga pasar di Jakarta. Kementerian menggandeng Gakoptindo serta Asosiasi Importir Kedelai Indonesia (Akindo) untuk menetapkan harga kedelai Rp8.500 per kg di tingkat pengrajin. Tujuannya, mengembalikan tahu dan tempe di piring makan warga.

Kisruh naiknya harga kedelai di Indonesia bukan terjadi sekali ini saja. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Syailendra mengakui bahwa selama enam tahun terakhir ini kenaikannya memang di luar ekspektasi.

Mengamini ini, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi memproyeksikan harga komoditas kedelai masih akan konsisten mengalami kenaikan harga hingga penghujung Mei 2021 atau selama 4–5 bulan mendatang. Dalam kurun waktu yang bersamaan harga kedelai juga akan membaik seiring dengan perbaikan hasil panen komoditas kedelai di Brasil yang dinyatakan membaik pada 2021.

"Brasil juga akan kembali kepada berproduksi (kedelai), mungkin lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya, jadi kami melihat bahwa harga ini akan menguat terus sampai dengan akhir Mei. Mudah-mudahan Juni sudah mulai membaik," katanya dalam konferensi pers daring, Jakarta, Senin (11/1).

Sementara itu, Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementan, Agung Hendriadi mengatakan, operasi pasar merupakan gerakan lanjutan dari upaya pengendalian harga dan pasokan  kedelai yang dilakukan Kementan bersama Gakoptindo dan Akindo sejak 5 Januari 2020.

Berdasarkan kesepakatan ketiga pihak, diputuskan dalam 100 hari mendatang, pasokan dan harga kedelai mesti stabil khususnya pulau Jawa. Berdasarkan surat edaran harga kedelai di perajin dipatok Rp8.500/kg. Dengan harga ini. Perajin diharap juga tidak perlu memperkecil ukuran tempe dan tahu meski ada kenaikan harga.

Di sisi lain, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Syailendra mengatakan, pihaknya mendorong dan sangat mendukung produksi kedelai dalam negeri. Kemendag sebagai ‘pemegang’ mandat impor, mengaku lebih mendukung produksi dalam negeri ketimbang yang dari luar.

 "Teman-teman Kementan itu sudah berupaya terus untuk bisa meningkatkan produksi dalam negeri. Jadi, untuk produksi kedelai, kita sangat mendukung dan mendorong teman-teman di pertanian. Hanya mungkin perlu waktu untuk terus meningkatkan produktivitasnya," tuturnya saat dihubungi Validnews di Jakarta, Jumat (8/1).

Candu Impor
Indonesia tak selalu mengimpor kedelai. Ada masanya kita pernah memproduksi kedelai begitu banyak. Produksi kedelai nasional pernah mencapai 1,7 juta ton pada 1993. Namun, terus menurun selama dua dekade terakhir ini. Menurut data Badan Pusat Statistik, sejak 2001–2015 penurunan semakin tajam, hingga produksi secara fluktuatif berada di kisaran 700.000–900.000 ton per tahunnya.

"Data tersebut menunjukkan bahwa komoditas kedelai terabaikan selama pemerintahan di era reformasi hingga pada waktu sekarang ini. Kebutuhan kedelai 10 tahun terakhir, untuk konsumsi nasional, sangat tergantung dari pasokan impor," ujar Ekonom Universitas Surakarta, Agus Trihatmoko melalui rilis resmi, Senin (11/1).

Impor kian tak terhindarkan. Nilainya terus merangsek hingga di atas 50%. Impor pada 2010 tercatat sebanyak 1.740 juta ton. Kemudian, pada 2019 menjadi 2.670 juta ton per tahun. Rerata volume impor di atas 90% berasal dari Amerika Serikat. Sisanya dari negara lainnya, yaitu Argentina, Malaysia, Kanada, dan lain-lain.  

Ketergantungan ini seolah kian tak terelakkan. Ketika Amerika mengalami kekeringan pada 2012, kedelai serta industri tahu dan tempe di Indonesia menjadi isu perekonomian nasional. Sekarang, hal serupa terjadi kembali, karena pasokan kedelai dari Amerika diborong oleh China, dan beberapa negara pemasok lainnya membatasi ekspor.

Padahal, menurut Agus, kekurangan pasokan kedelai hari ini dapat diantisipasi jauh-jauh hari. Perkuatan produksi di dalam negeri adalah kunci.

Kini, sebagai solusi taktis, pemerintah bersama para importir telah mengambil langkah atau upaya dengan menambah volume impor. Pemerintah akan segera melakukan operasi pasar dengan menjual kedelai impor tersebut agar harga terjangkau di pasaran. Namun demikian, pola operasi pasar bukanlah pendekatan ekonomi yang produktif.  

Agus menuturkan, kepentingan ekonomi jangka panjang atas kedelai semestinya diutamakan sejak jauh hari. Kemandirian produksi kedelai bukan hanya bersinggungan dengan masalah harga dan defisit pasokan saja, sebab Indonesia seharusnya mampu surplus kedelai.

“Pemerintah sedang membangun peyek food estate mulai tahun 2021 ini diharapkan untuk tanaman kedelai juga dijadikan prioritas dalam proyek besar tersebut,” imbuhnya.

Dua pendekatan melalui proyek food estate dan pemberdayaan kembali para petani merupakan pilihan strategis untuk keberhasilan ketahanan pangan kedelai.

Untuk mencapainya, dia juga menyerukan perlunya agar dana stimulan pemulihan ekonomi nasional (PEN) perlu diprioritaskan bagi para petani. Ini bisa ditujukan guna mendorong produksi kedelai secara masif. Artinya, dalam rancangan APBN 2021 dan tahun-tahun selanjutnya, stimulan bagi para petani kedelai perlu mendapatkan prioritas, juga untuk para petani tanaman pangan lainnya. Jadi, setelah panen harga dari petani kompetitif dibanding dengan harga dari produksi food estate atau pun impor.  

Hitungannya logis. Jika Indonesia mandiri memproduksi kedelai, memiliki peluang untuk menghemat devisa hingga mencapai Rp15 triliun. Bahkan, ke depan jika sudah surplus produksi kedelai nasional dapat mendulang devisa.

Tetapi, Pengamat Pertanian dari Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas Santosa berpandangan lain. Berkaca dari upaya yang sudah pernah dilakukan, Dwi pesimis. Kementerian Pertanian dinilainya tak bisa menggencarkan produksi di tengah kelangkaan. Pasalnya, program pertanian yang dicanangkan sejak masa kepemimpinan menteri-menteri sebelumnya–program padi, jagung, kedelai (pajale) –yang diproyeksi swasembada nyatanya tak mampu memenuhi ekspektasi end user.

Target swasembada yang awalnya pada 2019–namun diralat menjadi 2018–pun hanya mimpi semata. Nyatanya pada 2019, impor kedelai mencapai 7,2 juta ton, jauh meningkat dibandingkan 2014 yang mencapai 4,2 juta ton.

"Jadi kalau menteri yang sekarang bercita-cita dengan pola yang sama ya jawabannya sudah pasti gagal," ujar dia saat dihubungi Validnews, Kamis (7/1).

Lokal vs Impor
Mengingat bahwa kedelai merupakan tanaman subtropis, Dwi menganggap hal itu tidak berpengaruh terhadap 'mandek'-nya produksi kedelai lokal secara signifikan. Ia mengakui bahwa memang pada dasarnya produksi rata-rata per hektare hanya mencapai 1,3 ton.

Menurut Dwi, harga kedelai lokal yang lebih rendah dibandingkan produk impor membuat petani malas mengurus dan merawat komoditas itu. Efeknya tentu ke produktivitas rendah. Permasalahan berikutnya ialah persepsi bahwa kedelai impor lebih baik kualitasnya dibandingkan kedelai lokal karena ukurannya yang besar. Padahal sebenarnya, kedelai lokal kualitasnya lebih bagus, baik dari segi rasa maupun gizi.

Namun demikian, masih ada harapan bagi kedelai lokal. Biasanya, kedelai ditanam pada musim panas dengan panjang hari 16 jam. Hal tersebut membuat tanaman kedelai lebih memungkinkan untuk ditanam di wilayah subtropis dengan waktu panen satu kali per tahunnya.

"Kalau Indonesia kan spesifik kedelai, air mencukupi, kita bisa tiga kali panen. Dan kedelai hanya 80 hari produksi, dikali tiga saja baru 270 hari," jelasnya.

Dwi pun tidak memungkiri bahwa ada kemungkinan pemerintah menyimpan cadangan kedelai guna mengantisipasi pada masa yang akan datang jika pasar komoditas tersebut kembali goyah. Tetapi, dia mengingatkan harus ada fasilitas penyimpanan yang memadai. Hal ini tak lepas dari umur penyimpanan kedelai yang cenderung pendek dan lebih mudah rusak karena tinggi protein.

Dukungan terhadap produk lokal dinyatakan juga oleh Ketua Gakoptindo Aip. Dia meyakini bahwa kedelai lokal memiliki gizi yang jauh lebih tinggi daripada kedelai impor. Hanya saja standardisasi kedelai lokal tidak seperti kedelai impor. Ada yang jelek, kurang bagus, ada yang bagus, dan lain-lain.

Jadi harganya juga tidak jelas dan bervariasi tergantung kualitas. Mulai dari Rp5.500 sampai dengan Rp10.000. Padahal para perajin butuh harga yang stabil dalam jangka panjang.

Berbeda dengan pendapat Dwi, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi justru mengatakan, kalau Indonesia tidak unggul dalam produksi kedelai. Dan jika dipaksakan, sumber daya akan terbuang sia-sia. Padahal, petani bisa memproduksi tanaman pangan lain dengan level probabilitas yang jauh lebih tinggi.

"Kalau tidak unggul, bisa fokus yang lain. Kita bisa fokus menciptakan surplus product saleable atau produk laku," jelasnya kepada Validnews, Jumat (8/1).

Ke depan, ia menyarankan agar Indonesia mencari alternatif negara lain sehingga perlu dilakukan pemetaan negara asal impor supaya tidak terlalu tergantung pada Amerika Serikat saja.

Dari pihak produsen sendiri, mereka mengkhawatirkan teknis penyediaan bahan baku. Sekjen Asosiasi Kedelai Indonesia (Akindo) Hidayatullah Suralaga justru mengaku khawatir jika kedelai kembali dikontrol Bulog dan impornya diserahkan kepada BUMN. Buatnya, harga yang ditawarkan BUMN tidak lebih murah.  

“Jadi, kalau kita mau menganggap kalau diserahkan ke BUMN pasti akan aman atau apa, belum tentu,” paparnya kepada Validnews, Selasa (12/1).

Kini, untuk sementara waktu, ketersediaan pasokan kedelai aman. Penikmat tempe-tahu sudah bisa merasakan keduanya kembali. Namun, untuk solusi permanen suplai kedelai, sejatinya kita masih bermimpi. Upaya komprehensif untuk mandiri dan swasembada masih jauh di depan mata.(Fitriana Monica Sari, Rheza Alfian, Khairul Kahfi, Yoseph Krishna, Zsazya Senorita)

  • Share:

Baca Juga

Kultura

Menjaga Asa Tanpa Laga

  • 23 Januari 2021 , 18:00
Nasional

Bertabur Teman Baru Di Tengah Pandemi

  • 18 Januari 2021 , 21:00
Kultura

Cegah Mata Kering Akibat Terlalu Lama Pakai Masker

  • 18 Januari 2021 , 11:00

Tulis Komentar

Lupa Password?

ATAU

MASUK DENGAN

Facebook
Google+
Belum memiliki Akun? Daftar Sekarang

Belum ada komentar.

Vista

Ironi Si Pengolah Sandi


  • Terbaru

KKP Dorong Penetapan Tiga Kawasan Konservasi Di Kalimantan
23 Januari 2021 , 18:00

BPSPL Pontianak akan melakukan penilaian evaluasi efektivitas pengelolaan di delapan kawasan konservasi yang sudah ditetapkan dan melakukan pendataan jenis ikan terancam punah

Total Penyebaran Covid-19 di Indonesia Hampir Sejuta
23 Januari 2021 , 18:00

Angka kesembuhan capai 791.059. Angka kematian mendekati 28 ribu jiwa

Menjaga Asa Tanpa Laga
23 Januari 2021 , 18:00

Pandemi membuat suporter tidak lagi bisa memenuhi tribun stadion. Hanya kecintaan terhadap tim kesayanganlah yang membuat mereka tetap bertahan, meski tanpa kepastian

Menjaga Asa Tanpa Laga
23 Januari 2021 , 18:00

Pandemi membuat suporter tidak lagi bisa memenuhi tribun stadion. Hanya kecintaan terhadap tim kesayanganlah yang membuat mereka tetap bertahan, meski tanpa kepastian

PELUANG USAHA

Modal Minim Bisnis Reparasi Kereta Angin
22 Januari 2021 , 20:22

Peluang laba dari pengelolaan bengkel sepeda masih terbuka lebar meski tren kemudian turun

Buah Senarai Samar Kompetisi
21 Januari 2021 , 21:00

Kelanjutan kompetisi masih tanda tanya. Beban klub tak tersolusikan

Kandas Laba Dari Olahraga
19 Januari 2021 , 21:00

Tak semua cabor bisa diadakan online. Faktor sponsor tetap menentukan

Bertabur Teman Baru Di Tengah Pandemi
18 Januari 2021 , 21:00

Pembatasan selama pandemi ini rentan memunculkan perasaan keterisolasian

Mencari Pengganti Kedelai
16 Januari 2021 , 18:00

Protein nabati pada kedelai paling lengkap. Rasanya membuat sulit tergantikan

Makanan Beku Untuk Kondisi Tak Menentu
15 Januari 2021 , 21:00

Sekitar 60% orang Indonesia lebih banyak ngemil selama pandemi dibandingkan sebelumnya

  • Fokus
  • Paradigma

Gaya Hidup Sehat Dan Bisnis Apparel Yang Melesat
21 Januari 2021 , 18:38

Pada masa pandemi, tampilan kasual yang dipengaruhi gaya sporty, akan tetap penting bagi pelanggan, khususnya Gen Z.

Menelisik Tren Mobil Listrik
18 Januari 2021 , 13:00

Mobil listrik mulai dilirik. Namun baru sebagian kelompok yang mampu menjamahnya. Selain faktor harga, ketersediaan fasilitas pendukung teknologi ini juga jadi pertimbangan calon konsumennya.

Krisis Repetitif Kedelai
15 Januari 2021 , 16:00

Tingkat konsumsi kedelai masyarakat Indonesia mengalami rata-rata pertumbuhan sebesar 7,97 kg/kapita/tahun

PSBB Total, MRT Lakukan Penyesuaian Operasional
14 September 2020 , 10:47

Ada pembatasan jumlah penumpang menjadi 62 -67 orang dalam satu kereta

BERSAMA BIJAK TANGGAPI BENCANA

Urgensi Ketegasan Dalam Penanganan Covid-19 di Indonesia
27 Maret 2020 , 20:00

Ada indikasi bahwa pemerintah seolah gamang, dalam mengambil tindakan tegas untuk penanganan Covid-19

MENYESAP BAHAGIA DENGAN BERDERMA

Tren Filantropi dan Potensi Kebaikan Hati
03 Februari 2020 , 18:19

Tren Filantropi dan Potensi Kebaikan Hati

 
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Disclaimer & Privacy Policy
  • Kontak
© Copyright validnews.co. All rights reserved.