- Kultura
Mencari Pengganti Kedelai
16 Januari 2021 , 18:00

JAKARTA – Seandainya ada kompetisi makanan yang 'Indonesia banget', agaknya tempe dan tahu bakal jadi juaranya. Bagaimana tidak? Penganan berbahan dasar kedelai ini selalu ada di meja makan keluarga Indonesia dan disukai semua kalangan. Mulai dari rakyat jelata hingga anak sultan. Tempe menjadi makanan yang tak kenal kelas sosial. Sejumlah presiden di Tanah Air pun menjadikan tempe salah satu menu makanan mereka.
Olahannya tempe dan tahu pun bervariasi, membuat lidah tidak jemu.
Mulai dari tempe dan tahu goreng, gorengan tempe dan tahu, tempe bacem, tempe orak arik, atau tumis. Tempe juga kerap nongol di sayur lodeh atau sayur berkuah santan lainnya. Belum lagi bentuknya sebagai camilan, seperti keripik tempe atau makanan khas Yogyakarta yang menjadi favorit Sri Sultan Hamengkubowono IX, jadah tempe; perpaduan ketan dan tempe.
Tidak ada yang tahu siapa yang pertama kali membuat tempe. Namun tempe diyakini berhubungan erat dengan tahu di Jawa. Tempe pertama kali muncul dari kedelai sisa di pabrik tahu yang dihinggapi kapang. Sementara tahu dibawa orang China ke Tanah Jawa sejak abad ke-17.
Terlepas dari siapa yang pertama kali menciptakan tempe, kehadirannya kadung melekat di keseharian dari generasi ke generasi. Adalah hal wajar, ketika kedelai sulit dicari di pasar, masyarakat sontak geger. Hal ini pula yang terjadi pada 1 sampai 3 Januari 2021. Produsen tempe tahu kelimpungan lantaran harga kedelai impor membumbung tinggi, naik dari Rp7.000/kilogram menjadi Rp9.200/kg sampai Rp9.500/kg.
Hal serupa bukan sekali dua kali terjadi.
Produsen tempe tahu juga sempat menjerit pada 2018. Candu terhadap kedelai impor membuat Indonesia tidak bisa berkutik. Swasembada kedelai sepertinya masih di angan-angan. Tapi mau sampai kapan?
Dari segi kandungan gizi, banyak makanan yang gizinya lebih kaya dari tempe. Sebut saja brokoli, ikan tuna, dada ayam, telur, kacang almond, dan udang. Tapi makanan-makanan ini tidak ramah di dompet. Tidak semua masyarakat Indonesia bisa menjangkau ikan tuna apalagi kacang almond.
Soal rasa, jangan ditanya. Tempe tidak ada tandingannya. Yang paling mendekati, ya, membuat tempe dari jenis kacang-kacangan selain kedelai, seperti kacang hijau, kacang polong, edamame, kacang merah, kacang hitam, kacang putih, kacang koro, hingga kacang garbanzo.
Bahkan beras, gandum, barley, hingga pasta dan mi instan pun bisa menjadi bahan dasar tempe.
Meski rasanya tidak sama dengan tempe, agaknya olahan tempe dari kacang-kacangan selain kedelai layak dipelajari atau dicoba, terutama untuk vegetarian. In case, kedelai langka lagi.
Banyak Jalan
Pada dasarnya, membuat tempe itu sederhana. Mulai dari merendam kacang semalaman, lalu direbus selama kurang lebih 30 menit agar terpisah dari kulitnya, keringkan, beri ragi, lalu masukkan kedelai ke wadah yang memiliki sirkulasi udara seperti daun pisang atau plastik yang diberi lubang. Tunggu 18 hingga 72 jam sampai akhirnya tempe siap diolah.
Co-founder Tempe Movement Indonesia, Amadeus Driando Ahnan Winarno mengatakan, kacang-kacangan selain kedelai bisa menjadi bahan dasar tempe. Prinsip membuatnya sesederhana pembuatan tempe biasa.
“Memang semua jenis tempe memiliki cita rasa dan nutrisi yang berbeda-beda. Kedelai memang yang paling populer karena orang-orang sudah familiar dengan rasanya. Kandungan proteinnya juga lebih tinggi dibandingkan kacang-kacangan lainnya,” ujar Ando, sapaan akrab Amedeus kepada Validnews, Jumat (15/1).
Namun perlu diingat, setiap kacang-kacangan memerlukan waktu perebusan yang berbeda-beda. Kacang merah dan kacang hitam, misalnya, jika merebus kurang lama, kacang tidak akan empuk. Di sisi lain, terlalu lama merebus akan menghasilkan kacang yang lembek.
Dari seluruh percobaan pembuatan tempe yang pernah dilakukan Ando, tempe kinoa (quinoa) membutuhkan waktu paling sebentar hingga menjadi tempe. Hanya butuh 18 jam. Kinoa merupakan serealia semu yang menjadi makanan pokok masyarakat Indian di Pegunungan Andes, Amerika Selatan. Disebut serealia semu karena bijinya bukan dihasilkan tumbuhan suku padi-padian.
Sementara pembuatan tempe dari kedelai paling membutuhkan waktu lama. Tapi, kata Ando yang juga peneliti pangan, proses pembuatannya tergantung juga pada suhu ruangan penyimpanannya. Semakin tinggi suhu penyimpanan tempe, semakin cepat tempe solid dan siap diolah.
Dari segi nutrisi, kedelai memang mengandung paling banyak protein dibanding kacang-kacangan lainnya. Namun, menurut Ando, rasa tempe berbahan dasar kacang-kacangan lain tidak jauh berbeda dengan tempe kedelai.
Tempe berbahan dasar edamame memiliki cita rasa yang paling mirip dengan kedelai. Rasanya bahkan jauh lebih gurih. Sementara itu, kacang hijau kalau gagal diolah akan memberikan rasa sedikit pahit. Namun kalau berhasil, akan terasa gurih dan dominan rasa pati.
Sementara tempe kacang hitam dan kacang merah akan memiliki rasa pati yang lebih dominan ketimbang kacang hijau. Pada tempe mi instan, ada rasa manis dari kandungan karbohidrat yang ada di mi instan karena dipecah menjadi gula saat proses fermentasi.
Kandungan Gizi
Selain rasanya yang lezat, tempe ternyata juga memiliki kandungan gizi yang tidak main-main. Dikutip dari laman Harvard, kedelai kaya akan isoflavon yang fungsinya mirip hormon estrogen, meski efeknya jauh lebih rendah.
Tak hanya itu, kedelai juga mengandung vitamin B, serat, kalium, magnesium, juga protein berkelas tinggi. Penelitian The College of New Jersey, Amerika Serikat, pada tahun 2004 bahkan membuktikan bahwa protein berkontribusi pada pembentukan otot.
Dibanding jenis kacang-kacangan lain, kedelai terbukti mengandung protein paling tinggi, yaitu sekitar 34% per 100 gram. Sementara protein pada kacang hijau hanya 20%, dan kacang tanah 28%.
Tidak seperti protein nabati lainnya, protein pada kedelai paling lengkap. Kedelai mengandung sembilan asam amino esensial yang tidak dapat dibuat oleh tubuh, hanya bisa diperoleh dari makanan. Sementara tubuh sendiri membutuhkan 20 jenis asam amino berbeda untuk mempertahankan kesehatan dan fungsinya dengan baik.
“Ada 11 asam amino yang mampu diproduksi tubuh dan sembilan asam amino lainnya (asam amino esensial) hanya bisa didapat dari makanan dan semuanya lengkap ada pada kedelai,” kata Dr. Susianto, MKM, seorang pakar gizi dan juga President of World Vegan Organization and Vegan Society of Indonesia kepada Validnews, (9/1).
Kedelai juga masuk dalam referensi The Protein Digestibility-Corrected Amino Acid Score (PDCAAS) yang diadaptasi Food and Agricultural Organization dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 1993. Disebutkan, sumber protein terbesar ada pada susu, telur, dan kedelai. PDCAAS adalah metode mengevaluasi kualitas protein dari kandungan asam amino dan bagaimana tubuh mencernanya.
PDCAAS menyebut, mutu kedelai setara dengan susu dan protein karena bisa memenuhi asam amino esensial. Sementara daging sapi hanya mendapat skor 0,92 di bawah kedelai, tetapi masih di atas kacang hijau dan kacang tanah.
Selain itu, kedelai mengandung lemak yang jauh lebih sedikit dari produk unggas atau daging sapi. Kedelai mengandung lemak baik yang bermanfaat menurunkan kadar kolesterol jahat.
Dr. Susianto menambahkan, kedelai pada tempe bahkan lebih kaya nilai gizinya dibanding tahu karena mengalami proses fermentasi. Proses fermentasi dapat meningkatkan mineral agar protein lebih mudah terpecah menjadi asam amino.
“Karena dalam tubuh protein harus dipecah dahulu untuk dicerna, jadi proses fermentasi itu membantu,” katanya.
Dampak
Nah, persoalan kelangkaan kedelai, tak hanya berdampak pada sajian di meja makan keluarga. UMKM yang memproduksi tahu dan tempe dalam skala besar, sangat merasakan kerugian.
Chef Stefu Santoso, Executive Chef di AMUZ Gourmet mengatakan lenyapnya tempe di pasaran lebih berdampak terhadap UMKM ketimbang rumah tangga. Bahkan, dapurnya tetap ngebul saat kedelai tidak ada.
“Saat kedelai langka itu yang bermasalah adalah pengusaha tempe dan tahunya, bukan masyarakatnya. Pengusaha gorengan kayak yang jualan di pinggir jalan itu sebenarnya yang akan terdampak karena konsumsi tempe dan tahunya banyak,” ujar Stefu dalam perbincangan dengan Validnews, Jumat (8/1).
Di ranah rumah tangga, tempe dan tahu bisa dengan mudah tergantikan dengan menu lainnya. Berbeda dengan pelaku bisnis gorengan yang menggunakan tempe dan tahu sebagai bahan dasar barang dagangan mereka. Mereka tidak bisa menggantinya begitu saja. Selain karena rasa dan teksturnya berbeda, hal itu akan sangat sulit.
“Kan enggak mungkin kita misalnya bikin masakan tahu buncis tapi tahunya diganti dengan yang lain atau tempe mendoan tapi enggak pakai tempe. Jadi solusinya ya kita tiadakan di menu untuk sementara waktu,” tutur Stefu.
Selain berprofesi sebagai Chef, Stefu juga memiliki usaha katering. Saat kedelai sulit dicari, restoran dan usaha kateringnya tidak begitu terdampak. Itu karena kunjungan orang ke restoran dan industri katering sedang mengalami penurunan sejak pandemi tahun lalu. Selain itu pula, ia sudah menyediakan stok untuk makanan yang terbuat dari tempe dan tahu sehingga tidak mengalami krisis di lapangan.
Helga Angelina, vegetarian sekaligus pemilik restoran makan vegan, Burgreens, mengatakan tidak terdampak dengan kelangkaan tempe dan tahu beberapa waktu lalu. Hal itu karena dalam menjalankan bisnisnya Helga lebih memilih mengonsumsi kedelai lokal ketimbang kedelai impor. Krisis pasokan kedelai memang disebabkan kendala pada impor, bukan pasokan lokal.
“Kami menggunakan tahu dan tempe dari pengrajin yang memakai kedelai lokal, jadi aman. Teman-teman yang menggunakan tempe dari kedelai impor, sih, sempat cerita kalau tempe langka, tapi ya mereka ada yang beralih ke tempe organik atau ke protein lain,” cerita Helga.
Tak seperti pendapat banyak orang, Helga malah menilai tempe dan tahu dari kedelai lokal tidak kalah dengan kualitas kedelai impor. Dengan menggunakan produk lokal, bisnisnya bisa mendongkrak perekonomian lokal. Bahkan, ada pula varietas kedelai lokal yang mirip dengan kedelai impor.
Kecanduan kedelai impor memang jadi biang keladi keresahan masyarakat akan nasib tempe. Namun, mengingat masyarakat Indonesia sudah akrab dengan penganan tempe seharusnya persoalan kedelai bisa ditangani lebih serius oleh pemangku kebijakan. Merintis produksi kedelai lokal lebih maksimal, bisa menjadi program panjang yang harus digarap serius.
Jargon yang terlontar dari Bung Karno, "Kita ini bangsa besar, bukan bangsa tempe", agaknya perlu diredefinisi. Faktanya persoalan tempe adalah persoalan serius, begitu pula kandungannya. Tempe adalah hidangan di semua lapisan yang bisa memberi asupan banyak nutrisi. Karena, tak semua warga juga mampu makan bestik (beef steak) untuk peroleh protein lengkap. (Gemma Fitri Purbaya)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN