- Megapolitan
DINAMIKA PEMUDA DALAM CERITA BANGSA
Menakar Tujuan Langkah Pemuda
09 Oktober 2019 , 13:09

Oleh Nugroho Pratomo & Novelia*
“Pemuda, ke mana langkahmu menuju
Apa yang membuat engkau ragu
Tujuan sejati menunggumu sudah
Tetaplah pada pendirian semula...”
("Pemuda", Chaseiro)
Penggalan lirik lagu tersebut berjudul "Pemuda", dinyanyikan oleh Chaseiro pada 1978 dan menjadi album perdana mereka pada 1979. Liriknya masih dinilai relevan sampai sekarang yang tentunya tidak terlepas dari besarnya peran sosial kelompok ini: pemuda.
Penduduk usia muda pada dasarnya merupakan modal sosial yang menarik utntuk dicermati karena, meski masih menjadi perdebatan soal sejauh mana peran mereka sebagai agen perubahan sosial, setidaknya dalam perspektif demografis kelompok sosial ini memiliki ruang kesempatan yang luas untuk dapat berpartisipasi secara aktif dalam setiap kegiatan ekonomi. Karena itulah, tidak hanya di tingkat nasional, identifikasi kelompok penduduk muda ini juga menjadi perhatian dunia internasional.
Jika melihat dalam konteks nasional, para perintis kemerdekaan Indonesia juga muncul ketika mereka masih termasuk dalam kelompok muda. Hal inilah yang menyebabkan isu-isu politik dan kebangsaan juga tidak terpisahkan dari keberadaan kelompok muda.
Meski begitu, pada saat yang bersamaan, keberadaan kelompok masyarakat ini juga berhadapan dengan sejumlah persoalan, mulai dari rendahnya tingkat pendidikan sampai persoalan narkotika. Berbagai permasalahan inilah yang kemudian juga menjadikan keberadaan kelompok sosial ini sebagai salah satu satu sumber berbagai pemasalahan sosial yang terjadi di masyarakat.
Ideologi Pemuda
Persoalan idelogi, kebangsaan, nasionalisme, dan politik memang menjadi hal yang tak terpisahkan sejak negeri ini merdeka. Ketika masih berada di bawah kekuasaan kolonial, gerakan kaum muda ketika itu memang menjadi salah satu gerakan yang menginisiasi kemerdekaan dari penjajah. Terlebih, memang hanya kaum muda itulah kelompok sosial dari masyarakat Indonesia yang terdidik.
Peran kelompok muda dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia telah dijelaskan dengan baik oleh Ben Anderson dalam bukunya yang berjudul Revoloesi Pemuda (Anderson, 1988). Dalam karyanya tersebut, Anderson menyampaikan tesisnya tentang yang disebutnya sebagai transformasi sosial politik pemuda.
Ben Anderson, meski juga kadang meromantisisme peran pemuda, menyampaikan cara kesadaan para pemuda muncul ketika terjadi pertemuan antara indentitas tradisional (dalam hal ini Jawa) dan modernitas. Pola penjajahan Jepang hingga 1945, yaitu dengan cara membangun propaganda “persatuan” Asia Timur Raya untuk melawan sekutu, disadari atau tidak telah pula menggalang pemuda di Indonesia untuk meniptakan kelompok-kelompok militer, paramiliter, sampai organisasi pemuda.
Hal ini pula yang menyebabkan adanya perpecahan antara kelompok muda dan kelompok tua yang kemudian berujung kepada peristiwa Rengasdengklok. Karya Anderson ini sekaligus pula sebagai perspektif alternatif di luar teori yang disampaikan oleh Turnan Kahin (Kahin, 1995) yang menyatakan bahwa gerakan pemuda didorong oleh pendidikan Barat yang diterima oleh para pemuda, khususnya para perintis kemerdekaan.
Romantisisme peran pemuda tersebut tampaknya juga berulang kembali pada gerakan 1966 dan 1998. Kelompok pemuda, khususnya dari kalangan mahasiswa, dikatakan sebagai kelompok yang menggerakkan perubahan. Kemunculan kekuasaan Orde Baru dan Reformasi 1998 sering kali dikatakan sebagai hasil perjuangan para mahasiwa; yang sekaligus merepresentasikan kelompok pemuda.
Berangkat dari berbagai argumen yang disampaikan oleh kedua indonesianis tersebut, apakah di era digital serta demokrasi ini, berbagai gerakan yang diprakarsai oleh sekelompok muda Indonesia dapat dinilai sebagai kelanjutan sejarah?
Revolusi digital di satu sisi memang memberikan berbagai kemudahan dalam berkomunikasi. Kehadiran berbagai media sosial sebagai salah satu pengejawantahan atas itu semua memang telah mempermudah kaum muda untuk “bersatu” menyoroti sebuah isu tertentu. Sayangnya, tak jarang mereka justru tidak benar-benar memahami isu tersebut.
Kriminalitas
Bicara pemuda tidak dapat dilepaskan dari naluri kelompok ini yang ingin selalu mencari jati diri dengan melakukan hal-hal baru dalam hidupnya. Sayangnya, hasrat pembuktian ini kerap berujung kepada kegiatan yang tidak menguntungkan, baik bagi dirinya sendiri, kelompoknya, maupun orang-orang lain di lingkungannya dalam lingkup yang lebih besar. Remaja, sebagai salah satu unsur generasi muda, dalam beberapa tahun terakhir, telah menimbulkan kecemasan di kalangan masyarakat terkait tingkah lakunya.
Aktivitas yang cenderung mengarah kepada perbuatan melanggar norma di dalam masyarakat serta aturan hukum tidak jarang dilakoni kelompok pemuda (Hawi, 2018). Cerita tentang generasi muda dengan perilaku-perilaku yang dinilai negatif oleh masyarakat, seperti perkelahian antarpelajar atau antar-supporter, pembunuhan, pemerkosaan, hingga konsumsi narkotika dan obat-obatan terlarang tidak jarang menjadi tema pemberitaan di media elektronik, cetak, maupun digital.
Sudah bukan rahasia lagi kalau generasi muda jadi salah satu kelompok yang punya keterkaitan dengan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba). Ironisnya, bukan sekadar pengguna, tak sedikit pula yang dapat peran jadi sosok yang mengedarkan. Sebagai bukti, berdasarkan data Direktorat. Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri, diketahui bahwa selama 2017 tersangka narkoba yang berusia 16–19 tahun mencapai setidaknya 2.578 orang. Jumlah yang bahkan jauh lebih besar diperlihatkan kelompok usia di atasnya, yakni mereka yang berusia 20–24 tahun, sejumlah 9.530 tersangka narkoba.
Data persebaran tersangka narkoba berdasarkan usia selengkapnya dapat dilihat dalam infografis berikut.
Penggunaan narkoba, menurut Dadang Hawari (dalam Hawi, 2018), dapat disebabkan setidaknya oleh tiga faktor lingkungan yang tidak terlalu berperan baik, yakni keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat. Sebagai lingkungan primer pertama dan utama bagi seorang anak, hubungan manusia yang paling intensif berada di lingkungan keluarga. Sesudah keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat jadi lingkaran kedua yang memiliki andil dalam pembentukan perilaku individu.
Di dua arena inilah seseorang akan belajar banyak hal, baik akademis maupun nonakademis. Peran anggota-anggota keluarga pun jadi hal yang dominan dalam pembangunan karakter individu. Kesalahan memainkan peran di antara anggota, terutama orang tua terhadap anaknya, dapat melahirkan ketakharmonisan yang memengaruhi timbulnya rasa ingin menjauh dan mencari lingkungan lain yang dapat memenuhi harapan. Perilaku-perilaku negatif, penggunaan narkoba salah satunya, bisa jadi sarana pelampiasan.
Selain penggunaan narkoba, kesalahan melangkah dalam proses sosialisasi di arena keluarga maupun lingkungan juga dapat berujung kepada dampak negatif lainnya. Salah satunya adalah perilaku vandalisme terhadap lingkungan maupun sesama masyarakat. Beberapa di antara perilaku vandalisme yang dilakukan generasi muda di lingkungan tergambar melalui fenomena tawuran maupun bentrok antar-supporter klub olahraga.
Keterlibatan para pemuda dalam tawuran dan bentrok antar-supporter memperlihatkan bahwa kekerasan bisa menjadi kendaraan untuk menyelesaikan masalah bagi beberapa individu. Pengaruh keluarga maupun lingkungan sosial dan komunitas di dalamnya tidak bisa diabaikan. Intensitas dan kualitas tinggi dalam berinteraksi dalam sebuah kelompok guyup, di kalangan teman sekolah atau seangkatan misalnya, menumbuhkan rasa saling percaya dan solidaritas (Aji, 2017).
Yang berisiko adalah bagaimana nilai yang tersampaikan untuk menjaga solidaritas dalam kelompok bersifat tidak selalu baik. Dalam kelompok bermain yang tidak terkontrol, ada potensi lebih untuk melakukan kenakalan, termasuk kekerasan (Nilan, Demartoto, Wibowo, 2011; Harding, 2009).
Bukan hanya penggunaan narkoba dan perilaku vandalisme atau kekerasan, satu isu kriminal yang beberapa waktu ini sering terkait dengan generasi muda adalah terkait perundungan. Pasalnya, kasus jenis ini jadi hal yang tidak asing terjadi antara peserta ajar di berbagai institusi pendidikan, baik dilakukan oleh senior kepada juniornya, maupun sesama pelajar setingkat. Bentuknya pun berbagai rupa. Perundungan dapat terjadi secara verbal, fisik, maupun sosial.
Publik masih memandang bahwa tindakan negatif berupa perundungan hanya dilakukan sebatas kontak fisik. Ketika seseorang dikeroyok, dipukul, atau disakiti secara fisik, ketika itulah seseorang terlihat sebagai korban bullying atau perundungan. Namun, makna perundungan sebenarnya lebih luas dari pemahaman tersebut.
Menurut publikasi yang diterbitkan Kemendikbud (2018), perundungan didefinisikan sebagai perilaku tidak menyenangkan yang membuat seseorang merasa tidak nyaman, sakit hati, dan tertekan, serta dapat dilakukan oleh perorangan maupun kelompok. Jadi, untuk menyimpulkan perundungan telah terjadi atau tidak, kita mesti melihat dari kacamata individu yang menjadi korban.
Karena itu, tidak heran, meski masih menjadi pro kontra, berbagai ejekan maupun pengucilan sosial juga dikategorikan beberapa pihak sebagai tindakan perundungan juga. Tindakan negatif ini juga bahkan semakin terakomodasi dengan hadirnya berbagai platform media sosial. Dengan rasa aman karena berada di dunia semu, individu pengguna media sosial merasa aman untuk mengemukakan pendapat dan menentang orang yang berseberangan pandangan dengan dirinya. Hal ini tak jarang berujung kepada perundungan terhadap pengguna yang memiliki perspektif minoritas.
Beberapa kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai perundungan di internet di antaranya adalah (1) memperolok di media sosial (mengirimkan pesan yang menyakiti, menghina, dan mengancam); (2) mengirimkan pesan teror; (3) menyebarkan kabar bohong (hoaks); (4) mengubah foto dengan tidak semestinya; (5) perang kata-kata dari dunia maya (flaming); (6) membuat akun palsu dengan tujuan merusak reputasi individu atau kelompok tertentu; (7) memperdaya seseorang untuk melakukan sesuatu yang memalukan; dan (8) mengucilkan atau menyingkirkan seseorang dari grup percakapan daring.
Kepedulian Sosial
Meskipun punya dampak negatif dengan memberikan celah bagi aksi perundungan, nyatanya kemajuan teknologi dan kehadiran internet juga sedikit banyak memberi dampak positif bagi generasi muda yang menggunakannya. Disebutkan Burhan Bungin (dalam Nurhadi dan Irwansyah, 2018), kemajuan teknologi manusia, terutama teknologi informasi, secara sadar membuka ruang kehidupan manusia menjadi semakin luas.
Teknologi informasi berkembang sangat pesat dan menyentuh hampir setiap segi kegiatan manusia di mana pun berada, desa maupun kota–sebuah kondisi yang disebut Marshall McLuhan (1964) sebagai The Global Village. Tak hanya menjadi jembatan baru bagi aktivitas konsumsi masyarakat, keberadaan dunia digital juga merangkul aspek produksi dan filantropi manusia.
Sebagai bagian dari makhluk sosial, generasi muda merasakan pentingnya berinteraksi dan saling menghargai keberadaan sesama manusia. Oleh karena itu, tersentuhnya sisi filantropi atau kederawanan ini menjadi hal yang sangat wajar. Sementara itu, teknologi terus berkembang dan memudahkan warganet mengimplementasikan hasrat peduli tersebut secara lebih praktis. Apabila sebelumnya melakukan donasi harus dilakukan dengan usaha lebih–mendatangi sasaran pemberian donasi, misalnya–kini telah banyak situs atau platform di dunia maya yang bersedia menampung dan menyalurkannya kepada yang membutuhkan.
Dengan sebentar saja berselancar di ponsel pintar yang telah terunggah berbagai aplikasi mobile banking, kepedulian seorang pemuda dengan mudah dapat tertransfer. Warganet kini tidak hanya sibuk melakukan kegiatan konsumsi, tetapi juga disajikan sarana partisipasi dalam berbagai hal, mulai dari menuangkan ide, memproduksi dan menyebarluaskan kampanye sosial, hingga melakukan penggalangan dana (crowdfunding) atau donasi melalui berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM). Beberapa lembaga yang telah menggunakan teknik crowdfunding di antaranya adalah platform Kitabisa.com, Wujudkan.com, Ayopeduli.com, Indves.com, dan Gandengtangan.org (Nurhadi & Irwansyah, 2018).
Aksi kepedulian generasi muda dalam berbagai isu sosial tidak cuma diaplikasikan melalui teknologi seperti ponsel pintarnya saja. Kegiatan-kegiatan dan gerakan yang tidak berbasis digital pun juga jadi sasaran untuk diikuti. Meski tak jarang informasi terkait gerakan tersebut juga diperoleh dari internet, di hilir para pemuda juga terlibat membantu secara tenaga, pikiran, maupun materi. Berbagai organisasi hadir sebagai wadah untuk mengembangkan kepedulian pemuda dengan varian isu yang tidak sedikit, mulai dari kemiskinan, kesenjangan, kesetaraan (gender maupun difabel), sampai pendidikan.
Para pemuda pun dapat memilih sendiri level keterlibatannya dalam sebuah aksi sosial. Apabila tidak menyukai keterikatan, ia dapat menjadikan dirinya relawan tidak tetap. Mengikuti gerakan-gerakan yang dihelat organisasi sosial tertentu menjadi pilihan yang tepat dan mudah untuk membuktikan kepeduliannya terhadap dunia sekitar.
Namun, apabila ingin berkontribusi lebih, aktif sebagai anggota atau bahkan pengurus dari organisasi dengan isu yang diminati merupakan pilihan ideal. Pemuda kini mampu menciptakan mediumnya sendiri untuk menyuarakan rasa simpatinya kepada dunia. Perkembangan teknologi komunikasi digital pada akhirnya menjadi bantuan besar bagi jiwa-jiwa muda yang peduli.
Gaya Hidup
Mencermati perubahan kondisi sosial masyarakat, khususnya terkait revolusi digital yang tengah terjadi, maka adalah hal yang wajar apabila terjadi perubahan dalam gaya hidup masyarakat. Terlebih, pengguna teknologi digital terbanyak adalah kelompok muda.
Terkait gaya hidup kelompok muda ini, tidak mengherankan apabila mereka sering kali dijadikan sasaran utama pemasaran berbagai produk. Susianto (1993) menyebutkan bahwa setidaknya terdapat 3 alasan mengapa kelompok anak muda (berusia 13–24 tahun) merupakan sasaran pasar produk-produk tertentu.
Pertama, anak muda dipandang sebagai konsumen langsung. Dengan uang yang dimiliki oleh kelompok usia ini, mereka adalah kelompok masyarakat yang “rajin” membelanjakan uangnya. Kedua, kelompok usia ini juga dinilai sebagai kelompok yang mampu menjadi “pembujuk” bagi pihak lain, seperti orang tua dan teman-temannya, untuk mau membelanjakan uang yang dimilikinya. Alasan ini semakin terbukti di era digital ini. Banyak kaum muda kini menjadi endorser atas produk-produk tertentu melalui berbagai media sosial.
Alasan ketiga adalah bahwa kelompok muda ini adalah konsumen potensial pada masa depan. Hal ini didasarkan kepada asumsi bahwa kelompok masyrakat ini akan memiliki pendapatan yang memiliki tren peningkatan. Bahkan, yang sebelumnya masih bergantungkan kepada pemberian orang tua, mereka diharapkan akan memiliki pendapatan sendiri nantinya. Dengan pendapatan yang dimilikinya itulah, maka mereka berpotensi untuk terus melakukan tindakan konsumtif (Susianto, 1993).
Baca juga: Menakar Gaya Hidup Kaum Kelas Menengah Baru
Karya
Aspek lain yang tidak dapat dipisahkan dari kelompok usia muda ini adalah kreativitas. Pemuda yang identik dengan rasa galau dalam menghadapi berbagai persoalan sering kali membutuhkan wadah untuk meluapkann kegalauannya tersebut. Wadah inilah yang harus diarahkan dalam bentuk perilaku positif. Hal inilah yang pada akhirnya melahirkan berbagai bentuk karya.
Sebagai salah satu bentuk manifestasi emosi manusia, berbagai bentuk karya, termasuk salah satunya adalah versi digital, adalah mekanisme untuk menyalurkan ekspresi kaum muda saat ini. Melalui ini pula, kelompok muda juga sekaligus mampu memperoleh keuntungan ekonomi dan bisnis. Revolusi digital memang telah memungkinkan para penduduk muda untuk dapat memperoleh berbagai keuntungan dalam waktu yang singkat dengan biaya yang efisien.
Sebelumnya, para generasi sebelum revolusi digital menyalurkan ekspresinya dalam bentuk musik, lagu, film, patung, dan bentuk-bentuk karya seni lain. Namun, versi digital saat ini, juga telah memungkinkan setiap generasi muda menciptakan berbagai bentuk produk baru. Hal ini juga didukung oleh pemerintah yang terus mengembangkan berbagai bentuk yang termasuk ke dalam industri kreatif.
Bonus Demografi
Keberadaan generasi muda yang terejawantahkan dalam berbagai bentuk tindakannya juga dapat berarti positif dan negatif. Pasalnya, jumlah penduduk muda adalah kekuatan sekaligus sebagai sumber kelemahan.
Penduduk muda dalam jumlah besar seringkali dikatakan sebagai salah satu wujud nyata bonus demografi. Pembekalan berbagai aspek, seperti pendidikan, kesehatan, dan keterampilan akan membawa bonus demografi ini sebagai salah satu modal dasar pembangunan Indonesia.
Namun, sebaliknya, kegagalan dalam memanfaatkan bonus demografi ini pada akhirnya justru kembali hanya menjadi beban sosial yang semakin besar. Kini, kita lihat saja kemampuan pemerintah dan seluruh lapisan sosial masyarakat dalam mengolah kelompok penduduk ini. Ditambah lagi, jika benar pemerintahan Jokowi periode ini hendak menjadikan pembangunan SDM sebagai fokus utama pemerintahannya, dengan demikian lirik lagu “Pemuda” juga akan semakin bermakna.
“…..Bersatulah semua
Seperti dahulu
Lihatlah ke muka
Keinginan luhur
kan terjangkau semua…”
*Tim peneliti Visi Teliti Saksama
Referensi:
Aji, D. S. (2017). Kontrol Sosial Keluarga dan Kekerasan Kolektif: Studi Kasus Keterlibatan Pemuda dalam Tawuran Warga di Johar Baru, Jakarta Pusat. MASYARAKAT Jurnal Sosiologi Vol. 22, No. 2, 159-184.
Anderson, B. (1988). Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Jakarta, DKI: Pustaka Sinar Harapan.
Hawi, A. (2018). REMAJA PECANDU NARKOBA: Studi tentang Rehabilitasi Integratif di Panti Rehabilitasi Narkoba Pondok Pesantren Ar-Rahman Palembang. Tadrib Vol. IV, No.1, 9-119.
Kahin, G. M. (1995). Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Nurhadi, W., & Irwansyah. (2018). Crownfunding sebagai Konstruksi Sosial. Jurnal Komunikasi dan Kajian Media Vol. 2, No. 2, 1-12.
Susianto, H. (1993). Studi Gaya Hidup Sebagai Upaya mengenali Kebutuhan Anak Muda. Jurnal Psikologi & Masyarakat(1), 55-76.
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN