- Nasional
Memilih Pesohor Jadi Senator
16 April 2019 , 20:16

JAKARTA – Gelaran akbar Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 akhirnya tiba. Namun, Lulu (24) sebagai pemilih belum mantap untuk menentukan siapa calon yang akan dipilihnya saat berada di bilik suara pada 17 April 2019 mendatang. Sampai saat ini, baru nama calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang tersimpan rapat dalam hatinya.
Untuk wakil rakyat? Tak usah ditanya. Lulu benar-benar gelap alias sama sekali tak punya jagoan.
Lulu sadar betul kalau pilihannya itu bakal menentukan nasib negeri ini. Itu sebabnya, Lulu memilih mengambil apa yang disebutnya sebagai jalan alternatif dalam menggunakan hak suaranya. Caranya, Lulu memilih calon anggota legislatif (caleg), baik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), DPR Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota berdasarkan partainya.
Di mata Lulu, reputasi satu dua partai masih bisa dibilang bagus. Tapi karena ia tak mengenal siapa yang akan dipilihnya, ia menyerahkan hal tersebut ke partai yang dipilihnya.
Sayangnya, cara seperti itu tak bisa digunakannya untuk memilih calon anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Satu-satunya harapan dalam benaknya, di bilik suara nanti akan menemukan wajah-wajah familiar.
“Paling ujung-ujungnya memilih yang kenal saja, yang biasa lihat atau dengar,” ungkap Lulu kepada Validnews, Minggu (14/4).
Cara seperti itu ternyata tak hanya dilakukan Lulu seorang. Jika mengacu hasil Survei Persepsi Masyarakat Terhadap DPD RI yang dilakukan lembaga Riset Visi Teliti Saksama (VTS) pada April 2019, sebanyak 4,2% responden di antaranya memilih caleg DPD RI, sama seperti yang dilakukan Lulu, yakni karena ketenaran. Entah itu terkenal karena ketokohannya, atau karena sosok tersebut seorang selebritis.
Dari survey juga disebutkan, mayoritas responden (51,2%) akan memilih calon anggota DPD yang memiliki kontribusi positif pada masyarakat atau aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Ini menunjukkan, popularitas menjadi modal penting, mengingat orang diasumsikan setidaknya mengenal calon anggota DPD yang punya kontribusi buat masyarakat.
Survei VTS sendiri melibatkan 229 responden yang sebagian besar pembaca Validnews, dengan rentang usia 18 hingga 60 tahun. Adapun responden dalam survei itu tersebar di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) dan lebih dari 20 kota lainnya.
Adapun cara responden ini mengenal tokoh yang bakal dipilihnya sangat beragam. Masih dari survei yang sama, kanal media sosial menjadi sumber utama dengan jumlah responden 37,5%.
Berlanjut ke urutan ke bawahnya, 22,6% responden mengenal karena tokoh masyarakat atau selebritis. Uniknya, responden yang memilih karena pengaruh teman atau referensi teman dan saudara itu mencapai 20,8%.
Untuk calon DPD yang menebar baliho di jalan pun ternyata mendapat respons 13,1% responden untuk dipilih, dan sisanya 6% responden memilih karena perkenalan secara pribadi.
Potret survei tersebut menunjukkan kuat, ketenaran sebagai modal sosial caleg cukup berpengaruh. Meski sebenarnya, yang jauh lebih penting daripada ketenaran adalah kemampuan caleg menjalankan fungsinya, yaitu menyampaikan aspirasi masyarakat.
Asal Ada
Peneliti Utama Visi Teliti Saksama Nugroho Pratomo memandang, keberadaan DPD dalam sistem politik Indonesia memang masih menyisakan persoalan, terutama fungsinya sebagai lembaga legislatif. Ketidakjelasan sistem parlemen yang berlaku, kata Nugroho, menjadikan DPD seperti lembaga asal ada, yang fungsinya tidak optimal.
Dilihat dari keberadaan lembaga, kata Nugroho Indonesia memang menganut sistem dua kamar atau bikameral. Selain DPR dan DPRD, DPD didaulat menjadi lembaga yang menyuarakan aspirasi masyarakat di berbagai daerah. Fungsi DPD selayaknya senator ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), serta UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 17 Tahun 2014.
“Tetapi tampaknya DPD masih belum mampu menunjukkan manfaatnya secara langsung kepada masyarakat,” terang Nugroho kepada Validnews, Senin (15/4).
Hasil survei yang sama menunjukkan, responden yang mengaku mengetahui fungsi DPD itu berkisar 68,1%. Namun, dari jumlah itu, 50% responden yang mengetahui fungsi DPD tidak yakin para anggota DPD tersebut mampu mewakili aspirasi mereka.
Sebanyak 59,5% responden yang mengetahui fungsi DPD di antaranya bahkan tidak yakin bahwa para anggota DPD tersebut mampu menjalankan fungsinya sebagaimana diamanatkan oleh UU. Hal ini pula yang menyebabkan 75,6% responden tidak merasa terwakili oleh keberadaan DPD.
Uniknya, kendati tak yakin dengan fungsi dan keberadaan DPR, sebanyak 73,2% responden masih bersedia memberikan suaranya untuk memilih anggota DPD.
“Dapat dikatakan bahwa kemauan masyarakat pemilih masih mau memberikan suaranya untuk DPD tidak lebih dari sekadar pemenuhan hak politik semata, tanpa tahu manfaat apa yang akan dapat mereka terima dari DPD,” jelas Nugroho.
Ia juga menekankan, dalam kerangka partisipasi politik secara lebih luas, hal ini jelas merugikan. Pada akhirnya, masyarakat tidak akan banyak mampu menuntut apa yang menjadi hak sebagai pemilih.
Berangkat dari hasil survei tersebut, Nugroho berpendapat selama ini DPD tidak optimal menjalankan fungsi legislatif dalam sistem parlemen Indonesia yang bikameral. Ketidakoptimalan DPD menjalankan fungsinya itu harus menjadi koreksi tersendiri bagi para anggota DPD ketika turun ke daerahnya.
Hanya saja, pemberlakukan otonomi daerah yang selama ini berjalan, tidak mampu dimanfaatkan oleh DPD untuk menjadi lembaga yang lebih bermanfaat bagi masyarakat. Hal ini terlihat dari tidak adanya sinkronisasi antara program pembangunan yang dilakukan pemerintah daerah (pemda) dengan anggota DPD. Di satu sisi, banyak pemimpin daerah yang masih tenggelam dalam euforia kekuasaan di daerahnya masing-masing.
“Celakanya, hal tersebut juga ditambah dengan beban tingginya biaya pencalonan politik yang pada akhirnya seringkali menyebabkan mereka terjerumus dalam berbagai kasus korupsi,” cetusnya.
Di sisi lainnya, banyak anggota DPD tidak terlalu paham apa yang sebenarnya menjadi kebutuhan daerah yang diwakilinya. Hal ini tidak terlepas dari fakta banyaknya calon anggota DPD yang sehari-hari tidak tinggal di daerah tersebut atau bukan merupakan warga asli daerah yang diwakilinya.
Ia juga memandang pencalonan anggota DPD, ada yang hanya lantaran ketidakmampuan calon anggota DPD meyakinkan partai politik (parpol), untuk menerima mereka sebagai calon anggota DPR. Bahkan tidak sedikit yang menjadikan pencalonan tersebut, sebagai upaya uji coba pengetahuan atau awareness masyarakat atas keberadaan dirinya di kancah politik nasional.
“Mereka berharap, melalui keberadaan mereka di DPD akan mampu meningkatkan posisi tawar mereka di hadapan parpol di pemilu berikutnya,” lanjut Nugroho.
Modal Sosial
Nugroho juga memberikan catatan terhadap sikap responden yang menentukan pilihnya terhadap calon anggota DPD atas dasar ketenaran. Ia mengatakan cara tersebut menunjukkan kegagalan politik Indonesia dalam fungsi kaderisasi. Adapun yang dimaksud dengan kader tidak terbatas pada kader partai politik (parpol), tetapi bagaimana membangun politisi profesional, termasuk anggota DPD.
Ia tidak memungkiri calon DPD yang berasal dari kalangan selebriti akan membantu menciptakan kepedulian masyarakat. Tapi, jika melihat contoh di negara lain, misalnya senator Amerika Serikat, kebanyakan mereka justru berlatar belakang sebagai politisi profesional, bukan mengandalkan ketenaran semata.
“Jadi kalau ditanya modal sosial di luar karier politik, ya untuk kasus Indonesia jelas akan sangat mempengaruhi elektabilitas,” paparnya.
Fahira Idris, anggota DPD asal DKI Jakarta mengamini hal tersebut. Berdasarkan pengalamannya saat pencalonan pada tahun 2014, Fahira menyebutkan ketenaran yang dimilikinya sebagai aktivis turut mengantarkannya ke Senayan. Ditambah dengan nama besar ayahnya, Fahmi Idris yang merupakan tokoh politik, proses perkenalan dirinya di tengah masyarakat menjadi lebih lancar.
“Lima tahun yang lalu pada Pemilu 2014, aktivitas saya sebagai aktivis perempuan, anak, dan sosial, pengusaha, ditambah putri Fahmi Idris memang sangat membantu saya dalam memperkenalkan diri ke publik,” jelas Fahira kepada Validnews, Selasa (16/4).
Sedikit bocoran, Fahira menyebut dorongan terbesarnya maju sebagai caleg DPD RI kala itu lebih condong karena saran dari sahabat dan berbagai komunitas warga. Mereka ingin isu-isu yang ia perjuangkan terutama kampanye antimiras, kekerasan terhadap anak dan perempuan, pendidikan, kesehatan dan lainnya bisa terkawal di parlemen.
Namun, baginya untuk bisa duduk di kursi Senayan, tidak bisa hanya sekadar merapal mantra, simsalabim. Menurutnya, seseorang yang ingin duduk di DPD harus berkiprah terlebih dahulu di tengah masyarakat, memahami isu-isu publik dan memperjuangkannya. Setelah tahapan itu selesai, lanjut Fahira baru kemudian punya kepercayaan diri untuk meminta mandat rakyat.
Modal sosial itu pula yang membantu Fahira selama menjadi wakil rakyat. Jaringan yang ia miliki di berbagai simpul masyarakat, memudahkannya menjaring aspirasi dan menyelesaikan persoalan masyarakat.
“Jadi memang modal sosial sangat penting bagi seorang yang ingin maju menjadi wakil rakyat, tidak ujug-ujug maju,” lanjutnya.
Putri mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada Kabinet Indonesia bersatu itu menjelaskan, kehadiran DPD sebenarnya merupakan kanal pewujudan desentralisasi dan otonomi daerah. Hal ini guna memastikan peran daerah dalam menyejahterakan rakyat dengan mengelola sumber daya dan sumber dana di daerah.
Dalam hal ini, lanjutnya, eksistensi DPD ditujukan untuk meningkatkan posisi tawar pemda dalam memperjuangkan aspirasi daerah secara langsung di tingkat pusat.
Dalam perjalanannya, kata Fahira, peran DPD semakin dikuatkan lewat UU MD3. Misalnya pada tahun 2015, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi UU MD3 dan mempertegas keterlibatan wewenang DPD. Hal ini terutama terkait otonomi daerah, pembentukan atau pemekaran daerah, serta pengelolaan sumber daya alam.
Selain itu, agar DPD lebih efektif menjangkau rakyat di daerah, revisi UU MD3 juga memberi kewenangan baru kepada DPD. Di antaranya memantau dan mengevaluasi rancangan peraturan daerah (raperda) serta peraturan daerah (perda) yang selama satu dekade ini banyak persoalan.
Menurutnya, DPD hadir untuk memastikan semua perda yang hadir memudahkan rakyat di daerah dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari terutama terkait pelayanan publik.
“Jadi jika ditanya seberapa efektif dan efisien DPD mewakili aspirasi daerah, lewat kewenangan yang ada, saya rasa cukup efektif dan efisien, tinggal bagaimana para anggota DPD atau senator ini bekerja keras mengimplementasikan kewenangannya,” tukas Fahira.
Namun, ia mengakui, peran DPD ke depannya masih harus diperkuat lagi, terutama terkait kewenangan legislasi dan pengawasan. Fahira melihat DPD masih kurang kuat dalam kedua hal tersebut.
Tensi Berbeda
Berdasarkan pengalamannya selama menjadi anggota DPD, Fahira mengklaim warga DKI yang merupakan konstitun di dapilnya, sebagian besar sudah memahami tugas dan fungsi DPD. Dikatakannya, warga masyarakat mengetahui, DPD merupakan lembaga independen yang tidak berasal dari parpol dan bertugas memperjuangkan kepentingan daerah di parlemen.
Hanya saja, harus diakuinya, dari sejumlah kunjungan kerja (kunker) yang ia lakukan, masih ada saja orang yang belum paham mengenai fungsi DPD.
“Kebanyakan dari mereka (yang tak tahu) memahami bahwa anggota DPD sama dengan DPR yang berasal dari partai politik,” jelas Fahira.
Itulah sebabnya, guna meningkatkan pengetahuan masyarakat, ia kerap menyelipkan penjelasan apa itu DPD dalam setiap kunkernya. Bukan hanya agar masyarakat paham tugas DPD, tetapi agar mereka memanfaatkan DPD sebagai saluran aspirasi terutama jika aspirasi yang mereka sampaikan ke DPR, DPRD, kepala daerah maupun pemerintah pusat mandek.
Guna menampung aspirasi warga DKI, Fahira sendiri mendirikan Rumah Aspirasi Fahira Idris (RAFI). Meja aduan RAFI dibuka setiap hari kerja dan beberapa hari dalam seminggu ia turut menerima langsung aduan warga. Aduan-aduan tersebut dikompilasi untuk kemudian ditindaklanjuti.
Sementara terkait kesadaran masyarakat dalam pemilu mendatang, ia yakin masyarakat cukup antusias memilih DPD. “Walau memang harus diakui, kalau dibandingkan dengan DPR atau DPRD tentu tensinya sangat berbeda,” imbuhnya.
Perbedaan itu salah satunya terlihat dari sisi jumlah keanggotaan. Misalnya saja, caleg DPR RI Dapil DKI yang berkompetisi saat ini berjumlah 311 orang yang akan memperebutkan 21 kursi DPR RI. Sementara caleg DPRD DKI berjumlah 161 orang dan memperebutkan 106 kursi. Untuk caleg DPD Dapil DKI Jakarta yang bertarung hanya 26 orang untuk memperebutkan 4 kursi.
Jadi, untuk mendulang suara sangat tergantung pada upaya caleg DPD RI dalam berkampanye, mengingat caleg DPD tidak dibantu partai. “Semakin aktif berkampanye apalagi dengan cara-cara kreatif maka antusias publik terhadap caleg DPD akan semakin tinggi,” cetusnya.
Menanti Peran
Sementara itu, Wakil Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Hurriyah menilai, survei VTS yang menunjukkan 73,2% responden akan memilih anggota DPD dalam pemilu, menyiratkan antusiasme masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya terbilang tinggi.
Namun, Hurriah mengatakan, berdasarkan hasil survei lainnya, pengetahuan publik terkait informasi terhadap kepemiluan relatif rendah. Menurutnya, hal itu menunjukkan adanya persoalan dalam sosialisasi di pemilu. Sebab, adanya target untuk meningkatkan partisipasi pemilih tak diimbangi dengan informasi yang cukup kepada publik, seperti pengetahuan alasan untuk memilih.
“Antusiasme masyarakat untuk memilih DPD juga dibaca sebagai bentuk harapan publik karena DPD langsung mewakili daerahnya. Karena aspirasi daerah yang berbeda-beda, ini disematkan harapannya kepada DPD, yang memang mereka perwakilan dari daerah bukan dari unsur parpol,” kata Hurriyah saat dihubungi Validnews.
Ia berharap dengan waktu yang pendek, publik bisa mencari tahu informasi tentang calegnya. Apalagi saat ini, banyak platform yang dibuat masyarakat sipil untuk mengetahui rekam jejaknya.
Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ridho Imawan berpendapat, minat responden yang akan memilih tersebut, harus didukung dengan upaya meningkatkan fungsi dan peran dari DPD.
“Yang perlu ditekankan adalah modal persepsi positif yang akan memilih DPD tersebut nantinya bisa menjadi upaya untuk meningkatkan kembali peran dan fungsinya,” kata Ridho, kepada Validnews, Selasa, (16/4).
Ridho menambahkan, perlu diperhatikan juga adanya 50% responden yang tak yakin jika DPD terpilih bisa menjalankan fungsinya. Ridho menilai hal tersebut menandakan bahwa publik menanti peran atau fungsi yang lebih maksimal dari DPD. Terlebih, sebagian masyarakat juga belum mengetahui fungsi dari kehadiran DPD.
“Sebagian publik memang masih belum mengetahui dengan riil apa fungsi dari kehadiran DPD,” ujarnya.
Ridho berharap selain memaksimalkan peran dan fungsi DPD, sosialisasi hasil kerja dari DPD juga perlu dilakukan supaya masyarakat mengetahui kinerja dari DPD. Selain memaksimalkan peran dan fungsi DPD sebagaimana diamanatkan UU, sosialisasi kerja DPD ke depan kepada publik juga perlu dilakukan dengan masif.
“Para anggota DPD perlu menunjukkan kiprahnya bahwa mereka layak terpilih sebagai perwakilan daerah dan memperjuangkan kepentingan daerahnya,” tandasnya.
Jangan sampai, seperti kata Nugroho di atas, pemilih hanya memilih DPD hanya sekadar memenuhi hak politiknya semata, tanpa tahu manfaat yang bakal didapat dari eksistensi DPD. Patut diingat, dari hasil survey VTS sendiri, ada 19% responden yang mengaku memilih DPD hanya karena asal pilih atau tidak ada alasan khusus. Nah loh. (Elisabet Hasibuan, Dana Pratiwi)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN