- Ekonomi
Mahalnya Tarif Alasan Utama Truk Enggan Melintasi Trans Jawa
27 Februari 2019 , 19:38

SEMARANG – Mahalnya tarif masih menjadi alasan utama pengusaha truk enggan melintasi jalan tol Trans-Jawa dalam aktivitas pengiriman berbagai jenis barang. Komisi supir pun mejadi pertaruhan meski perjalanan lebih cepat ketimbang melewati jalan nasional non tol.
"Alasan pertama kami memilih jalan nasional daripada jalan tol adalah tarif," kata Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Cabang Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, Jawa Tengah, Supriyono di Semarang, Rabu (27/2) seperti dilansir Antara.
Ia menyebutkan biaya distribusi barang dengan tujuan dari Semarang ke Jakarta untuk truk golongan V sebesar Rp3 juta. Sedangkan jika melintasi jalan non tol untuk pergi pulang Rp2 juta.
"Terus komisi sopir dan uang makan habis, kalau masuk tol bagaimana?" ujarnya.
Alasan kedua adalah kendaraan yang digunakan Aptrindo berupa truk-truk berukuran besar yang hanya bisa berjalan, dengan kecepatan rata-rata 40 kilometer per jam dengan kondisi muatan penuh. Padahal, jalan tol dibangun dengan konsep kecepatan tinggi.
Truk muatan berat, kata dia, tidak akan berani berjalan dengan kecepatan tinggi dan harus berhenti tiap 3-4 jam perjalanan untuk menjaga suhu ban tidak terlalu panas.
"Perbandingannya, truk muatan berat Semarang-Jakarta butuh 1,5 hari jika menggunakan jalan tol, namun jika melintasi jalan nasional berkisar dua hari sehingga durasi waktunya terpaut sedikit," katanya.
Kemudian, alasan ketiga adalah belum semua ruas jalan tol Trans Jawa terdapat rest area, padahal ini penting karena truk harus berhenti untuk mendinginkan ban. Supriyono berpendapat, jika jalan tol merupakan jalan alternatif dan bukan kewajiban, hal itu berarti pengusaha di bidang transportasi sah-sah saja memilih antara jalan nasional atau jalan tol karena pertimbangannya adalah nilai ekonomi.
"Seluruh anggota Aptrindo Cabang Pelabuhan Tanjung Emas Semarang akan bersedia masuk tol jika konsumen bersedia menanggung biaya jalan tol sesuai tarif," tuturnya.
Sebelumnya, Pengamat Perkotaan Yayat Supriatna menuturkan, tarif angkutan logistik tertentu di jalan tol, khususnya Tol Trans Jawa dinilai layak disubsidi sebagai solusi jangka pendek.
"Solusi jangka pendek saja, misalnya setahun, angkutan logistik tarifnya layak disubsidi. Soal besarannya, silahkan regulator dan BUJT (badan usaha jalan tol) tentukan," ucapnya.
Pernyataan tersebut disampaikan terkait dengan rencana Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono untuk mengkaji beberapa opsi untuk mengantisipasi penurunan tarif tol Trans Jawa yang dianggap mahal.
Logistik Strategis
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi juga menyoroti tarif tol Trans Jawa masih mahal, baik untuk kendaraan pribadi maupun angkutan barang atau truk.
"Akibat dari hal ini, volume trafik di jalan tol Trans Jawa, masih tampak sepi, lengang. Bak bukan jalan tol saja, terutama selepas ruas Pejagan," kata Tulus.
Yayat melanjutkan, pihak yang layak tarifnya disubsidi itu adalah angkutan logistik strategis yang berpengaruh terhadap hajat hidup orang banyak, seperti sembako dan Bahan Bakar Minyak (BBM).
"Intinya, tarifnya progresif, jadi makin murah ketika truk itu makin jauh menggunakan jalan tol untuk angkutan logistiknya," katanya.
Jika ini diterapkan, kata Yayat, diharapkan mereka memahami secara rasional bahwa menggunakan jalan tol itu, lebih efisien, nyaman dan cepat (asumsi tol lancar).
"Layanan yang lebih itu, wajar jika ada harga yang harus dibayar. Ya kenyamanan itu dimana-mana ada harganya," katanya.
Sebelumnya, Anggota Komisi VI DPR RI Nyat Kadir menyatakan, tarif jalan tol sebesar Rp1.000 per kilometer yang diterapkan pada Jalan Tol Solo-Ngawi perlu dievaluasi lagi karena terlampau mahal.
"Tarif jalan tol ini mahal buat rakyat, perlu dievaluasi lagi. Tarif tol Solo-Ngawi ini bisa sampai ratusan ribu rupiah dan bagi rakyat kecil, ini berat," tuturnya.
Menurut Nyat, dengan tarif semahal itu, maka terkesan ruas tol hanya diperuntukkan bagi kalangan menengah ke atas saja. Padahal, lanjut politisi Nasdem tersebut, keberadaan jalan tol tersebut adalah untuk kelancaran perjalanan semua kalangan. Namun, ia meyakini harga tol yang mahal itu akan segera direspons pemerintah.
Sebelumnya, Menteri Basuki sebelumnya menyebutkan, skema penurunan tarif tol melalui subsidi dari pemerintah akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Melalui pemberian subsidi, tambah dia, maka pemerintah perlu merogoh kocek Rp380 miliar pada 2019 dan Rp220 miliar pada 2020.
"Pasti membebani APBN. Karena kalau mau diturunkan harus subsidi. Terlalu banyak subsidi juga akan menimbulkan distorsi," kata Basuki. (Faisal Rachman)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN