- Yudisial
MK Tolak Uji Materi UU Wabah Penyakit Menular
26 November 2020 , 15:30

JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji aturan mengenai tanggung jawab pemerintah untuk melindungi tenaga medis saat menangani wabah. Pemohon meminta MK menegaskan makna dalam pasal Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Putusan uji materi Nomor 36/PUU-XVIII/2020 itu dibacakan oleh sembilan hakim konstitusi pada hari ini, Kamis (26/11).
Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi Wahiduddin Adams menilai permohonan para pemohon yang meminta agar mahkamah memaknai frasa 'ketersediaan sumber daya yang diperlukan' dalam Pasal 6 UU 6 Tahun 2018 menjadi 'Ketersediaan alat pelindung diri (APD) bagi tenaga medis' telah terakomodasi pengaturannya dalam ketentuan Pasal 72 ayat 3 UU 6 Tahun 2018.
APD yang dimaksud adalah bagian dari alat kesehatan yang merupakan bagian dari perbekalan kekarantinaan kesehatan. “Bukan bagian dari fasilitas kesehatan sebagaimana yang didalilkan oleh para pemohon,” lanjut Wahiduddin.
Menurut dia, apabila petitum para pemohon dikabulkan, makna dari ketentuan di Pasal 6 UU 6 Tahun 2018 jadi sempit.
Pemohon meminta makna frasa ‘ketersediaan sumber daya yang diperlukan’ dalam Pasal 6 UU 6 Tahun 2018 dimaknai menjadi ketersediaan alat pelindung diri, insentif bagi tenaga medis, santunan bagi keluarga tenaga medis dan sumber daya pemeriksaan penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat.
“Serta menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat 1 UUD 1945,” urai Wahiduddin dalam putusannya, Kamis (26/11).
Menurutnya, jika petitum itu dikabulkan oleh MK, Wahiduddin menilai justru akan menimbulkan kerugian di masyarakat secara luas. Karena, berdampak pada ketidakmaksimalan upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit serta faktor risiko kesehatan masyarakat.
“Bila diubah maknanya, pemerintah menjadi tidak berkewajiban lagi untuk menyediakan fasilitas kekarantinaan kesehatan. Misalnya, rumah sakit, sediaan farmasi, misalnya obat-obatan, dan perbekalan kesehatan lainnya,” lanjut dia.
Padahal, hal demikian menjadi tanggung jawab negara sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 34 ayat 3 UUD 1945.
Selain itu, Wahiduddin mengungkapkan persoalan ketidaktersediaan APD secara merata untuk memenuhi seluruh kebutuhan tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan di tengah kondisi masa pandemi covid-19 saat ini sebagaimana didalilkan para pemohon sesungguhnya merupakan bentuk kepedulian dan keprihatinan para pemohon dan masyarakat. Sehingga, hal ini harus menjadi perhatian serius dari masyarakat.
“Persoalan tersebut tidaklah berkorelasi dengan anggapan inkonstitusionalitas norma Pasal 6 UU Nomor 6 Tahun 2018. Dengan demikian dalil para pemohon mengenai konstitusionalitas Pasal 6 UU Nomor 6 Tahun 2018 tidak beralasan menurut hukum,” tukasnya.
Disisi lain, tiga hakim konstitusi, yakni Aswanto, Saldi Isra, dan Suhartoyo, memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion. Terkait pertimbangan hukum uji materiil Pasal 9 ayat 1 UU 4 Tahun 1984.
Menurut ketiganya, permohonan para pemohon agar kata “dapat” dalam tersebut menjadi kata “wajib”. Sehingga norma tersebut konstitusional sepanjang dimaknai “kepada para petugas tertentu yang melaksanakan upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 1 wajib diberikan penghargaan atas risiko yang ditanggung dalam melaksanakan tugasnya adalah beralasan menurut hukum.
Saldi Isra berpendapat pasal itu menjelaskan objek permohonan mengatur subjek khusus yang melaksanakan tugas untuk menanggulangi tidak dapat diposisikan sebagai norma yang berlaku bagi semua orang terlibat dalam memberikan pelayanan kesehatan di masa pandemi. Dalam hal ini, makna protecting public health in a general sense is not enough, tanpa diikuti dengan obligation of states, terutama dalam menghadapi situasi pandemi.
Sebagai pekerjaan yang berisiko, Saldi menyebut kebijakan berbentuk fakultatif atau diskresioner adalah kebijakan yang tidak menghargai derajat kemanusiaan. Mestinya dengan tingkat dan beban risiko yang dihadapi, kebijakan negara terhadap mereka yang terdampak karena melaksanakan penanggulangan wabah, termasuk wabah pandemi Covid-19, tidak dapat ditempatkan sebagai kebijakan yang bersifat pilihan dan harus bersifat imperatif.
Sebelumnya, pemohon perkara dengan nomor registrasi 36/PUU-XVIII/2020 menguji UU Wabah Penyakit Menular pada Pasal 9 ayat 1, “Kepada para petugas tertentu yang melaksanakan upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat diberikan penghargaan atas risiko yang ditanggung dalam melaksanakan tugasnya”.
Pemohon juga melakukan pengujian materiil UU Kekarantinaan Kesehatan pada Pasal 6, “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap ketersediaan sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan”.
Pemohon menegaskan, ada kewajiban pemerintah untuk menyediakan APD bagi tenaga kesehatan yang bertugas melawan covid-19 sebagai perlindungan hukum yang adil dan tanggung jawab negara atas fasilitas kesehatan yang layak. (Dwi Herlambang)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN