- Nasional
Literasi, Jurus Ampuh Menangkal Hoaks
25 Februari 2021 , 11:24

Oleh Gisantia Bestari*
Pada suatu hari, sebuah informasi tersebar di aplikasi berbagi pesan WhatsApp. Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan, meninggal dunia. Begitu bunyi kabarnya. Sejumlah orang yang menerima pesan tersebut langsung mengucapkan belasungkawa.
Namun, belakangan diketahui bahwa berita yang beredar pertengahan Februari 2021 itu merupakan sebuah hoaks. Sahidin, asisten Dahlan Iskan, mengumumkan Dahlan Iskan masih beraktivitas seperti biasa dan dalam keadaan sehat.
Ya, makin lama, pesan palsu alias hoaks semacam itu makin sering terdengar di beragam platform media sosial. Mirisnya, sebagian orang, tanpa memverifikasi ulang, justru langsung membagikannya ke grup aplikasi pesan atau akun media sosial miliknya.
Akibatnya, pesan hoaks pun secara berantai menyebar. Akhirnya, makin besar pula potensi orang yang mempercayainya begitu saja.
Tak dimungkiri, perkembangan teknologi informasi memudahkan kita mencari dan menerima berbagai macam berita dari beragam sumber, seketika. Komunikasi melalui media sosial pun tak terbatas ruang-waktu, serta terasa lebih cair dan egaliter. Siapa pun bisa berkomentar dan mengutarakan pendapat.
Cara berkomunikasi ini juga terbukti lebih efisien dan murah. Pesan yang disampaikan, baik berupa ujaran, verbal, maupun visual, dapat disimpan dan dibagikan berulang kali tanpa batas secara instan.
Sayangnya, kondisi ini tak terlepas dari residu. Salah satunya disebarkannya pesan palsu dengan berbagai tujuan. Akhirnya, media sosial seolah jadi hutan belantara yang menyuburkan pesan palsu atau manipulatif alias hoaks, ujaran kebencian (hate speech), perundungan (bullying), serta sesat pikir (logical fallacy).
Apabila tidak cermat dan malas memverifikasinya, kita bisa dengan mudah terjebak dalam informasi yang menyesatkan. Apalagi, jika kabar yang diterima kerap disampaikan berulang-ulang (repetisi). Dampaknya, makin banyak yang percaya dan mendukung pesan tersebut hingga akhirnya sebuah pesan bisa bertransformasi menjadi kebenaran ilusi yang sifatnya sangat bias, atau beken disebut post truth.
Berdasarkan survei yang dikutip dari Puslitbang Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI dalam penelitiannya tahun 2018, masyarakat menerima hoaks lebih dari satu kali setiap harinya. Adapun saluran yang paling banyak digunakan untuk menyebarkan hoaks adalah media sosial.
Kondisi ini dinilai menjadi penyebab timbulnya keraguan dan kebingungan masyarakat akan informasi yang diterima. Efeknya, disinformasi atau kabar bohong dan manipulatif bisa memicu seseorang mengambil tindakan yang salah dan merugikan berbagai pihak.
Pada April 2020, misalnya, Kominfo menemukan 1.125 hoaks terkait virus corona di media sosial. Fenomena ini jelas merugikan masyarakat karena menambah beban psikologis di saat pemerintah tengah berupaya menekan penyebaran virus. Begitu juga dengan kabar Jakarta lockdown yang beredar pada awal Februari 2021 lalu.
Lebih lanjut, kabar seluruh pertokoan harus tutup pada 12—15 Februari, termasuk adanya denda bagi yang melanggar, merupakan berita lain yang juga tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Mengatasi berbagai disinformasi yang sering terjadi tersebut, pemerintah pun kerap mengimbau agar masyarakat selalu mengakses laman resmi milik pemerintah demi memperoleh informasi yang valid. Dengan demikian, segala kepanikan yang tidak diperlukan dapat dihindari.
Sikap Penerimaan Pesan
Sebenarnya, sumber informasi manakah yang paling dapat dipercaya oleh masyarakat? Visi Teliti Saksama mencoba mencari tahu melalui survei tentang penerimaan pesan media online yang diselenggarakan pada 22 Januari—18 Februari 2021.
Pada survei ini, terdapat 1.319 responden yang terlibat. Mayoritas responden adalah kelompok usia 24-40 tahun, berjenis kelamin laki-laki, domisili non-Jabodetabek, dan pendidikan terakhir tamat SMA.
Di samping itu, kondisi ekonomi mereka sebagian besar tidak atau belum bekerja, tidak memiliki dana darurat atau investasi, dan pengeluaran lebih dari Rp775.000/bulan.
Lebih lanjut, dari 1.319 responden tersebut, sebagian besar (87,8%) mengakui suka berdiskusi dengan orang lain. Dalam hal ini, lebih dari separuh mengaku tak pilih-pilih teman diskusi. Dengan kata lain, siapa saja bisa dipilih sebagai rekan diskusi (51,4%), tidak hanya orang terdekat.
Mereka juga mengaku bersikap menghormati dan mencoba mencari tahu kebenaran apabila mendengar pendapat yang berseberangan (97,2%), ketimbang tidak menghiraukan dan langsung membantah. Selain itu, sebagian besar dari mereka menganut ideologi sosialis (47,5%), demokratis (27,2%), dan religius (13,3%).
Ketika ditanya tentang sumber informasi mana yang paling banyak dipercaya, ternyata 1.319 responden menjawab keluarga/sahabat terdekat lah yang paling menjadi andalan, meski angkanya tidak besar atau mendominasi (28,2%).
Setelah keluarga/sahabat terdekat, ada media massa (26,8%). Baru kemudian ada buku, media sosial, dan pesan broadcast di aplikasi berbagi pesan.
Jika berbicara mengenai media yang paling banyak digunakan untuk mengakses informasi, media online lokal masih jadi unggulan (59%), diikuti dengan media online internasional dan televisi nonberbayar. Hanya sedikit yang memilih media cetak dan radio.
Banyaknya responden yang membaca media online ketimbang media cetak, tidak terlepas dari informasi yang kini dengan mudahnya diakses hanya melalui telepon genggam.
Khusus untuk media online, berita tentang ekonomi dan bisnis serta olahraga paling banyak digemari. Soal frekuensi membaca media online, responden paling banyak mengaku setiap hari membacanya (48,2%), diikuti oleh mereka yang 4-5 kali dalam seminggu membacanya (31,6%).
Setengah dari mereka juga memilih berita yang menyajikan beberapa sudut pandang berimbang dalam suatu kejadian, ketimbang berita yang tidak menggunakan sudut pandang manapun, ataupun berita yang hanya mengambil sudut pandang tokoh yang disukai/diyakini benar.
Seiring dengan hasil di atas, sebagian besar responden memiliki pengendalian diri yang baik. Hal ini terlihat dari tindakan yang mereka ambil jika menerima informasi yang mencuri perhatian di media online.
Sebanyak 83,6% memilih untuk mempertanyakan informasi tersebut dan mencari tahu kebenarannya, ketimbang langsung percaya dan menyebarkan ke orang lain ataupun menyimpannya untuk diri sendiri.
Namun, mereka mengakui bahwa informasi di media online cukup memengaruhi opini mereka (72,6%), dan hanya sedikit sekali yang mengaku tidak terpengaruh sama sekali. Untungnya, sebanyak 82,9% atau 1.094 responden bisa mengenali atau mengidentifikasi berita yang dibaca benar atau sekadar hoaks.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 70,8% atau 775 responden mengetahui sebuah berita atau kabar teridentifikasi hoaks karena dianggap berasal dari media yang tidak meyakinkan. Sementara itu, pesan broadcast di aplikasi berbagi pesan menjadi sumber informasi yang paling sedikit mereka percayai.
Responden juga paling berminat pada berita yang netral dan berimbang dalam menyajikan informasi. Jika ada informasi yang mencuri perhatian, mayoritas dari mereka mengaku merasa perlu mendalaminya lebih jauh agar memperoleh kebenaran.
Hasil survei ini bisa dibilang cukup melegakan. Meskipun masih banyak pekerjaan rumah buat pemerintah dan semua pihak yang terlibat, setidaknya secara umum responden memiliki sikap yang cukup baik dalam penerimaan pesan media online.
Kerja Bersama
Apapun hasil survei yang telah dilakukan, ketimbang hanya mengandalkan pemerintah dalam memerangi hoaks, semua komponen masyarakat juga punya andil untuk mencegah hoaks menjadi viral, apalagi tumbuh subur.
Jika merujuk hasil survei, sebenarnya sudah semakin banyak orang yang sadar untuk melakukan check and recheck sebelum mempercayai dan menyebarkan informasi. Memang, sudah saatnya tindakan memverifikasi fakta dan data sebelum menyebarkan suatu informasi dijadikan kebiasaan.
Literasi digital pun menjadi hal yang sangat penting dalam melawan tersebarnya kabar simpang siur dalam masyarakat. Sayangnya, survei dari Kominfo akhir 2020 lalu menunjukkan indeks literasi digital nasional masih dalam kategori sedang, dengan angka 3,47, yang artinya “sedang menuju baik”. Jadi, belum sampai pada skala “baik”.
Indonesia Tengah adalah wilayah dengan indeks literasi digital tertinggi, yakni 3,57. Diikuti oleh Indonesia Timur dengan 3,44 dan Indonesia Barat dengan 3,43. Uniknya, tingkat penggunaan internet dan media sosial (inkulasi internet) di Indonesia tergolong tinggi.
Survei Kominfo menyebut, ada 99,9% dari 1.670 responden di 34 provinsi yang memiliki telepon genggam, dan 99,7% memiliki telepon genggam yang tersambung dengan internet. Indeks literasi digital yang tinggi berhubungan dengan usia yang masih muda yakni generasi Y, laki-laki, dan berpendidikan tinggi.
Masih berdasarkan survei Kominfo juga, indeks literasi digital yang lebih tinggi justru diperoleh dari mereka yang intensitas penggunaan internetnya lebih rendah. Sementara itu, tingginya intensitas penggunaan internet tidak berjalan beriringan dengan tingginya indeks literasi digital.
Responden dengan indeks literasi digital yang tinggi juga lebih mampu mengenali hoaks. Tak hanya itu, mereka juga cenderung tidak menyebarkan hoaks. Karenanya, literasi digital erat kaitannya dengan pencegahan penyebaran hoaks.
Mengecek dan mencari tahu kebenaran sebuah berita, memang tak semudah mendapatkannya. Perlu pengetahuan dan waktu lebih untuk mengecek kebenaran dari kabar yang datang tersebut.
Akan tetapi, setidaknya, untuk menghindari kabar bohong, manipulatif, atau bertendensi tertentu, alangkah baiknya kita bisa menekankan sikap adil sejak dalam pikiran. Tak hanya menerima dan percaya kabar dari pihak yang kita suka atau menganggap semua kabar soal pihak yang tak kita suka, sebagai sesuatu yang pasti salah.
Informasi dengan agitasi apapun bisa menyebar pesat, namun kemampuan kita dalam menyeleksinya tidak boleh kalah sigap. Dalam hal ini, cuek mungkin jadi selemah-lemahnya iman untuk menangkal hoaks.
*) Peneliti Muda Visi Teliti Saksama
Referensi:
Antara. (2020). Hoaks! Dahlan Iskan meninggal dunia. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/2003377/hoaks-dahlan-iskan-meninggal-dunia pada 19 Februari 2021
Antara. (2020). Indeks literasi digital Indonesia sedang, padahal hobi main medsos. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/1850576/indeks-literasi-digital-indonesia-sedang-padahal-hobi-main-medsos pada 19 Februari 2021
Antara. (2017). Literasi digital mencegah penyebaran hoax. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/663927/literasi-digital-mencegah-penyebaran-hoax pada 19 Februari 2021
Antara. (2020). Pemerintah deteksi 1.125 hoaks COVID-19. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/1425185/pemerintah-deteksi-1125-hoaks-covid-19 pada 19 Februari 2021
Antara. (2020). Pemerintah tegaskan kabar Jakarta "lockdown" total hoaks. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/1984065/pemerintah-tegaskan-kabar-jakarta-lockdown-total-hoaks pada 19 Februari 2021
Juditha, Christiany. (2018). Interaksi Komunikasi Hoax di Media Sosial serta Antisipasinya Hoax Communication Interactivity in Social Media and Anticipation. Puslitbang Aplikasi Informatika dan Informasi Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika RI
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN