- Ekonomi
Lawan Kampanye Hitam, Ribuan Hektare Lahan Sawit Diverifikasi
12 Februari 2019 , 18:44

SEKAYU - Melawan kampanye hitam terhadap industri sawit nasional, ribuan hektare lahan sawit di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan akan diverifikasi. Metode Verified Source Area (VSA) diterapkan untuk memastikan area perkebunan sawit yang digunakan tidak masuk dalam kawasan hutan lindung. Dengan demikian, tuduhan bahwa perkebunan sawit Indonesia telah merusak hutan (deforestasi) dapat disangkal.
“Jika lahan sudah terverifikasi, dampaknya diharapkan positif dan bisa mendongkrak harga di tingkat petani,” kata Bupati Musi Banyuasin, Dodi Reza Alex, di Sekayu, Selasa (12/2), seperti dilansir Antara.
Penerapan VSA juga bagian dari komitmen Kabupaten Musi Banyuasin untuk mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan yang berkaitan dengan perkabunan sawit. Dalam metode VSA, pembeli, pedagang, atau pihak ketiga manapun yang tertarik akan dapat dengan mudah menilai status keberlanjutan daerah penghasil kelapa sawit. Kemajuan keberlanjutan terus dipantau dari publikasi yang teratur oleh pihak independen.
Melalui metode VSA, pembeli akhir dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang rantai pemasok kelapa sawit mereka. Dengan demikian, mereka turut meningkatkan keberlanjutan wilayah penghasil kelapa sawit.
Sementara itu, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Provinsi Sumatera Selatan meminta semua pihak untuk bekerja sama dan bersinergi dalam melawan kampanye hitam. Kampanye ini belakangan banyak dilakukan oleh negara-negara Uni Eropa terhadap produk ekspor utama Indonesia, minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO).
Ketua GAPKI Sumsel, Harry Hartanto, mengatakan bahwa kampanye hitam yang terus berlanjut dapat mempengaruhi harga di tingkat petani.
“Tujuan dari kampanye hitam ini tak lain agar produk sawit Indonesia ini tidak masuk ke negara mereka (negara Eropa) karena mereka ingin menjual produk sendiri, yakni biji matahari dan minyak kedelai,” kata Harry.
Data Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa Indonesia adalah pemasok utama kebutuhan CPO ke Eropa. Setiap tahun, rata-rata ekspor CPO Indonesia ke Eropa mencapai 3,5 juta ton. Angka itu memenuhi lebih dari separuh kebutuhan CPO Eropa yang mencapai 6,3 juta ton. Sementara itu, Malaysia merupakan pemasok terbesar kedua setelah Indonesia dengan ekspor mencapai 1,5 juta ton.
Pengurangan serapan minyak sawit Indonesia, menurut Harry, dapat mengancam ketahanan ekonomi nasional karena perkebunan sawit Indonesia sebagian besar dimiliki oleh rakyat. Selain itu ekspor minyak sawit terbukti telah memberikan sumbangan besar kepada cadangan devisa negara.
Berdasar data yang diolah GAPKI, pada tahun 2018, ekspor sawit dan turunannya menyumbang devisa sebesar US$20,54 miliar. Nilai ini memang tak setinggi capaian pada 2017 yang mencapai US$22,97 miliar. Penurunan ekspor menjadi penyebab menyusutnya sumbangan devisa dari sawit.
Berbagai hambatan menyebabkan pertumbuhan ekspor minyak sawit dan turunannya di 2018 melambat. Sepanjang tahun lalu, ekspor minyak sawit dan turunannya hanya membukukan kenaikan 8%, melambat dari pertumbuhan tahun sebelumnya yang mampu mencetak pertumbuhan hingga 23%.
“Tahun 2018, ekspor minyak sawit Indonesia secara keseluruhan, CPO dan produk turunannya seperti biodiesel dan oleochemical membukukan kenaikan sebesar 8% atau dari 32,18 juta ton pada 2017 meningkat menjadi 34,71 juta ton di 2018,” ujar Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Mukti Sardjono, melalui siaran pers, Rabu (6/2).
Tahun sebelumnya, data GAPKI menunjukkan ekspor melaju 23%, atau naik dari 25,11 juta ton pada 2016 menjadi 31,05 juta ton pada 2017. GAPKI tidak memasukkan biodiesel dan oleochemical pada raihan ekspor pada 2017 tersebut. Sejalan dengan pertumbuhan ekspor tersebut, perolehan devisa juga meningkat 26% dibandingkan tahun 2016 yang hanya mencapai US$18,22 miliar.
Irit Lahan
Beberapa waktu lalu, Kepala Satgas Kelapa Sawit International Union for Conservation of Nature (IUCN), Erik Meijaard, mengatakan bahwa pada tahun 2050 nanti, kebutuhan minyak nabati dunia akan mencapai 310 juta ton. Dari angka itu, minyak sawit berkontribusi sampai 35%.
Untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati tersebut, kehadiran kelapa sawit diperlukan. Pasalnya, Penggantian komoditas kelapa sawit dengan komoditas minyak nabati dari tanaman lain akan secara signifikan meningkatkan total kebutuhan lahan.
Studi IUCN menyebutkan kelapa sawit mampu menghasilkan lebih banyak minyak nabati. Satu ton minyak nabati bisa didapatkan hanya dari 0,26 hektare (ha) tanaman kelapa sawit. Sementara, untuk mendapatkan jumlah minyak nabati yang sama memerlukan 1,43 ha tanaman bunga matahari atau 2 ha tanaman kedelai.
“Kelapa sawit akan tetap dibutuhkan dan kita perlu segera mengambil langkah untuk memastikan produksi kelapa sawit yang berkelanjutan, memastikan semua pihak—pemerintah, produsen, dan rantai pasok—menghargai komitmen mereka terhadap keberlanjutan,” kata Erik, di Jakarta, Senin (4/1).
Masih dari kajian yang sama, diketahui sekitar 33% dari total luas daratan Indonesia atau seluas 66 juta ha digunakan untuk menunjang kehidupan. Dari luas tersebut, perkebunan kelapa sawit sendiri seluas 14 juta ha, diikuti sawah seluas 7,1 juta ha. Selebihnya, pemukiman dan fasilitas publik lain.
Sementara itu, dilansir dari Antara, anggota DPR dri Fraksi Golkar, Firman Subagyo, menginginkan pemerintah untuk menelusuri sumber aliran dana sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kerap melakukan kampanye hitam terhadap industri sawit. Pemerintah Indonesia, menurut Firman, perlu mencontoh sikap pemerintah India yang mencabut izin bagi ribuan kelompok dan LSM dengan sumber dana asing yang tidak jelas. (Sanya Dinda)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN