- Nasional
Lakon Pelik Transportasi Publik
16 Juni 2020 , 21:00

JAKARTA – Dilema. Kondisi itu tengah dialami oleh pemerintah Indonesia, setelah tiga bulan dilanda wabah corona. Perekonomian dan kesehatan merupakan dua sektor yang sangat terpengaruh oleh pandemi ini. Keduanya butuh perhatian lebih dan sama-sama penting untuk didahulukan. Padahal, mendahulukan satu sektor bisa jadi mengorbankan sektor lainnya.
Belakangan, pemerintah dikatakan sebagian pihak, lebih memilih untuk "menyelamatkan" sektor ekonomi, dengan mulai membuka kembali akses masyarakat untuk menggunakan moda transportasi. Memang, pembukaan akses transportasi, diikuti dengan penerapan protokol kesehatan yang cukup ketat. Namun, hal tersebut tak benar-benar bisa menghilangkan risiko penyebaran wabah.
Konsentrasi kerumunan di satu moda transportasi, justru membuka peluang pemaparan. Sudah terbukti, beberapa kali Kereta Rel Listrik (KRL) jadi klaster penyebaran baru covid-19 antara Jakarta dan daerah penyangga.
Aturan bertransportasi pun diterbitkan dan berkali-kali diperbarui. Namun sejatinya, titik permasalahan bukan lagi pada aturan, melainkan pada kesadaran masyarakat pengguna kendaraan umum.
Adanya kebijakan dan saksi sekalipun, tak menjamin protokol kesehatan diterapkan secara disiplin. Tak jarang juga, suatu aturan yang diterapkan justru menimbulkan ekses tertentu yang tak diantisipasi sebelumnya.
Misalnya, aturan pembatasan jumlah penumpang pada KRL. Aturan ini sedianya dijalankan agar tak ada kerapatan antar penumpang yang membuat potensi penularan virus makin tinggi. Namun efeknya, antrean panjang dan kerumunan justru terjadi di luar stasiun. Karena banyak orang yang tak diperkenankan masuk, demi menjaga jumlah penumpang di dalam stasiun dan kereta sesuai dengan batas maksimal.
Di sisi lain, pelaku transportasi tidak tahan lagi jika harus bertahan dalam lockdown. Banyak perusahaan transportasi terancam bangkrut karena jumlah penumpang angkutan darat, laut, dan udara kompak menurun drastis sejak pandemi melanda.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) selama pandemi covid-19, jumlah penumpang angkutan darat kereta api, turun 53%. Begitu juga dengan angkutan laut yang turun 71%, dan angkutan udara turun 82%.
Padahal, banyak orang yang menggantungkan rezekinya dari sektor transportasi. Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) mencatat, total ada 6.328 tenaga kerja pekerja transportasi umum (bus AKAP dan Bus Pariwisata) terkena PHK.
Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) terlihat berupaya menyeimbangkan kondisi ini. Melalui kebijakannya, walau kerap menyulut polemik, Kemenhub berharap, sektor transportasi tetap hidup, namun masyarakat bisa aman beraktivitas menggunakan moda transportasi umum.
Berbagai Aturan
Sekadar mengingatkan, pada awal April, Kemenhub mulai mengatur urusan transportasi di tengah pandemi covid-19, lewat Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 18 Tahun 2020. Beleid ini mengatur pembatasan armada, jumlah kapasitas, kewajiban pengecekan kesehatan, pengenaan masker, penjualan tiket secara online, dan pembatasan jadwal transportasi. Rumusan kebijakan ini mengacu pada penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dicanangkan Presiden Joko Widodo bersama Gugus Tugas Percepatan Penanganan covid-19.
Setelah itu, diterbitkan Permenhub Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idulfitri Tahun 1441 Hijriah, dalam rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19. Aturan ini kemudian diatur lewat (SE) Gugus Tugas Nomor 4 Tahun 2020 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Selanjutnya, pada 7 Mei, Kemenhub kembali membuka moda transportasi dengan menggunakan protokol kesehatan seperti jaga jarak, pengaturan kapasitas dan penggunaan masker bagi masyarakat yang dikecualikan. Pengecualian sendiri merupakan hasil dari kajian Gugus Tugas.
Tak hanya sampai itu, pada 8 Juni lalu, Kemenhub kembali mengeluarkan Permenhub Nomor 41 Tahun 2020. Aturan ini berisi tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19.
Dalam beleid anyar tersebut, kapasitas penumpang transportasi publik kembali dinaikkan menjadi 75% dari sebelumnya hanya 50%. Rencananya kapasitas ini juga akan kembali dinaikkan menjadi 85% pada 1 Juli nanti.
"Semua kebijakan kami itu merujuk ke arahan Pak Presiden dan kajian Gugus Tugas. Karena dinamikanya berkembang cepat," ujar Juru Bicara Kemenhub, Adita Irawati kepada Validnews, Senin (15/6).
Disebutkan, semua kebijakan dikonsultasikan dengan berbagai pihak. Dalam perumusannya, juga melewati kajian dari dewan pakar di bidang keselamatan transportasi. Sementara untuk bidang kesehatannya mengacu ke dewan pakar kesehatan Gugus Tugas dan Kementerian Kesehatan.
Lalu, apakah diperlonggarnya restriksi tersebut, didasari oleh optimisme sudah melandainya penyebaran covid-19 atau semata karena pemerintah tak tahu lagi mengatasi desakan para pebisnis transportasi? Adita menampik alasan kedua. Ia menegaskan, aspek kesehatan masyarakat tetap prioritas utama.
Menurutnya, apapun kebijakan yang dikeluarkan, memutus rantai covid-19 tetap menjadi prinsip. Akan tetapi harus disadari, lanjutnya, pandemi menyerang semua sektor, bukan hanya melulu soal kesehatan. Sementara roda ekonomi sangatlah tergantung pada bidang transportasi.
"Jadi kami tetap melindungi penumpang yaitu masyarakat dengan protokol kesehatan, di sisi lain juga menyelamatkan operator transportasi. Mereka tetap bisa beroperasi dan secara ekonomi, dia juga bisa survive. Dalam hal ini kami memikirkan semua pihak," jelasnya
Adita menyebutkan, tantangan terbesar untuk menyeimbangkan aspek ekonomi dan kesehatan, adalah kedisiplinan masyarakat dan operator transportasi publik dalam menerapkan protokol kesehatan. Masyarakat menurutnya harus menyadari, ada kebiasaan baru yang dibangun, dan ada aturan baru yang harus ditaati.
Disesuaikan Situasi
Dengan merujuk kajian situasi terkini oleh Gugus Tugas dan arahan Presiden, pintu pengetatan aturan memang tak benar-benar tertutup. Pembatasan bisa saja kembali diberlakukan, jika hasil evaluasi dari kurva penularan covid-19 membutuhkan hal tersebut.
Wakil Ketua Komisi V DPR RI Nurhayati Monoarfa pun berpendapat, segala kebijakan pemerintah akan sistem transportasi pada saat pandemi memungkinkan untuk terus berubah.
"Ada kemungkinan juga pembukaan moda transportasi ini diperketat atau bahkan diberhentikan, kalau angka kasusnya melonjak dan meluas. Kebijakan itu dievaluasi setiap dua minggu mengikuti situasi yang ada," ungkap Nurhayati kepada Validnews, Minggu (14/6).
Menurutnya, hal yang sah bagi pemerintah untuk melonggarkan sistem transportasi massal, dengan dalih menggairahkan kembali perekonomian masyarakat. Namun, hal itu wajib dibarengi dengan pengetatan aturan protokol kesehatan.
"Karena kita tidak bisa memaksa operator atau penyedia jasa untuk merugi. Tidak akan jalan perusahaannya kalau tidak dilonggarkan, karena mereka juga dilarang menaikan harga tiket," ujar Nurhayati.
Nurhayati menyatakan, DPR menyadari kebijakan yang dikeluarkan Kemenhub perlu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi terkini covid-19. Apalagi, Presiden sudah meminta masyarakat untuk segera melanjutkan hidup dengan produktif di tengah pandemi, yang tak bisa diprediksi kapan berakhirnya.
Penekanan sanksi juga disarankan harus membuat efek jera. Ia menyebutkan, pelanggaran kecil seperti tidak menggunakan masker atau membuat kerumunan saat bepergian, perlu ditindak.
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia Bambang Istianto berpendapat, pembukaan moda transportasi pada era kelaziman baru ini, untuk menunjang perbaikan perekonomian nasional. Karena, menurutnya, jika transportasi tumbuh, ekonomi pun cenderung meningkat.
Nah, sektor transportasi justru sangat terdampak dan terpuruk pada masa pandemi covid-19. Nyaris 100% bisnis transportasi pada era pandemi ini menurutnya hancur.
"Jadi ada kemungkinan pemerintah ini sedang menyelamatkan perusahaan transportasi. Tapi jika moda transportasi dibuka, harus diatur protokol kesehatannya, agar masyarakat merasa aman," kata Bambang kepada Validnews, Minggu (14/6).
Menurutnya, seiring dengan pengetatan jumlah penumpang dalam moda, perlu solusi agar mobilitas masyarakat dapat tetap terlayani secara maksimal. Misalnya lewat penambahan armada.
"Jadi misalkan tadinya hanya ada dua bus, ya sekarang selama kapasitasnya 75%, ditambah jadi lima bus yang beroperasi. Selama inikan sarananya terbatas tapi demand-nya tinggi," paparnya.
Ia menilai, pandemi hampir melumpuhkan semua elemen masyarakat, sedangkan manusia butuh kerja untuk makan. Jadi, mau tidak mau kegiatan ekonomi harus dibuka. Ketika ruang ekonomi dibuka, transportasi akan menjadi leading sektor yang membuka koridor ekonomi lainnya.
"Transportasi memang menjadi sektor yang dilematis. Dilematis karena transportasi tidak boleh mandek untuk pertumbuhan ekonomi. Sementara masyarakat harus diyakinkan keamanannya dengan disiplin protokol kesehatan," ujar Bambang.
Mobilitas Masyarakat
Sementara itu, Pengamat Transportasi, Djoko Setijowarno justru berpendapat, penerapan kelaziman baru di sektor transportasi sarat akan kepentingan semata. Ia merasakan, kepentingan politis dan bisnis lebih menguat ketimbang kesehatan dan kesejahteraan rakyat.
Dipastikan, perusahaan transportasi publik bakal menyambut baik dibukanya kembali sistem transportasi dan ditambahnya kapasitas ini. Sebab, kata Djoko, pada masa pandemi covid-19 ini bisnis mereka terancam gulung tikar.
Ia berpandangan, masalah transportasi publik yang aman pada era kelaziman baru sebenarnya hanya masalah hilir. Sebab hal tersebut merupakan kebutuhan turunan dari suatu aktivitas masyarakat (derived demand). Sementara itu, perlu juga dilakukan pengaturan intensitas aktivitas masyarakat sebagai hulunya. Salah satunya rutinitas bekerja yang kini sudah mulai kembali berjalan normal.
"Kita lupa hulunya. Hulunya itu mengatur travel demand management, kegiatannya, aktivitasnya," kata Djoko kepada Validnews, Sabtu (15/6).
Djoko berpendapat, alih-alih memaksakan transportasi kembali seperti dulu, lebih baik ada kreativitas dan adaptasi untuk mengatur transportasi. Misalnya saja, bekerja sama dengan kantor atau perusahaan untuk mengangkut pekerja yang harus bekerja ke kantor atau pabrik.
Perusahaan atau pabrik bisa mengalihkan uang transportasi yang biasa didapat pekerjanya, menjadi biaya antar jemput dengan bus khusus ini. Dengan begitu, bisnis transportasi bisa kembali membaik di masa pandemi covid-19 dan pekerja bisa lebih aman dalam perjalanan.
"Suruh naik angkutan umum, tapi disediakan. Petakan daerahnya di mana saja dia berangkat. Jadi lebih hemat dan industri angkutan umumnya tumbuh lagi. Karena orang mau naik angkutan umum juga takut sekarang ini," ucap dia.
Di samping itu, Djoko berpendapat moda transportasi sepeda pun bisa menjadi alternatif untuk mobilitas jarak pendek pada masa pandemi. Bahkan, dia menyebut kondisi ini justru jadi kesempatan pemerintah untuk membangun jaringan jalur sepeda di seluruh kota.
Bersepeda dinilainya bukan saja dapat memberi keuntungan bagi kesehatan, tetapi juga dapat menghindari kerumunan. Di Indonesia saat ini baru Jakarta yang dia sebut berkomitmen membangun jalur sepeda sepanjang 63 kilometer dari 545 kilometer jalan yang ada.
"Makanya saya bilang sekarang kesempatan orang bersepeda. Buatlah jalur-jalur sepeda dan pejalan kaki yang baik di seluruh kota di Indonesia," tuturnya. (Gisesya Ranggawari, Wandha Nur Hidayat)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN