• Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Opini

Krisis Repetitif Kedelai

Tingkat konsumsi kedelai masyarakat Indonesia mengalami rata-rata pertumbuhan sebesar 7,97 kg/kapita/tahun
15 Januari 2021 , 16:00
Pekerja menyelesaikan pembuatan tahu di Kelurahan Bojongsari, Indramayu, Jawa Barat, Rabu (30/12/2020). Sejumlah produsen tahu dan tempe di Indramayu berencana melakukan aksi mogok produksi mulai 1 Januari hingga 3 Januari 2021 sebagai bentuk protes atas melonjaknya harga kedelai dari Rp7.000 per kg menjadi Rp10.000 per kg. ANTARAFOTO/Dedhez Anggara
Pekerja menyelesaikan pembuatan tahu di Kelurahan Bojongsari, Indramayu, Jawa Barat, Rabu (30/12/2020). Sejumlah produsen tahu dan tempe di Indramayu berencana melakukan aksi mogok produksi mulai 1 Januari hingga 3 Januari 2021 sebagai bentuk protes atas melonjaknya harga kedelai dari Rp7.000 per kg menjadi Rp10.000 per kg. ANTARAFOTO/Dedhez Anggara

Oleh Mohammad Widyar Rahman*

Si Ayu, begitu para warga sering memanggilnya, setiap pagi sudah berjalan kaki keliling menawarkan dagangan. Pecel, bihun, mie, dan tidak kalah pentingnya gorengan yang terdiri dari bakwan, tahu, dan tempe, saban hari ditawarkannya kepada siapa pun. Ia berjualan dari pagi hingga sekitar pukul 9 pagi.

Namun, beberapa hari terakhir, ada yang hilang dari bawaan Ayu. Tempe dan tahu tak lagi ikut. Sejumlah pembeli bertanya senada, kenapa gorengan tahu dan tempenya tidak ada. Si Ayu pun menjawab dengan mengistilahkan tahu dan tempenya sedang demo. Alhasil, isi jualannya pun menjadi kurang variatif.

Ada pula seorang ibu yang sedang berbelanja di warung kedapatan bertanya, mengapa “Romeo” dan “Yuliet” tak tampak. Dia mengistilahkan tempe dan tahu sebagai Romeo dan Yuliet sebab keduanya wajib hadir bersama di meja makannya setiap hari.

Begitulah posisi tahu dan tempe di masyarakat Indonesia. Hampir di setiap harinya memang selalu menghiasi piring kita. Bahkan, ketika kita membeli makanan, baik online maupun offline/secara langsung, untuk menu-menu tertentu selalu menghadirkan tahu dan tempe pada paket yang ditawarkan.

Mungkin benar juga apa yang dikatakan ibu itu, tahu dan tempe sudah seperti Romeo dan Yuliet. Tak pas jika tak hadir bersama. Mungkin sedikit berlebihan, tetapi yang jelas, kenyataannya demikian.

Sama-sama berbahan baku kedelai, kedua makanan ini bermanfaat bagi pemenuhan nutrisi masyarakat. Di samping sebagai sumber protein nabati dengan harga yang terjangkau, kedelai juga memiliki kandungan fitokimia yang sangat bermanfaat bagi kesehatan dan untuk pencegahan berbagai penyakit. 

Sayangnya, keromantisan tahu dan tempe tidak seindah yang dibayangkan. Penyebabnya tak lain karena sering munculnya masalah yang menimpa kedelai sebagai bahan baku terciptanya sejoli ini. Mengingat tak hanya satu dua kali terjadi, sebenarnya ada apa dengan kedelai?

Kejadian yang Berulang
Masyarakat seakan terguncang setiap kali kedelai mengalami kenaikan ataupun kelangkaan. Padahal, kejadian tersebut bukan kali ini saja terjadi.

Dalam rentang waktu 2010 hingga 2020 saja, telah terjadi kenaikan harga sebanyak beberapa kali. Sebut saja pada 2012, kelangkaan disebabkan kenaikan harga kedelai di pasar global. Saat itu, Amerika Serikat sebagai pemasok terbesar mengalami kekeringan sehingga produksi kedelainya menurun.

Selanjutnya, pada 2013 dan 2014, harga kedelai pun kembali meroket. Dalam dua waktu kejadian tersebut, penyebabnya sama, yaitu melemahnya nilai rupiah terhadap US dollar. Tahun berikutnya, kondisi sedikit berbeda. Pada 2015, kenaikan harga kedelai impor terjadi seiring dengan anjloknya harga kedelai lokal.

Kenaikan harga yang hampir selalu berulang setiap tahunnya tersebut, menyebabkan kedelai Indonesia rentan terhadap kelangkaan dan otomatis mengalami fluktuasi harga yang tinggi. Padahal, kebutuhan kedelai bukan hanya untuk produsen tahu dan tempe saja. Dampaknya juga berimbas ke rumah tangga, hotel-restoran-katering (horeka), kebutuhan penyedia makanan dan minuman (PMM), serta kelompok usaha lainnya, bahkan hingga penjual gorengan.

Pantas saja, jika mengacu pada data BPS (BPS, 2020), dalam rentang waktu 2010—2019, terlihat tren ketergantungan terhadap kedelai impor semakin tinggi. Rata-rata impor kedelai mencapai 2,19 juta ton per tahun dengan rata-rata peningkatan sekitar 4,2% per tahunnya.

Sementara itu, jika dibandingkan dengan produksi kedelai lokal, menurut data BPS (BPS, 2016), tren produksi kedelai Indonesia periode 1993—2015 malah mengalami penurunan rata-rata sekitar 3,18%. Pada periode 1993—2003, rata-rata produksi kedelai mencapai 1,25 juta ton per tahun, sedangkan pada periode 2004—2015 rata-rata produksi kedelai menurun, hanya sekitar 826,8 ribu ton per tahun.  

Sama halnya dengan produksi kedelai, berdasarkan data BPS (BPS, 2016), tren luas panen kedelai Indonesia periode 1993—2015 mengalami penurunan rata-rata sekitar 5,04% per tahunnya. Pada tahun 1993, luas panen kedelai mencapai 1,46 juta hektare, sedangkan 2015 luas panennya hanya mencapai 614 ribu hektare. Tentunya, tren penurunan produksi dan luas panen ini berbanding terbalik dengan tren impornya.

Hal ini jelas mencuatkan pertanyaan, apakah lazim jika kedelai Indonesia akan selalu bergantung kepada impor? Bak lingkaran setan, kenaikan berulang yang diikuti dengan kelangkaan pun menjadi pengingat, kenapa kita terjebak terus pada hal sama?

Ekonomi Kedelai
Dalam merespon ketergantungan terhadap kedelai impor, upaya peningkatan produksi kedelai lokal juga bukan hanya saat ini dilakukan. Dalam satu dekade terakhir saja, telah ada upaya untuk itu. Namun, kenyataan berkata lain, malahan kondisinya mengindikasikan tidak adanya peningkatan signifikan dari produksi kedelai Indonesia.

Padahal, data statistik pangan (Kementan, 2019) menunjukkan bahwa tingkat konsumsi kedelai masyarakat Indonesia dalam rentang 2014—2018 mengalami rata-rata pertumbuhan sebesar 7,97 kg/kapita/tahun. Jenis yang dikonsumsi tidak hanya tahu dan tempe. Ada bentuk kedelai segar, tauco, oncom, dan kecap. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, varian produk kedelai juga bertambah, misalnya dalam bentuk susu kedelai.

Secara khusus, jika dilihat dari tingkat konsumsi tahu dan tempe masyarakat Indonesia, menurut data statistik pangan (Kementan, 2019), selama periode 2014—2018 konsumsi tahu dan tempe mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 4,08 kg/kapita/tahun (tahu) dan 2,38 kg/kapita/tahun (tempe). Dengan demikian, jelas bahwa tingkat kebutuhan kedelai dari para produsen tahu dan tempe semakin tinggi.

Dengan tingkat konsumsi yang selalu meningkat ini, tentunya bahan baku harus selalu tersedia. Harga stabil juga menjadi hal yang wajib terjaga. Sayangnya, tingkat produksi lokal tidak mampu untuk menopang kebutuhan masyarakat tersebut.

Selain itu, tidak hanya pada sisi jumlah, produk lokal pada dasarnya memang kurang diminati, terutama ketika digunakan sebagai bahan baku tahu dan tempe. Meski demikian, kondisi tersebut tidak berarti kualitas lokal tidak lebih baik dibandingkan impor.

Secara ekonomi, di tingkat petani, menurut data BPS (BPS, 2019), rasio pendapatan terhadap biaya untuk budi daya kedelai hanya sebesar 0,14. Tentunya, kondisi tersebut berbeda dengan komoditas pertanian lainnya, misalnya padi sawah (0,37) dan jagung (0,41). Akhirnya, petani cenderung mengalihkan kedelai ke komoditas lainnya yang lebih menarik secara ekonomi.

Kedelai lokal yang memiliki kelemahan dibandingkan kedelai impor seharusnya dapat diantisipasi dengan beragam upaya. Di antaranya, melalui program peningkatan produktivitas dan mutu, serta perluasan areal tanam (Handayani et. al. 2010).

Namun, apa mau dikata. Demi memenuhi kebutuhan yang bersifat mendesak dan menjaga kestabilan harga, impor selalu menjadi solusi jangka pendek yang bisa dilakukan. Jika beberapa saat usai kelangkaan kondisi berubah kondusif, maka upaya itu pun seakan jadi solusi terbaik.

Padahal, jika memang produksi kedelai sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, harusnya ada upaya komprehensif mengatasinya. Selayaknya, harus ada terobosan terkait teknik budi daya untuk memaksimalkan hasil.

Bukankah pemenuhan kebutuhan pangan/bahan pangan harus selaras dengan pertumbuhan populasi penduduknya? Lantas, bagaimana bisa mencapai ketahanan pangan, jika sekitar 94,8% kebutuhan kedelai Indonesia per tahunnya (BPS, 2020) bergantung pada produksi negara lain?

*) Peneliti Visi Teliti Saksama

Referensi:
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2016.  Produksi Tanaman Pangan (ton), 1993-2015. Update Terakhir: 1 Juli 2016. https://www.bps.go.id/indicator/53/23/1/produksi.html [diakses pada tanggal 11 Januari 2021]

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2016.  Produksi Tanaman Pangan (ton), 1993-2015. Update Terakhir: 1 Juli 2016. https://www.bps.go.id/indicator/53/21/1/luas-panen.html [diakses pada tanggal 11 Januari 2021]

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2019. Nilai Produksi dan Biaya Produksi per Musim Tanam per Hektar Budidaya Tanaman Padi Sawah, Padi Ladang, Jagung, dan Kedelai, 2017. Update Terakhir: 10 April 2019.

https://www.bps.go.id/statictable/2019/04/10/2055/nilai-produksi-dan-biaya-produksi-per-musim-tanam-per-hektar-budidaya-tanaman-padi-sawah-padi-ladang-jagung-dan-kedelai-2017.html [diakses pada tanggal 11 Januari 2021]

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2020. Impor Kedelai Menurut Negara Asal Utama, 2010-2019. Update Terakhir: 17 April 2020. https://www.bps.go.id/statictable/2019/02/14/2015/impor-kedelai-menurut-negara-asal-utama-2010-2019.html [diakses pada tanggal 11 Januari 2021]

Handayani D, T Bantacut, J M Munandar, S Budijanto. 2010. Simulasi Kebijakan Daya Saing Kedelai Lokal Pada Pasar Domestik. J. Tek. Ind. Pert, 19 (1): 7-15.

[Kementan] Kementerian Pertanian. 2019. Statistik Pertanian 2019. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Kementerian Pertanian Republik Indonesia.

  • Share:

Baca Juga

Kultura

Nutrisi Yang Tepat Selama Pandemi

  • 25 Februari 2021 , 11:18
Nasional

Komisi I Rencana Kunker ke Qatar

  • 22 Februari 2021 , 17:56
Ekonomi

Modal Minim Bisnis Reparasi Kereta Angin

  • 22 Januari 2021 , 20:22

Tulis Komentar

Lupa Password?

ATAU

MASUK DENGAN

Facebook
Google+
Belum memiliki Akun? Daftar Sekarang

Belum ada komentar.

Vista

Penggugah Seni Tradisi Dari Kolong Rumah


  • Terbaru

Sekolah Sasaran DAK Fisik 2021 Lebih Sedikit
25 Februari 2021 , 20:44

Nadiem berharap tak akan ada lagi isu soal sarana dan prasarana sekolah

Inovasi Penting Dorong Pemulihan Ekonomi di Asia Timur
25 Februari 2021 , 20:43

Sebagian besar negara di kawasan ini, kecuali Tiongkok berinovasi tidak sepesat yang diharapkan

Ini Alasan Masyarakat Sulit Kurangi Penggunaan Plastik
25 Februari 2021 , 20:32

Produk-produk dengan wadah yang ramah lingkungan cenderung lebih mahal

Bertaruh Tumbuh Pada Vaksin
23 Februari 2021 , 20:34

Tak meratanya ketersediaan vaksin bisa menjadi pengganjal pencapaian target pertumbuhan ekonomi

Jalan Sunyi Kusir Dokar
22 Februari 2021 , 21:00

Pembatasan membuat mereka terusir dari wilayah wisata dan pemukiman

Harap Tinggi Dari Subsidi Kian Mini
20 Februari 2021 , 18:00

Isu pendataan selalu menjadi penting dalam penyaluran bantuan

Terlanda Kewarganegaraan Ganda
19 Februari 2021 , 21:00

Sistem pendataan tak mendukung rezim kewarganegaraan Indonesia

Perkawinan Campur dan Dilema Bagi Anak
18 Februari 2021 , 21:00

Banyak konsekuensi perkawinan campur berimbas ke anak, tak dipahami warga

Gembosnya Bisnis Indekos
16 Februari 2021 , 21:00

Banyak usaha indekos yang terpaksa tutup

Bisnis Jamu Masih Memikat
15 Februari 2021 , 21:00

Dengan sejumlah inovasi dan branding, jamu sebagai ramuan berkhasiat masih bisa tetap eksis dan banyak peminat

  • Fokus
  • Paradigma

Literasi, Jurus Ampuh Menangkal Hoaks
25 Februari 2021 , 11:24

Tingginya intensitas penggunaan internet tidak berjalan beriringan dengan tingginya indeks literasi digital

Perlunya Membangun Gerakan Moral Sadar Pandemi
24 Februari 2021 , 18:30

Manfaat yang diperoleh khalayak luas dari vaksinasi, harusnya menjadi pemikiran moral menepiskan ego menolak vaksin

Tingkat Persepsi Masyarakat Terhadap Vaksinasi Covid-19
18 Februari 2021 , 19:00

Persepsi masyarakat terhadap vaksinasi covid-19 penting guna menurunkan penyebaran penyakit

PSBB Total, MRT Lakukan Penyesuaian Operasional
14 September 2020 , 10:47

Ada pembatasan jumlah penumpang menjadi 62 -67 orang dalam satu kereta

BERSAMA BIJAK TANGGAPI BENCANA

Urgensi Ketegasan Dalam Penanganan Covid-19 di Indonesia
27 Maret 2020 , 20:00

Ada indikasi bahwa pemerintah seolah gamang, dalam mengambil tindakan tegas untuk penanganan Covid-19

MENYESAP BAHAGIA DENGAN BERDERMA

Tren Filantropi dan Potensi Kebaikan Hati
03 Februari 2020 , 18:19

Tren Filantropi dan Potensi Kebaikan Hati

 
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Disclaimer & Privacy Policy
  • Kontak
© Copyright validnews.co. All rights reserved.