- Yudisial
KPK Pertimbangkan Usut Dugaan Kaburnya Joko Tjandra
22 Juli 2020 , 13:25

JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih mempertimbangkan untuk terlibat dalam investigasi kaburnya buron Joko Tjandra, terpidana kasus hak tagih (cessie) Bank Bali. Sebab, dalam menangani perkara, KPK berlandaskan pada adanya bukti-bukti konkret.
"Perlu kami jelaskan, KPK sebagai penegak hukum dalam menangani perkara landasannya adalah adanya bukti-bukti konkret bukan asumsi semata tanpa data yang jelas," ujar Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri saat dikonfirmasi pada Rabu, (22/7).
Berikutnya, jika ada laporan masyarakat tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam kaburnya buron Joko Tjandra, kata Ali, KPK melakukan verifikasi terlebih dahulu. Pasalnya tidak semua kasus bisa ditangani oleh KPK karena ada batasan kewenangan sebagaimana Pasal 11 Undang-undang KPK.
"Jika pun masuk tindak pidana korupsi, apakah juga menjadi wilayah wewenang KPK karena harus dipahami KPK mempunyai batasan kewenangan sebagaimana Pasal 11 UU KPK, artinya tidak semua kasus Tipikor KPK berwenang menyelesaikannya baik oleh KPK sendiri ataupun melalui joint investigation," terangnya.
Lebih jauh Ali menjelaskan, sesuai undang-undang, pengertian kerugian negara adalah kekurangan uang, surat berharga dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum.
"Jadi persoalan kerugian negara ini berkaitan dengan penggunaan uang negara yang secara melawan hukum kemudian disengaja untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain sehingga negara menjadi rugi secara jelas dan nyata," katanya.
Ali menambahkan, yang terpenting saat ini adalah memperkuat koordinasi antar lembaga dan penegak hukum.
"Kami memandang yang terpenting adalah mendorong koordinasi antar lembaga dan penegak hukum yang seharusnya diperkuat. Misalnya, antara pihak-pihak yang berwenang dalam menerbitkan dokumen administrasi kependudukan, keimigrasian dan perlintasan orang, atau dengan aparat yang berwenang melakukan pengejaran dan pencarian orang," pungkasnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni mendorong Polri turut melibatkan KPK dalam upaya mengungkap kasus Joko Tjandra dalam bentuk investigasi bersama. Hal ini perlu dilakukan mengingat lolosnya Djoko Tjandra dari Indonesia ke Malaysia lantaran adanya keterlibatan sejumlah oknum di beberapa institusi penegak hukum
"Hal itu perlu dilakukan mengingat unsur korupsi dalam kasus Joko Tjandra sudah begitu jelas. Bentuk saja joint investigation antara polisi dan KPK," kata Sahroni dalam keterangannya pada, Selasa, (21/7).
Hal serupa juga diusulkan oleh Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI), Boyamin Saiman. Menurut Boyamin, tidak hanya kepolisian dan kejaksaan, oknum di Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) juga dinilai punya andil.
"Inikan satu rangkaian enggak cukup di kepolisian dan kejaksaan, tapi juga Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM," kata Boyamin pada Senin, (20/7).
Boyamin menjelaskan, keterlibatan Ditjen Imigrasi ini lebih pada membiarkan Joko Tjandra bisa keluar masuk Indonesia dengan bebas hambatan dan tanpa terdeteksi. Boyamin bahkan menyinggung soal Ditjen Imigrasi yang juga mendapatkan surat pemberitahuan dari NCB Interpol Indonesia perihal pencabutan status red notice Joko Tjandra.
Lebih jauh Boyamin menjelaskan, NCB Interpol memang sudah mencabut red notice Joko Tjandra. Namun hal itu tak lantas membuat Ditjen Imigrasi juga menghapuskan Joko Tjandra dari daftar cekal. Sebab, Joko masih menjadi buron dari Kejaksaan Agung (Kejagung).
"Sebelum mencabut surat cekal, dia (Ditjen Imigrasi-red) harusnya tanya dulu kepada Kejagung. Karena kalau statusnya ternyata di Kejagung yang bersangkutan (Joko Tjandra) DPO kan otomatis cekal dan berlaku abadi. Meskipun red notice yang di LN sudah dicabut," terangnya.
Lebih jauh Boyamin menjelaskan, penghapusan nama Joko Tjandra dari daftar cekal inilah yang membuat terpidana kasus hak tagih (cessie) Bank Bali itu juga bisa dengan mudah keluar-masuk Indonesia berkali-kali selama menjadi buron.
"Red notice dan cekal itu beda. Kalau yang di dalam negeri itu statusnya cekal. Artinya kalau dia terdeteksi masuk, dia diamankan dan diserahkan ke Kejaksaan Agung," katanya. (Restu Fadilah)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN