
JAKARTA – Pamor Pesantren Gontor sempat pudar setelah era generasi ketiga. Yakni, sepeninggal Kiai Santoso Anom Besari wafat pada tahun 1918. Masyarakat Desa Gontor dan sekitarnya yang semula taat beragama mulai kehilangan arah. Banyak yang berubah. Berangsur-angsur meninggalkan agama. Bahkan tak sedikit yang berbalik anti-agama. Kejahatan lantas merebak. Maling berkeliaran, kian berderet orang yang nekat berzina, mabuk, serta berjudi.
Istri Kiai Santoso, Nyai Santoso, kemudian memasukan tiga putranya yang kemudian dikenal dengan Trimurti, ke beberapa pesantren dan lembaga pendidikan lain untuk memperdalam ilmu agama. Satu di antaranya adalah Ahmad Sahal, anak kelima.
Pada usia 17 tahun, Sahal berkelana. Berguru ke banyak pondok pesantren bilangan Ponorogo dan Pacitan. Dia menyambangi Ponpes Kauman Ponorogo, Pondok Joresan Ponorogo, Pondok Josari Ponorogo, Pondok Durisawo Ponorogo, Siwalan Panji Sidoarjo, hingga Pondok Termas Pacitan.
Tuntas menekuni berbagai kitab dan mereguk guyuran ilmu, Ahmad remaja melanjutkan pendidikan ke Algemeene Nederlandsch Verbon. Sebuah sekolah untuk calon pegawai pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Jenjang itu dijalaninya selama dua tahun. Mulai 1919 sampai 1921.
Hasrat untuk membangkitkan kembali pesantren ayahnya yang meredup, sudah berbenih di hatinya. Meski Sahal baru mewujudkannya usai menghadiri Kongres Ummat Islam di Surabaya, sebagai utusan dari Madiun. Sepulangnya, pada 20 September 1926, bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi, dia memberanikan diri membuka kembali pesantren tersebut dengan nama Pondok Gontor.
Berawal Pendidikan Anak
Langkah pertama yang dilakukannya adalah mendirikan Tarbiyatul Atfal, yaitu pendidikan untuk anak-anak pada tahun 1926. Tak butuh waktu lama, lembaga itu lantas tersohor. Masyarakat di luar Gontor tertarik untuk mengirim anak-anak mereka ke sana.
Bahkan, sejumlah orang dewasa pun turut. Walau segalanya masih serba sederhana. Tempat belajar saja, hanya beralas tikar dan daun kelapa.
Para santri menyapanya dengan sebutan Pak Sahal. Dari hari ke hari, dia terjun langsung mendidik anak-anak itu, dengan kesabaran berlimpah. Kerja kerasnya berbuah hasil. Dalam tiga tahun, pondok itu telah memiliki 300 santri, yang bukan hanya berasal dari Desa Gontor.
Tak sepeser pun dana yang ditarik. Semua cuma-cuma. Pak Sahal rela merogoh kocek sendiri demi menanggung keperluan sehari-hari pondok. Ini sudah jadi tekadnya. Karena tujuan awal pembelajaran di sana, memang untuk menuntun para pembelajar, pada pemahaman dan pengamalan ajaran-ajaran Islam.
Tujuh tahun berselang, jumlah santri makin bertambah. Angkanya mencapai 500 orang. Namun, karena fasilitas belajar belum memadai. Sebab berlimpah orang, pembelajaran kerap dilakukan di alam terbuka, juga menggunakan rumah penduduk.
Keinginan untuk memiliki tempat yang lebih layak pun muncul. Apa daya, dana menjadi kendala. Tak kurang siasat, Pak Sahal lalu membentuk Anshar Gontor. Semacam tim yang bertugas mengumpulkan dana dari seluruh pulau Jawa, guna mewujudkan pembangunan gedung, tempat para santri belajar.
Nama Tarbiyatul Atfal kian melejit. Dalam kendali kepemimpinan Pak Sahal, mutu lembaga itu terus tumbuh. Terobosan-terobosan baru dilakukan. Tahun 1932, dia membuka Sullamul Muta’allimin, sebagai jenjang pendidikan di atas Tarbiyatul Atfal. Melaluinya, Pak Sahal ingin mencetak lulusan-lulusan berbobot yang mampu jelas berkiprah di tengah masyarakat masing-masing.
Sullamul Muta’allimin didirikan saat menyaksikan betapa banyak lulusan Tarbiyatul Atfal yang bersemangat melanjutkan belajar ke tahap yang lebih tinggi.
Pembelajaran di tingkat tersebut lebih kompleks. Mulai dari fikih, hadis, tafsir, terjemah Al-Qur’an, pidato, diskusi, ilmu jiwa, sampai ilmu pendidikan. Selain itu, para santri juga dibekali dengan keterampilan terapan berbagai bidang. Seperti seni, olahraga, gerakan kepanduan, dan lain-lain.
Tiga tahun berjalan, kegiatan ekstrakulikuler terkait latihan kepemimpinan dan gerakan kepemudaan makin bertambah. Antara lain, Tarbiyatul Ikhwan atau Organisasi Pemuda, Tarbiyatul Mar’ah atau Organisasi Pemudi, Muballighin atau Organisasi Juru Dakwah, Bintang Islam atau Gerakan Kepramukaan, Riyadhatul Badaniyah Tarbiyatul Athfal atau Organisasi Olahraga, Miftahussa’adah dengan Mardi Kasampurnaan, kelompok Seni Suara, serta Klub Teater.
Perkembangan ini membuat Pondok Gontor kian bersinar. Tarbiyatul Atfal sampai membangun cabang di berbagai desa sekitar, untuk memenuhi limpahan minat masyarakat. Butuh pengaturan yang tekun agar seluruh cabang bisa lancar mendidi. Jadi dibentuklah Taman Perguruan Islam sebagai wadah bagi seluruh Tarbiyatul Atfal, dipimpin langsung oleh Pak Sahal.
Para alumni mengambil peran dalam proses pembelajaran di semua cabang Tarbiyatul Atfal. Dari mengajar hingga mengelola soal-soal administratif. Pada usia Gontor yang kesepuluh tahun, Taman Perguruan Islam telah memiliki lebih dari 1.000 murid. Gairah belajar masyarakat kian meruah.
Program Modern
Pembaharuan tak henti dilakukan. Pak Sahal terus berkutat untuk menemukan cara-cara anyar memajukan pendidikan. Pada 19 Desember 1936, diresmikannya sistem pendidikan mutakhir, yaitu Kulliyat al-Mu'allimin al-Islamiyah. Dalam bahasa Indonesia, nama itu diterjemahkan sebagai Sekolah Pendidikan Guru Islam. Pada tahap inilah, Pak Sahal mengubah nama Pondok Gontor menjadi Pondok Modern Darussalam Gontor.
Penyematan kata “modern”, dilatari dengan kisah yang unik. Nama itu diberikan oleh seorang Romo dari Pastoran Madiun yang terkesan dengan pengelolaan Pondok Gontor. Fasilitasnya lengkap, metode pengajarannya, sangat modern! Kurang lebih demikianlah kesan sang Romo. Penilaian itu, ia sebarkan sehingga lembaga pendidikan di desa terpencil itu, tenar dikenal sebagai pondok modern.
Semula, sebutan modern itu hanya kondang digunakan oleh masyarakat sekitar di pondok. Namun, setelah disahkan, Pondok Modern Darussalam Gontor dikenal ke seluruh Nusantara, bahkan dunia. Usai berubah nama, Pak Sahal merancang ulang kurikulum agar sesuai dengan kebutuhan zaman itu.
Bersama adiknya, Imam Zarkasyi yang baru kembali dari menimba ilmu, dia mencetuskan penggabungan materi yang biasa diajarkan di pondok dan madrasah. Pelajaran agama dan pelajaran umum lantas digabungkan.
Materi pelajaran yang lazim diajarkan di sekolah-sekolah umum, seperti ilmu jiwa pendidikan, sejarah pendidikan, ilmu sosial, ilmu alam, dan berhitung, juga diberikan kepada para santri. Pesantren yang kerap dianggap ndeso, disulap menjadi lembaga yang peka zaman.
Santri Kulliyat al-Mu'allimin al-Islamiyah pun diasramakan. Proses pendidikannya 24 jam tanpa henti. Pelajaran agama dan ilmu umum diajarkan secara berimbang di setiap tingkatannya. Nyaris semua bidang yang terkait kebutuhan sehari-hari diajarkan. Mulai keterampilan, kesenian, olahraga, organisasi, kedisiplinan, bahasa, hingga kewirausahaan.
Ditentang
Namun, Kulliyat al-Mu'allimin al-Islamiyah mendapat tentangan pada tahun pertama pembukaan. Kritik serta ejekan berdatangan, mencibir penampilan Gontor yang berbeda dengan tradisi pesantren lain. Banyak sisi diserang. Sebut saja, dari sistem klasikal yang diterapkan, kajian kitab-kitab yang berbeda dengan kelumrahan pesantren, pemberian pelajaran umum, sampai dengan pemakaian sarung, kemeja dan dasi. Itu semua disorot.
Sistem pendidikan pesantren yang tidak umum ini menyebabkan jumlah santri merosot. Dari ratusan, hanya tersisa 16 orang yang tetap tinggal. Di tengah krisis itu, Pak Sahal bermunajat, "Ya Allah, kalau sekiranya saya akan melihat bangkai pondok saya ini, panggillah saya lebih dahulu ke hadirat-Mu untuk mempertanggungjawabkan urusan ini".
Tuhan tidak tidur. Doa terkabul. Memasuki tahun kedua, program Kulliyat al-Mu'allimin al-Islamiyah kembali dibanjiri santri. Kali ini dengan cakupan yang lebih luas. Santri-santri itu berangkat dari berbagai pelosok Nusantara. Lalu, pada tahun ketiga, santri-santri asal perkotaan menyusul berduyun-duyun.
Tingkat kemampuan para santri yang berbeda-beda, melahirkan masalah baru. Bagi santri-santri yang memiliki pengetahuan memadai, tak jadi soal. Bagaimana dengan yang di bawah rata-rata? Dibukalah kelas khusus untuk menampung mereka, bernama voorklas atau kelas pendahuluan.
Menjejaki tahun kelima, Kulliyat al-Mu'allimin al-Islamiyah dikembangkan menjadi dua tingkatan, yakni program Onderbow dengan lama belajar 3 tahun dan program Bovenbow dengan masa belajar 2 tahun.
Hingga sekarang, program-program itu terus dikembangkan sesuai kebutuhan zaman. Seperti yang saat ini berlaku, yaitu program reguler dan program intensif.
Program reguler diperuntukkan bagi lulusan madrasah ibtidaiyah atau sekolah dasar dengan masa studi 6 tahun. Sementara, program intensif diterapkan bagi lulusan madrasah tsanawiyah atau sekolah menengah pertama dengan lama belajar 4 tahun. Kelas atau program intensif ini hanya dilaksanakan di kelas 1 dan 3, yakni kelas 1 intensif dan kelas 3 intensif. Adapun kelas 5 dan 6 berjalan secara reguler sehingga lulusan MI atau SD dan MTs atau SMP akan bersama-sama di kelas 5 dan 6.
Berkibar di Tanah Seberang
Lulusan Pondok Gontor, lebih diakui oleh negara-negara di Timur Tengah, Asia, dan Eropa, ketimbang Indonesia. Baru pada tahun 1999 dan 2000, pengakuan Pemerintah Indonesia pada lulusan Gontor, diterbitkan Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional.
Butuh puluhan tahun untuk penerbitan pengakuan itu. Apa pasalnya? Undang-undang dan politik pendidikan nasional saat itu tidak berpihak kepada pesantren.
Kurikulum Gontor sangat berbeda dengan sekolah sederajat di manapun. Sekalipun pondok-pondok baru yang didirikan alumni, tetap belum mampu utuh menerapkan kurikulum yang sama secara.
Banyak faktor yang melatarbelakanginya, baik ketersediaan sumber daya pengajar maupun kompleksitas pelajaran. Program Kulliyat al-Mu'allimin al-Islamiyah disusun secara apik dan sistematis mulai dari kelas satu hingga enam.
Jika di salah satu tingkatan terdapat ketidakpahaman bahasa, akan berdampak pada tahap selanjutnya. Karena hampir semua pelajaran berbahasa Arab dan Inggris. Semakin tinggi kelas, maka kian kaya bahasa pengantar di mata pelajarannya.
Jika di kelas satu masih mengikutsertakan bahasa Indonesia, di tingkat selanjutnya perannya dikurangi. Kecuali untuk pelajaran bahasa Indonesia sendiri, Berhitung, Matematika, Biologi, IPA, IPS, Kimia, Fisika, Tata Buku, Psikologi Pendidikan, Psikologi Umum, dan Tata Negara.
Tutup Usia
Pada tahun 1977, tanggal 9 April tepat pukul 19.00 WIB, Kiai Haji Ahmad Sahal menghembuskan napas terakhir. Almarhum meninggalkan seorang istri bernama Sutichah Sahal, dan sembilan orang putra dan putri. Dan yang tak kalah penting, mewariskan sebuah pesantren bermutu unggul dengan sistem yang mumpuni.
Kini Pondok Modern Darussalam Gontor menjadi teladan sebagai lembaga pendidikan ideal. Lulusannya berkualitas, tersebar seantero negeri bahkan mancanegara. Terdapat sentuhan tangan dingin Pak Sahal atas hasil menakjubkan ini. Perjuangannya utuh, tekadnya tangguh. Keberaniannya untuk membangun terobosan demi masa depan umat, tak perlu dipertanyakan.
Sebelum wafat, Pak Sahal sempat menuliskan surat wasiat. "Berani hidup tak takut mati, takut mati jangan hidup, takut hidup mati saja. Ini semboyan saya. Segala titah apapun, cacing-cacing, kutu-kutu, walang, kalajengking, kodok, kadal, semut, semua sudah dijamin rezekinya oleh Allah, ini yang saya pegang".(Gisesya Ranggawari, dari berbagai sumber)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN