- Vista
Jembatan Mimpi Anak Marginal
18 November 2020 , 21:00

JAKARTA – Menghadiri reuni dengan teman semasa kecil, Nurohkim masygul. Ajang temu kangen yang digelar lebih dari dua puluh tahun itu menyuguhkan kenyataan tak mengenakkan hati: kebanyakan teman mainnya memiliki masa depan semrawut. Sebagian bahkan tenggelam di dunia hitam.
Nurokhim merasa mujur. Nasibnya berbeda dengan yang lain. Kala itu dia menjalani pekerjaan yang lebih mapan penghasilan, meski bukan jenis yang mentereng. Yakni pemasok bahan baku beragam warung.
“Saya beruntung dulu tak terjerumus dalam dunia hitam dari pergaulan,” tutur Nurokhim saat berbincang dengan Validnews.
Nurokhim menghabiskan masa kecil di seputaran Pasar Tanah Abang. Orang tuanya mengais rezeki sebagai pedagang kain di pusat tekstil itu.
Bersama teman-temannya, Nurokhim kerap nongkrong bareng. Sekadar bergurau menghabiskan waktu. Sebelum akhirnya, penggusuran memaksa Nurokhim dan keluarganya pindah rumah.
Alih-alih terbawa arus pergaulan, Nurokhim menyibukkan diri berkegiatan di musala terdekat. Bahkan sering menginap. Sampai-sampai dia dijuluki Primus, alias Pria Musala. Dia sengaja memilih begitu. Paling tidak sebagai tameng dari pengaruh lingkungan yang keras. Tapi, tetap saja dia tak kuasa utuh menutup diri. Ada saja kenakalan-kenakalan kecil yang sulit dihindarinya.
“Jadi kalau ada yang mau ngajak mabuk, mereka malu sendiri. Sebandel-bandelnya saya, ya paling berantem. Namanya juga di jalanan,” ucapnya.
Kebengalan itu membuat Nurokhim kerap dikeluarkan dari sekolah. Sampai 10 kali dia pindah. Bahkan, beberapa pesantren pun menolak. Cap sebagai tukang ribut yang kadung melekati dirinya, telah membuat lembaga-lembaga tersebut enggan menerima,
Padahal, Nurrokhim terpaksa baku hantam untuk membela diri. Sebagai murid baru, dia sering mengalami bully. Itu membuatnya panas hati. Perlawanan pun diberikan dengan adu jotos, walau berujung dikeluarkan dari sekolah.
“Saya kalau dipukul. Ya saya pukul balik. Saya enggak mau mendapat perlakuan seperti itu, karena yang namanya anak baru itu rawan bullying. Saya makan aja seadanya, lalu kena bully terus. Masa enggak melawan?” imbuh pria kelahiran Tegal, 3 Juli 1971 itu.
Ketidakmulusan Nurokhim tersebut, memberi banyak pelajaran. Betapa anak-anak yang senasib dengannya sukar memasuki sekolah umum. Pada kemudian hari, latar itu mendorongnya membangun lembaga pendidikan, terutama untuk mereka yang telantar, dan tertolak sekolah.
Bekal
Anak-anak yang telantar adalah korban ketidakberdayaan keluarga. Demikian pendapat Nurokhim. Apalagi bagi keluarga miskin. Jangankan menyekolahkan, untuk makan saja bingung. Namun, masalah tersebut harus diputus. Sebab jika tidak, buntutnya bisa panjang dan rumit.
“Semakin dibiarkan, anak-anak ini akan akrab dengan kriminalitas nantinya. Saya enggak ingin kejadian seperti itu semakin bertambah,” kata dia.
Banyak kejadian, anak-anak yang terlibat aksi kejahatan karena pengaruh dari orang-orang dewasa di sekitarnya. Malah tak sedikit yang sengaja memanfaatkan mereka. Misalnya, diarahkan menjadi kurir narkoba dengan imbalan yang menggiurkan anak-anak. Nurokhim sendiri pernah mengalaminya. Sebagai bocah, dia tak tahu bahwa perbuatan tersebut terlarang. Polos saja dia menyanggupi.
“Saya masih anak-anak jadi enggak tau itu barang apa, bahayanya apa. Mereka (orang dewasa-red) itu kan paling gampang mempengaruhi anak-anak,” jelas Nurokhim.
Kenyataan yang memprihatinkan itu menguatkan niat Nurokhim untuk mendirikan sekolah. Lembaga yang mengedepankan pembentukan karakter dan akhlak. Melaluinya, anak-anak telantar itu bisa memutus diri dari kemiskinan yang diwariskan keluarga.
“Kalau orang kaya, belagu masih wajar. Nah ini sudah miskin, bandel, mau jadi apa?” serunya.
Nurokhim pun menggodok gagasan soal sekolah itu. Dia memulainya dengan mencari tempat di kisaran terminal Depok, Jawa Barat. Selain terjangkau dari rumahnya, tempat itu juga lazim dipadati anak-anak jalanan.
“Jadi, saya coba kumpulkan itu para pemuda yang berkeliaran di pasar, stasiun, dan terminal. Jadilah Sekolah Master Indonesia bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2000,” kata Nurokhim.
Master, singkatan dari Masjid Terminal. Ia menamakannya karena menggunakan lingkungan Masjid Terminal Depok untuk kegiatan belajar mengajar.
Saat awal pendirian, Nurokhim melakukan pendekatan terlebih dahulu kepada tetua berbagai kelompok kaum-kaum marginal. Ia tidak ingin kehadiran Sekolah Master membuat mereka terganggu.
Bagaimana pun, mereka adalah golongan yang semula menampung anak-anak jalanan itu. Bahkan membentuk mereka. Jika yang dituakan berkarakter baik, maka anggota kelompoknya akan terbawa pengaruh baik. Begitu juga sebaliknya. Bisa disebut, sikap dan pilihan si anak, akan tergantung dengan restu tetua.
Ternyata, tak ada penolakan dari pemimpin kelompok-kelompok itu. Meski demikian, tetap ada pro-kontra yang timbul dari masyarakat sekitar.
Sekolah Master kerap dituduh sebagai tempat berkumpul para pelaku kriminalitas. Bahkan beberapa kali, warga sekitar mendatangi sekolah usai terjadi peristiwa pencurian, seraya mencurigai Master sebagai asal si maling.
“Itu saya anggap sebagai konsekuensi dari sebuah pilihan. Misalnya, ada saja orang yang kehilangan dompet, motor, dan lain-lain, itu pasti anak Master yang dituduh. Ibaratnya, kita sudah kenyang oleh pujian dan juga makian,” ujar Nurokhim.
Sesuai Kebutuhan
Wadah pendidikan yang dibangun Nurokhim, mencakup 5 klaster, yakni, anak terlantar, anak jalanan, anak berkebutuhan khusus, penyandang disabilitas, hingga anak yang bermasalah dengan hukum.
Sekolah itu juga menyediakan divisi lain yang menangani kebutuhan di luar soal pendidikan. Antara lain, kesehatan, advokasi, hingga pemberdayaan ekonomi. Maklum, kaum pinggiran atau marginal kerap tidak tersentuh layanan-layanan itu. Berbagai komunitas kaum pinggiran dilibatkan untuk turut menggerakkan semua bidang yang diampu sekolah tersebut.
“Orang suka menyebutnya Romusa alias Rombongan Muka Susah,” canda Nurokhim.
Sudah tak terhitung lagi jumlah modal yang dikeluarkan Nurokhim untuk membangun sekolah tersebut. Dia sendiri enggan mengingat soal itu. Juga, tak pernah memikirkan soal keuntungan. Baginya, yang terpenting, biaya operasional sehari-hari para relawan bisa tercukupi.
“Jadi mereka itu (relawan-red) hanya kita kasih makan saja awalnya. Beberapa ada yang kita fasilitasi motor untuk operasional, walaupun sudah butut,” tuturnya.
Kurikulum di Sekolah Master, dikembangkan dari pengalaman Nurokhim. Terutama dari pemahamannya ketika dulu bersekolah. Dalilnya, anak-anak hanya perlu mendapat pengarahan, bukan tindakan represif.
Waktu sekolah dijalankan di luar kelaziman. Tak wajib berseragam maupun bersepatu. Bukan masuk pagi pulang siang atau sore. Jadwal dilenturkan, sesuai keadaan para murid.
“Kita ikuti langkah mereka perlahan-lahan. Misalnya, yang enggak bisa pagi, ya sekolah siang. Yang enggak bisa siang, ya sore atau malam, menyesuaikan saja,” kata Nurokhim.
Sebutan anak nakal kemudian dihapus diganti dengan anak kreatif. Ini menjadi satu dari sekian cara untuk membentuk karakter mereka. Cap buruk, dienyahkan.
Kebanyakan, murid-murid di Master adalah anak-anak yang lari dari rumah, kemudian hidup di jalanan. Karenanya, mereka butuh perhatian sepadan keluarga, atau pengasuh pengganti.
Tak hanya mengedepankan pembangunan karakter, Sekolah Master juga menumbuhkan jiwa kewirausahaan. Para murid dilatih mengelola sektor-sektor usaha yang sesuai minat mereka.
“Maka dari itu, kita juga ada kelas tahfiz, kelas akademis, kelas bisnis, kelas otomotif, kelas elektro, dan lain-lain tergantung minatnya dia,” tegas Nurokhim.
Perpaduan program pendidikan karakter dan pengarahan minat bakat, menggiring para murid Sekolah Master Indonesia untuk cerdas, berakhlak mulia, sekaligus mampu bersaing di dunia kerja.
Sekolah Master dipacu untuk menyediakan kebutuhan anak-anak marginal itu. Membekali mereka dengan pengetahuan dan keterampilan agar tak kembali hidup di jalanan. Nurokhim mengibaratkan lembaganya sebagai ladang rumput. Lalu murid-murid di dalamnya ibarat domba-domba, yang diarahkan untuk memakan rumput-rumput di tempat tersebut.
Berkembang
Kini, Sekolah Master Indonesia telah jauh berkembang. Sebuah badan hukum dibuat untuk menaunginya, bernama Yayasan Bina Insan Mandiri. Sekitar dua ribu siswa belajar di sana. Mereka terbagi dalam dua tingkat, dari TK, SD, SMP dan SMA terbuka. Digelar pula program paket A, B dan C yang sudah mengantongi akreditasi B.
Jumlah tenaga pengajar terus bertambah. Hingga kini, tercatat 200 orang mengabdikan diri di lembaga itu. Terdiri dari relawan inti 60 orang. Sisanya adalah pendamping, serta guru tamu.
Belakangan, tidak hanya kalangan anak yang mendapatkan pengajaran di situ. Orang tua yang berusia kepala 4 dan 5 pun ada yang menempuh ujian persamaan di Sekolah Master Indonesia, karena tuntutan pekerjaan.
Mereka kebanyakan bekerja sebagai pegawai honorer di kelurahan, Dinas Pertamanan, dan instansi pemerintah lainnya. Ujian persamaan mereka tempuh demi diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil atau PNS. Sebagian besar adalah tamatan SD hingga SMP sehingga tidak memungkinkan diangkat sebagai ASN tanpa ijazah sekolah yang lebih tinggi.
“Kalau dulu kan rekrutmen pegawai di dinas-dinas itu dari kedekatan RT dan RW, yang penting tenaganya mereka ada,” tutur Nurokhim.
Nurokhim menginginkan Sekolah Master Indonesia menjadi percontohan dalam menampung kaum telantar. Ia berharap dapat bersinergi dengan banyak pihak, termasuk kementerian dan dinas terkait, agar SDM Sekolah Master Indonesia lebih tangguh dan unggul.
“Dengan kolaborasi juga kelembagaan dan manajemennya juga menjadi lebih baik sehingga bisa melahirkan generasi berakhlak dan berkualitas,” tutupnya. (Yoseph Krishna)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN