• Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Vista

Goresan Roman Kaum Pinggiran


24 Juni 2020 , 21:49
Fredy S. Ist/dok
Fredy S. Ist/dok

JAKARTA – Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Bermula dari niatan alih profesi, Bambang Eko Siswanto malah terguyur keberuntungan.

Kala itu, jelang akhir dekade 1970-an. Novel pertamanya, Senyummu Adalah Tangisku, dilirik produser lalu diangkat ke layar lebar. Cercah ketenaran berangsur-angsur tampak. Meski dia tahu, bakal banyak penonton yang penasaran dengan jati diri pengarang roman rujukan film tersebut. Sebab yang tercantum di sampul buku adalah nama alias, yakni Fredy S.

Lompatan hidup yang mengejutkan. Setelah bertahun-tahun berada di lingkar terluar industri film, sebagai pelukis poster serta spanduk yang terpampang di bioskop, tiba-tiba dia terlempar masuk hingga cincin terdalam, terlibat langsung dalam pembuatan gambar bergerak itu.

Fredy kian mantap dengan jalan kepenulisan. Kekayaan imajinasinya telah menjadi bahan bakar mujarab yang memacu produktivitas. Soal inspirasi, Fredy tak kurang-kurang. Sebab sebelumnya, dia sudah terbiasa berpetualang dalam alam cerita. 

Fredy pernah menekuni komik yang mengangkat kisah-kisah silat juga percintaan.

Irama mesin tik lantas mengantar hari-harinya melahirkan berderet novel. Sepanjang hayat, Fredy S telah menulis lebih dari 500 judul, yang populer pada rentang tahun 1980-an sampai 1990-an. Jumlah tersebut mengungguli hasil para pengarang sezaman, yang berkarya dalam genre yang sama, seperti Marga T dan Mira W.

Kerajinan itu tak lantas membuatnya diperhitungkan dalam dunia sastra. Karya-karya Fredy dicemooh, sebab dinilai terlalu vulgar. Pada halaman tertentu, dia memang kerap menuliskan peristiwa erotis. Mengungkap rinci-rinci persetubuhan lelaki dan perempuan yang tabu diungkap pada masa itu. Karangan Fredy memantik kontroversi. Tak heran, jika katalog Perpustakaan Nasional Republik Indonesia tidak mencatat daftarnya.

Namun, di pasar bacaan fiksi, justru lain kejadian. Karya Fredy S tenar, dicari peminat yang memburu bacaan santai dengan berharga terjangkau. Novel-novel itu mudah ditemui di terminal hingga pedagang kaki lima tepi jalan. Dijajakan para tukang koran dalam bus dan kereta listrik Jakarta. Bahkan beredar hingga lintas daerah.

Didukung Kondisi Politik
Karya Fredy memang mencirikan sastra populer. Sebuah arus yang lazim, selain sastra serius. Keberhasilan jenis ini, diukur dari kesuksesan penjualan. Seperti yang diuraikan oleh Pierre Bourdieu, dalam catatan bertajuk Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian Sosiologi Budaya.

Tuturannya sederhana. Itulah yang ditawarkan sastra populer sehingga ramai peminat. Termasuk, lumrah menyuguhkan fantasi yang memudahkan penjelajahan khayali pembaca. Demikian telaah Ken Gelder yang termaktub pada buku Popular Fiction: The Logics and Practices of a Literary Field.

Budayawan Umar Kayam dalam Seni, Tradisi, Masyarakat turut mengurai. Sastra populer merupakan perekam kehidupan. Kemudian, penulis menyajikan ulang. Dengan perhitungan, pembaca akan banyak mengenal kembali pengalaman-pengalamannya hingga terhibur.

Sadar atau tidak, prinsip-prinsip tersebut telah diterapkan Fredy. Dipadu dengan penggambaran adegan-adegan erotis, kian larislah novel-novelnya.

Jauh sebelum Fredy tersohor, karya sastra bermuatan erotis sudah beredar. Gejolak politik Tanah Air pada awal hingga pertengahan 1960-an, memengaruhi kemunculannya. Laman dapobas.kemendikbud.go.id, mengungkap soal ini.

Pada zaman tersebut, tak banyak novel diterbitkan. Situasi politik yang belum stabil karena orde yang baru terbentuk disibukkan dengan penumpasan PKI, menghambat kesempatan para penulis untuk berkarya. Keadaan ekonomi juga runyam. Inflasi membubung tinggi dalam beberapa tahun, membuat banyak penerbit mengalami kesulitan keuangan sehingga susah menerbitkan novel.

Kemacetan itu justru menjadi celah bagai sejumlah pihak untuk mencetak novel populer yang sarat unsur erotis. Kemasannya jauh dari kesan mahal karena diproduksi dengan sedikit dana. Beberapa nama pengarang mencuat. Ada Motinggo Busye, Kelik Diono, Asbari Nurpatria Krisna, dan Abdulah Harahap. Pada periode berikutnya, Fredy S pun turut meramaikan.

Terhapus
Berkarya di balik tirai penyamaran, sudah rutin dilakukan Fredy. Bahkan sejak menjadi komikus, sejumlah nama alias telah digunakan. Selain Fredy S atau Fredy Santosa, terdapat Sagita. Juluk yang diambil dari zodiaknya, Sagitarius. Kebiasaan itu lantas menenggelamkan nama aslinya, Bambang Eko Siswanto. Sampai-sampai, mesin pencarian Google sukar mengendus.

Riwayat hidup Fredy pun misterius. Halaman belakang novelnya tak pernah mencantumkan, seperti kelaziman novel. Hanya satu cara mengenali karyanya, yakni melalui nama pengarang yang tercetak besar di sampul depan.

Hingga pada 24 Januari 2015, kabar Bambang Eko Siswanto meninggal juga tak menarik perhatian khalayak. Bak angin lalu. Suasana tidak heboh. Tidak sekelabu saat seorang sastrawan besar berpulang. Pada tanggal Fredy pergi, media tengah ramai menyiarkan berita polisi yang bersitegang dengan KPK. Napas terakhir Fredy dihembuskan dalam sepi.

Fredy S memang tak meniti tangga yang sama dengan penulis Pramoedya Ananta Toer atau Saut Situmorang. Hanya tercatat dalam jajaran novelis aliran sastra populer yang jauh dari kesan mentereng.

Menurut pengakuan Fredy beberapa tahun sebelum meninggal, novel-novelnya sempat menarik perhatian pembaca di Kuala Lumpur dan Brunei. Konon, penerbit Malaysia pernah meminta hak edar untuk 100 judul karyanya dengan hak royalti sebesar Rp1,5 juta per judul.

Mendapati peluang itu, Fredy jor-joran menghasilkan novel. Dalam sebulan, ia mampu menyelesaikan dua sampai tiga judul. Rerata dengan ketebalan 200 halaman. Pada rentang sebulan pula, karya-karyanya bisa terjual 40 ribu sampai 80 ribu eksemplar. Angka yang mencengangkan. Sementara, buku-buku karangan fiksi semasa, hanya meraih penjualan sekitar empat ribu eksemplar. Itu juga membutuhkan waktu bertahun-tahun.

Berbicara mengenai Fredy S, kurang lengkap jika tidak menyebut Gultom Agency. Penerbit yang berkantor di Pasar Senen, Jakarta Pusat itu, bertahun-tahun mendistribusikan karya Fredy S. Mulai dari toko buku, stasiun kereta api, lapak penjual bacaan pinggir jalan, hingga terminal-terminal bus. Dari kontrak dengan Gultom Agency, Fredy S mampu mengumpulkan pundi-pundi.

Selain Gultom Agency, karya Fredy juga dilirik penerbit lain, seperti Cintamedia, Alam Budaya, Sari Buana, serta Matahari.

Bagi sejumlah kecil orang, Fredy lebih dari sekadar penyaji cerita skandal dan adegan ranjang. Muhidin M Dahlan, pegiat radiobuku.com, adalah satu di antaranya.

Karya Fredy S tidak bisa dianggap enteng, ungkap Muhidin. Karena, kepengarangan Fredy S adalah pekerjaan politik.

“Dengan konsentrasi utama menggarap pembaca roman-roman pop yang jumlahnya sangat besar,” tutur Muhidin pada laman radiobuku.com.

Fredy, kata Muhidin, pernah menerbitkan serial roman panjang berlatar politik, yang diterbitkan empat tahun setelah peredaran film Pengkhianatan G 30 S/PKI. Enam judul tercakup di dalamnya. Meliputi, Bercinta dalam Gelap, Politik Bercinta, Budak Kehormatan, Penghias Kepalsuan, Belenggu Dosa, dan Badai Telah Reda.

“Bandingkan dengan judul buku putih pemerintah keluaran Sekretariat Negara RI pada 1994: Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya,” kata Muhidin.

Jika ditilik lebih jauh, banyak penulis yang  mengangkat tema peristiwa G30S. Namun, tidak ada yang mampu menyuguhkan cerita yang menggairahkan ke pembaca novel pop. Apalagi membawakannya dengan bumbu seks, latar belakang percintaan, perselingkuhan, pelacuran, pemerkosaan, penculikan, dan kekerasan.

Ibnu Wahyudi, pengajar sastra populer di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia menilai Fredy S tidak berpretensi melahirkan karya dalam arti sastra serius.

Hasil tulisan Fredy S hanya untuk kalangan tertentu. Melayani keinginan pembaca. Karenanya, Fredy berlaku sebagai pendokumentasi situasi zaman.

Menggarap Layar Lebar
Paling tidak, ada sepasang judul layar lebar yang menjadi gerbang pembuka Fredy, ketika menyeberang ke dunia perfilman. Yakni, Senyummu Adalah Tangisku dan Sejuta Serat Sutera. Keduanya digarap rumah produksi PT Inem Film.

Demi terjun serius ke industri tersebut, Fredy ikut kursus. Penyelenggaranya adalah Karyawan Film dan Televisi atau KFT, sebuah lembaga sertifikasi pemerintah bagi pekerja di bidang film maupun televisi, yang melekat pada Departemen Penerangan pada masa Orde Baru. Sutradara sampai penata artistik wajib mengantongi sertifikat institusi tersebut.  

Film menjadi dunia baru yang dinikmati Fredy. Pada era yang sama, dia juga bekerja di majalah Times sebagai kontributor. Pesanan-pesanan lukisan juga masih dikerjakannya. Termasuk poster dan spanduk film bioskop.

Sampai tiba satu masa, Fredy berhasil menapaki tangga bergengsi dalam industri itu. Dia menulis skenario atas karyanya sendiri berjudul Gepeng Bayar Kontan, produksi PT Tiga Sinar Film. Sisanya, Fredy menulis skenario cerita untuk orang lain.

Fredy pernah pun mencoba peruntungan sebagai asisten sutradara. Pada periode 1990-an, Fredy turut meramaikan dunia sinetron. Kariernya di layar kaca lebih mentereng ketimbang layar lebar.

Diam-diam, dia terlibat penggarapan sinetron. Judulnya Jelangkung 2, produksi PT Virgo Putra Film. Setelah didiagnosa sakit stroke, Fredy berhenti berkarya.

Berdasarkan catatan Apa Siapa Orang Film Indonesia, yang diterbitkan Direktorat Pembinaan Film dan Rekaman Video Departemen Penerangan, Fredy menjabat sebagai sutradara pada sinetron berjudul Fatamorgana, produksi 1995. Lalu, Bukan Sekedar Sandiwara, dibuat tahun 1997. Juga sederet judul lain, seperti, Biar Orang Bicara, Satria Keadilan, dan Lembayung Cinta.

Fredy telah berpulang pada 2015 silam. Namun, karya-karyanya masih bisa dinikmati dan dijual beberapa lapak. Termasuk di situs jual-beli daring. Novel-novel bekasnya didagangkan murah. Bahkan ada yang hanya Rp10 ribu.

Meski namanya tidak bersanding dengan para penulis ternama kesusastraan Tanah Air, Fredy masih memiliki tempat di hati orang-orang pinggiran. Mereka yang membeli karyanya dari receh simpanan usai berpeluh kerja. Sekadar menjadi pengantar imajinasi. Bersenang-senang dengan bayangan sendiri, sembari berjarak dari hiruk-pikuk kehidupan yang kerap perih tak terperi. (Yanurisa Ananta)

  • Share:

Baca Juga

Nasional

Menag: Prodi Ilmu Keislaman Masih Terpinggirkan

  • 14 Januari 2021 , 15:11
Ekonomi

LPI Diharapkan Dapat Bantu Kurangi Jumlah Pengangguran

  • 12 Januari 2021 , 19:40
Nasional

Kecelakaan Kerja Makin Banyak

  • 12 Januari 2021 , 14:02

Tulis Komentar

Lupa Password?

ATAU

MASUK DENGAN

Facebook
Google+
Belum memiliki Akun? Daftar Sekarang

Belum ada komentar.

Vista

Beton Pertahanan Kesebelasan Indonesia


  • Terbaru

Kementerian ESDM Gencarkan Pembangunan Infrastruktur Migas Masyarakar
18 Januari 2021 , 20:20

Tahun ini, Ditjen Migas berencana tawarkan 10 WK migas dengan bentuk kontrak yang fleksibel

Mendagri Ingatkan Pemda Proaktif Antisipasi Bencana Alam
18 Januari 2021 , 20:12

Pemda harus menyiapkan anggaran dalam bentuk belanja tidak terduga

Menyusun Program Drone Agar Tidak Merugi
18 Januari 2021 , 19:37

Harga satu unit drone tidak murah maka perlu strategi khusus agar menghasilkan Return Of Investment (ROI)

Mencari Pengganti Kedelai
16 Januari 2021 , 18:00

Protein nabati pada kedelai paling lengkap. Rasanya membuat sulit tergantikan

Makanan Beku Untuk Kondisi Tak Menentu
15 Januari 2021 , 21:00

Sekitar 60% orang Indonesia lebih banyak ngemil selama pandemi dibandingkan sebelumnya

Upaya Semesta Meredam Kekerdilan
14 Januari 2021 , 21:00

Ibu hamil yang kemungkinan melahirkan anak stunting harus mendapatkan pengawasan ketat

Mendamba Tempe Selalu Di Meja
12 Januari 2021 , 21:00

Kisruh naiknya harga kedelai berulang terjadi. Selama enam tahun terakhir ini kenaikannya pesat

Simalakama Wasit Sepak Bola
11 Januari 2021 , 17:56

Untuk dapat pemasukan, kerja serabutan diandalkan. Perhatian stakeholder utama tak terasa

Dilema Bansos Tunai
09 Januari 2021 , 18:00

Selain tak tepat sasaran, budaya konsumtif penerima juga menjadi masalah

Cuan Yang Terselip di Bisnis Jastip
08 Januari 2021 , 21:00

Jastip bisa jadi usaha sampingan sekaligus upaya untuk membangun jaringan bisnis selanjutnya

  • Fokus
  • Paradigma

Menelisik Tren Mobil Listrik
18 Januari 2021 , 13:00

Mobil listrik mulai dilirik. Namun baru sebagian kelompok yang mampu menjamahnya. Selain faktor harga, ketersediaan fasilitas pendukung teknologi ini juga jadi pertimbangan calon konsumennya.

Krisis Repetitif Kedelai
15 Januari 2021 , 16:00

Tingkat konsumsi kedelai masyarakat Indonesia mengalami rata-rata pertumbuhan sebesar 7,97 kg/kapita/tahun

GAYA HIDUP

Panen Protein Dari Ikan Sendiri
14 Januari 2021 , 13:05

Harga tahu dan tempe tak lagi murah sejak kedelai melangka. Ikan sebagai sumber panganan dengan kandungan protein tinggi jadi alternatif strategis.

PSBB Total, MRT Lakukan Penyesuaian Operasional
14 September 2020 , 10:47

Ada pembatasan jumlah penumpang menjadi 62 -67 orang dalam satu kereta

BERSAMA BIJAK TANGGAPI BENCANA

Urgensi Ketegasan Dalam Penanganan Covid-19 di Indonesia
27 Maret 2020 , 20:00

Ada indikasi bahwa pemerintah seolah gamang, dalam mengambil tindakan tegas untuk penanganan Covid-19

MENYESAP BAHAGIA DENGAN BERDERMA

Tren Filantropi dan Potensi Kebaikan Hati
03 Februari 2020 , 18:19

Tren Filantropi dan Potensi Kebaikan Hati

 
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Disclaimer & Privacy Policy
  • Kontak
© Copyright validnews.co. All rights reserved.